HomeNalar PolitikElon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Kecil Besar

Dengarkan artikel berikut

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 


PinterPolitik.com 

Dewasa ini perkembangan teknologi di dunia semakin menakjubkan. Pertama, ada Sora AI yang belakangan berhasil menggemparkan dunia karena kemampuannya menciptakan video berkualitas tidak jauh beda dengan film-film buatan manusia. Selain itu, ada juga berita dari Elon Musk yang sukses tanam dan operasikan chip di otak manusia untuk membantu keseharian orang yang menderita lumpuh. 

Sayangnya, perkembangan teknologi yang luar biasa ini dibayang-bayangi oleh sisi gelap mereka yang seakan bersembunyi di balik berita-berita positif yang memantik rasa kagum dari warganet.  

Ya, selain berhasil memincut kekaguman orang dengan chip otak Neuralink, Elon Musk belakangan juga terendus telah menjalani kontrak militer dengan pihak pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui sebuah program yang disebut Starshield. Program ini bertujuan menciptakan ratusan satelit mata-mata yang akan digunakan untuk memantau seluruh target pemerintah AS di seluruh dunia.  

Perusahaan Apple pun tak ketinggalan berkiprah dalam sisi gelap teknologi. Menurut laporan dari The Verge, Apple diketahui telah jalin kontrak militer dengan Angkatan Udara (AU) AS terkait pengaplikasian produk terbaru mereka yang bernama Apple Vision Pro, sebuah gawai Augmented Reality (AR) yang membolehkan penggunanya mengoperasikan aplikasi digital hanya dengan menggunakan alat yang menyerupai kacamata. 

Kapabilitas serta potensi penyalahgunaan teknologi yang disebutkan di atas lantas memunculkan pertanyaan menarik: akan seberapa kuat daya tawar perusahaan teknologi terhadap politik di masa depan? 

image 6

Mulainya Era Techno-Feudalism 

Melihat bagaimana perusahaan teknologi seperti Apple dan Microsoft telah menjadi menjadi entitas terkaya di dunia hanya dalam waktu setidaknya dua dekade, tidak mengherankan bahwa banyak yang mulai khawatir akan dampak ekonomi dan politik yang mereka miliki. Masalah ini semakin kompleks karena andil perusahaan teknologi seperti Apple, OpenAI, dan Microsoft dalam politik semakin meningkat. 

Baca juga :  Perang Dunia III atau "Hot Peace"?

Terkait hal ini, ekonom Yunani, Yanis Varoufakis dalam sebuah video berjudul “Capitalism has Become Techno-Feudalism”, melempar sebuah konsep yang bernama “techno-feudalism” untuk menyoroti bagaimana perkembangan teknologi yang semakin“tidak terkendali” tidak hanya akan semakin mengancam privasi data pribadi, tetapi juga fondasi ekonomi dan politik secara keseluruhan.  

Yanis menekankan bahwa saat ini, perusahaan-perusahaan teknologi raksasa semakin menunjukkan dominasi mereka sebagai aktor monopoli politik maupun ekonomi. 

Yanis menilai, kemampuan teknologi luar biasa yang dimiliki para big tech tidak hanya membuat mereka menjadi aktor yang paling berkuasa di dunia maya, tetapi kekuatan tersebut juga bisa kapan saja dikapitalisasi menjadi sesuatu yang bisa menggoyahkan legitimasi negara sebagai entitas politik tertinggi. 

Bagaimana tidak, mereka adalah garda terdepan dalam pengembangan teknologi siber, mereka memantau dan tahu secara langsung bagaimana informasi dapat merubah atau menuntun sebuah kebijakan publik. Tidak hanya itu, di sektor teknologi, di mana hanya mereka-lah yang memiliki kekuatan sesungguhnya, para perusahaan teknologi ini pun seakan menjadi penyedia ‘lahan’, yang bisa memonopoli kebutuhan para konsumennya, termasuk dari pemerintah. 

Semua kekuatan yang dimiliki big tech ini sejalan dengan bagaimana feodalisme terjadi pada masa lampau. Kalau kita berkaca pada feodalisme klasik, para pemilik tanah dapat mempengaruhi kebijakan politik seorang raja, maka dalam techno-feudalism, para elite big tech lah yang menjadi tuan tanah dunia teknologi.  

Jika kita berkaca pada zaman sekarang, mungkin kekhawatiran yang diungkapkan Yanis belum sepenuhnya terjadi, akan tetapi, kalau ke depannya negara semakin bergantung kepada perkembangan teknologi para perusahaan tanpa menciptakan regulasi yang jelas di mana kekuatan mereka bisa dibatasi, maka sebuah feudalisme digital di masa depan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. 

Baca juga :  Ini Rahasia Arsitektur Perang Dunia III? 

Lantas, hal-hal seperti apa yang bisa kita antisipasi di masa depan terkait fenomena techno-feudalism ini? 

image 7

Kala Ukraina dan Gaza Jadi Contoh 

Ketika kepentingan perusahaan mulai masuk ke dalam dinamika politik sebuah negara maka hanya ada satu agenda yang hampir bisa dipastikan menjadi motor penggerak kontrak-kontrak militernya, yaitu kepentingan ekonomi. 

Penjualan peralatan dan layanan teknologi kepada militer merupakan sumber pendapatan yang signifikan bagi perusahaan-perusahaan yang kita bahas di atas. Hal ini dapat mendorong mereka untuk terlibat dalam aktivitas yang mendukung atau bahkan merangsang konflik demi memperluas pasar mereka. 

Perang Ukraina-Rusia dan Krisis Gaza dirasa bisa menjadi beberapa contohnya, karena dalam perang-perang ini, perusahaan yang berkekuatan kecerdasan buatan (AI) seperti Google dan Starlink diketahui mendapatkan keuntungan yang besar karena kontrak militer mereka dengan pemerintah. 

Maka dari itu, jika kita ingin memprediksi bagaimana keadaan dunia di masa depan jika para perusahaan teknologi semakin terlibat dalam politik, maka bisa kita asumsikan akan muncul perang-perang lain di masa depan di mana teknologi dari para perusahaan teknologi bisa digunakan, karena bagaimanapun juga, terima atau tidak terima, perang adalah bagian dari bisnis. 

Well, pada akhirnya hal ini hanyalah asumsi semata. Yang jelas, kita semua harus bersiap menghadapi masa di mana teknologi semakin memiliki andil yang besar dalam dunia politik. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

The X Saga: Khamenei dan Elon?

Di tengah konflik Iran dan Israel, figur Ayatollah Ali Khamenei justru semakin “bangkit” di platform media sosial seperti X. Mengapa bisa?

Menguak “Benteng” Perang Indonesia

Dunia tengah bergolak, dan bayang-bayang Perang Dunia 3 kembali menghantui percakapan global. Tapi di tengah kecemasan itu, mungkinkah Indonesia justru jadi salah satu tempat paling aman di bumi? 

Puan–Anies, Masa Depan PDIP?

Babak baru hubungan PDIP dan Anies Baswedan terus terjalin dan yang terbaru terlihat di momen HUT Jakarta. Dari rival menjadi sekutu potensial, kerja sama ini bisa membuka jalan koalisi besar 2029 dan bisa saja menjadi alternatif yang signifikan dampaknya.

Chaos Pemblokiran Hormuz, Siapa “Rungkad”?

Dengarkan artikel ini. Audio ini dibuat dengan teknologi AI. Selat Hormuz mungkin jauh dari Asia Timur dan Selatan, tapi jika ditutup, justru Tiongkok, India, dan...

Jalan Manis Anies

Anies Baswedan harus tetap menjaga relavansinya dalam narasi pembentukan opini masyarakat, jika ingin maju lagi di 2029.

Reset Senyap di Jantung Kekuasaan?

Gosip soal pergantian Kapolri – dan Panglima TNI – memang terus berhembus di media sosial.

Kontemplasi Stealth Bomber Sjafrie?

Di tengah ketidakpastian global dan konflik Iran-Israel, plus Amerika Serikat, Menteri Pertahanan RI Sjafrie Sjamsoeddin dihadapkan pada dilema klasik pertahanan Indonesia: alutsista mencolok vs. sistem pertahanan menyeluruh.

Ulil and the “Wahabi” Blame Game

Viral cuplikan video Ketua PBNU Ulil Abshar Abdalla labeli aktivis lingkungan sebagai “Wahabi”. Mengapa label ini tiba-tiba dimunculkan?

More Stories

Menguak “Benteng” Perang Indonesia

Dunia tengah bergolak, dan bayang-bayang Perang Dunia 3 kembali menghantui percakapan global. Tapi di tengah kecemasan itu, mungkinkah Indonesia justru jadi salah satu tempat paling aman di bumi? 

Chaos Pemblokiran Hormuz, Siapa “Rungkad”?

Dengarkan artikel ini. Audio ini dibuat dengan teknologi AI. Selat Hormuz mungkin jauh dari Asia Timur dan Selatan, tapi jika ditutup, justru Tiongkok, India, dan...

Perang Dunia III atau “Hot Peace”?

Dunia terasa semakin panas, tapi benarkah kita sedang memasuki babak awal Perang Dunia Ketiga? Atau jangan-jangan, ini hanyalah fase baru dari kompetisi global yang intens namun tetap terkendali—sebuah era yang oleh para ahli disebut hot peace.