HomeNalar PolitikDudung Tiru Manuver Gatot?

Dudung Tiru Manuver Gatot?

Setelah menjadi KSAD, Dudung Abdurachman seolah tidak henti menjadi headline pemberitaan melalui berbagai pernyataan dan langkahnya. Salah satu yang paling menarik adalah langkah Dudung menghampiri massa 212 yang ternyata mirip dengan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Pertanyaannya, mengapa bukan Panglima TNI Andika Perkasa yang melakukan langkah tersebut?


PinterPolitik.com

“Ambition is enthusiasm with a purpose.” – Frank Tyger

Bagi yang mengikuti pemberitaan media, rasa-rasanya sulit menemukan mereka yang tidak mengenal Jenderal TNI Dudung Abdurachman. Ketika masih menjadi Panglima Kodam (Pangdam) Jaya, nama Dudung melesat ketika memerintahkan prajurit Garnisun Tetap I/Jakarta menurunkan baliho Habib Rizieq Shihab (HRS) dan pernyataan ingin membubarkan Front Pembela Islam (FPI) pada November 2020. Mobil operasi Komando Operasi Khusus (Koopsus) TNI bahkan sampai dikerahkan ke Petamburan, Jakarta Pusat saat itu.

Diangkatnya Dudung sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) pada 25 Mei 2021 kemudian dikait-kaitkan dengan langkah-langkah tersebut. Namun, berbicara soal momen melesatnya karier Dudung, sebenarnya itu tidak bermula pada penurunan baliho HRS, melainkan ketika membangun patung Presiden Soekarno di Akademi Militer (Akmil), Magelang, Jawa Tengah.

Pada 7 Februari 2020, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri turut meresmikan patung tersebut. Beberapa bulan kemudian, tepatnya 27 Juli 2020, Dudung dipromosikan menjadi Pangdam Jaya. Secara implisit, hal ini terlihat dari pernyataan politisi PDIP Utut Adianto Wahyuwidayat pada 17 November 2021. Tuturnya, ada momen Megawati dibuat terharu dan bahagia oleh Dudung ketika menginisiasi pembangunan patung Bung Karno di Akademi Militer.

Menurut Utut, pembangunan patung tersebut memiliki makna yang dalam karena sebelumnya Bung Karno dipersepsikan bukan sebagai sahabat Angkatan Darat. “Saya lihat Ibu [Mega] bukan hanya gembira, campur terharu lah, setelah sekian puluh tahun akhirnya bisa cair seperti itu,” ungkapnya.

Setelah resmi dilantik sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pada 17 November 2021, nama Dudung terlihat semakin menonjol. Berbagai pernyataannya mengundang atensi luas, misalnya “Tuhan kita bukan orang Arab”.

Selain itu, ada pula langkah-langkah menarik, seperti menghampiri massa reuni 212 agar segera meninggalkan kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, karena tidak mengantongi izin. Di kesempatan itu, Dudung juga mengungkapkan ada jalur khusus tahfiz al-Qur’an untuk menjadi prajurit TNI Angkatan Darat.

Baca juga :  Hasto dan Politik Uang UU MD3

Dari berbagai pernyataan dan langkah yang ada, sekiranya timbul pertanyaan, mengapa Dudung seaktif itu? Apakah ada intrik tertentu di baliknya?

Mengulang Gatot?

Terkhusus pada langkah menghampiri massa 212, mungkin dapat dikatakan, Dudung telah mengulang langkah mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo pada 2 Desember 2016. Mengenakan peci putih, saat itu Gatot tengah mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Berbagai pihak mungkin melihat langkah tersebut dalam artian netral karena Gatot tengah menjalankan tugasnya, namun tidak dalam pandangan John McBeth.

Dalam tulisannya Military Ambitions Shake Indonesia’s Politics, McBeth menyebut langkah itu menjadi indikasi bahwa Gatot secara terang-terangan menunjukkan ambisi politiknya. Dugaan tersebut kemudian seperti menunjukkan pembuktiannya ketika Gatot lekat dengan kelompok Islam, seperti FPI dan 212 selepas menanggalkan jabatan Panglima TNI.

Bertolak dari tulisan McBeth, bukan tidak mungkin Dudung juga telah menunjukkan ambisi politik serupa. Akan tetapi, konteksnya tentu berbeda. Pada kasus Gatot, sebagaimana yang dapat kita lihat, kehadirannya di massa 212 dapat dimaknai sebagai langkah mencatatkan poin atau untuk mendapatkan simpati.

Sementara pada kasus Dudung, ini lebih pada melanjutkan langkahnya ketika masih menjadi Pangdam Jaya. Ia tengah mempertegas posisinya untuk tidak membiarkan ruang bagi massa 212. Kendati berbeda, baik Gatot maupun Dudung, sama-sama melihat massa 212 sebagai simbol politik penting karena dapat menjadi batu loncatan politik.

Mengutip Cristina Archetti dalam bukunya Politicians, Personal Image and the Construction of Political Identity, bagi pejabat maupun politisi, pembentukan gambaran personal yang positif merupakan aspek esensial bagi citra profesionalitas politik.

Pada kasus Gatot, karena saat itu 212 tengah naik daun, ia tampaknya memproyeksikan sebagai kendaraan politik. Sementara pada kasus Dudung, ia tampaknya tengah memproyeksikan sisi penguasa yang memang kontra dengan massa 212. Keduanya sama-sama tengah menatap batu loncatan.

Kendati dapat ditafsirkan bahwa Gatot dan Dudung memiliki tujuan politik tertentu, namun ada satu perbedaan prinsipil dari keduanya. Saat itu, Gatot bertindak sebagai Panglima TNI. Sedangkan Dudung saat ini menjabat KSAD. Ini memunculkan pertanyaan menarik, mengapa bukan Panglima TNI Andika Perkasa yang menghampiri massa 212?

Jadi Backlash?

Menurut pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, hadirnya Dudung di tengah massa 212 telah melebihi batasan tugas dan kewenangannya sebagai seorang KSAD.

Baca juga :  Manuver Mardiono, PPP "Degradasi" Selamanya?

Menurutnya, yang lebih berwewenang untuk menghampiri massa 212 adalah Kapolri. Sekalipun petinggi TNI hadir, seperti yang dilakukan Gatot, yang lebih tepat hadir adalah Panglima TNI sebagai bentuk dukungan atas penegakan keamanan dan ketertiban umum yang dilakukan oleh Polri.

Tidak hanya pada kasus 212, Fahmi juga menyoroti berbagai pernyataan dan langkah Dudung yang dinilai melewati tugas dan kewenangannya. Pada perintah penurunan baliho HRS, misalnya, menurut Fahmi, itu seharusnya merupakan kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

Pun demikian pada pernyataan “Tuhan kita bukan orang Arab”. Pernyataan semacam itu seharusnya tidak keluar dari seorang pejabat militer. “Mestinya diingatkan, bukan hanya karena pernyataan kontroversial tapi lebih pada batasan tugas dan kewenangannya sebagai pembina kemampuan dan kesiapsiagaan matra darat,” ungkap Fahmi pada 2 Desember 2021.

Bertolak dari Fahmi, tentu pertanyaannya, mengapa Dudung membuat berbagai pernyataan dan langkah melewati garis kewenangan?

Untuk menjawabnya, tampaknya kita perlu merenungkan tulisan Chris Mooney yang berjudul Science Confirms: Politics Wrecks Your Ability to Do Math. Mengutip studi Profesor Dan Kahan, dkk dari Yale Law School, gairah politik ternyata dapat merusak keterampilan penalaran yang sangat mendasar. Bahkan, mereka yang sangat pandai dalam matematika sekalipun, justru gagal menyelesaikan masalah yang seharusnya bisa diselesaikan karena bertentangan dengan keyakinan politiknya.

Nah, seperti pada penjelasan sebelumnya, jika benar Dudung memiliki ambisi politik, konteks yang disebutkan Chris Mooney mungkin menjadi jawaban. Mungkin dapat dikatakan, Dudung bukannya tidak mengetahui batasan tugas dan kewenangannya, melainkan karena memiliki tujuan politik, kalkulasi rasional untuk bergerak sesuai kewenangan kemudian diterobos.

Well, terlepas dari ada tidaknya ambisi politik Dudung, yang jelas, seperti pernyataan Frank McQuade dalam tulisannya Stepping Stone Or Stumbling Block: How Soon for Political Advance?, jangan sampai pernyataan dan langkah yang ada menjadi backlash tersendiri bagi Dudung.

Sebagaimana diungkapkan oleh Khairul Fahmi, dengan segala kontroversinya, Dudung berpotensi akan terlalu gaduh ketika negara sedang bersiap menyongsong agenda politik 2024, serta tidak sejalan dengan komitmen move on dari residu polarisasi 2019. (R53)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...