HomeNalar PolitikBobby Terpilih, Megawati Harus Dievaluasi?

Bobby Terpilih, Megawati Harus Dievaluasi?

Seri pemikiran Fareed Zakaria #8

Perjalanan menuju Pilkada 2020 Kota Medan semakin memanas. Plt. Wali Kota Medan saat ini, Akhyar Nasution, yang notabene disebut sebagai kader senior terbaik PDIP di Sumatera Utara (Sumut), dipecat setelah membelot ke Partai Demokrat untuk bertarung di pemilihan Wali Kota Medan mendatang. Hal ini terjadi setelah partainya lebih memilih menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution sebagai bakal Cawalkot. Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi? Serta apa konsekuensi di kemudian hari bagi partai besutan Megawati Soekarnoputri itu?


PinterPolitik.com

Hari ini, menandai 24 tahun peristiwa Kudatuli, akronim dari Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli. Sebuah peristiwa yang semestinya menjadi refleksi sekaligus mengingatkan PDIP bahwa mereka pernah berada di titik terendahnya dan pencapaian kekuasaan saat ini tentu adalah kerja nyata dari seluruh kader pantang menyerah di penjuru tanah air.

Namun demikian, intrik yang belakangan mengemuka mengenai friksi internal partai banteng akibat isu dinasti politik justru kian memanas dan menjadi anti tesis refleksi peringatan peristiwa Kudatuli hari ini.

Kebijakan, yang disinyalir berpangkal dari Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri, ketika dinilai mengistimewakan sanak famili Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada kontestasi Pilkada 2020 mendatang kembali menuai friksi internal. Jika friksi menyongsong Pilkada 2020 antara F.X. Hadi Rudyatmo, Achmad Purnomo, dan Gibran Rakabuming Raka dapat diredam di Solo, tidak demikian halnya dengan yang terjadi di Kota Medan.

Menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution yang seolah “dimanjakan” karpet merah dan ditasbihkan partai sebagai bakal calon Wali Kota Medan yang diusung PDIP, membuat sosok kader senior partai banteng lain yang dinilai lebih pantas untuk direkomendasikan seketika kecewa. Sosok itu ialah Pelaksana Tugas (Plt) Walikota Medan saat ini, Akhyar Nasution, yang juga merupakan Wakil DPD PDIP Sumatera Utara (Sumut).

Kekecewaan memuncak dan bertransformasi menjadi pemberontakan dengan meninggalkan PDIP untuk bergabung dengan Partai Demokrat, yang bersama dengan PKS, akhirnya memberikan Akhyar tiket pencalonan Wali Kota Medan untuk sekaligus berkesempatan membalaskan kekecewaan terhadap PDIP yang menafikannya.

Sontak pembelotan ini menimbulkan kepanikan yang dapat terlihat dari manuver “silat lidah” Ketua DPP PDIP Sumut, Djarot Saiful Hidayat yang kemudian mendiskreditkan Akhyar secara personal lewat isu korupsi yang kemudian dibalas dengan elegan dan agaknya cukup menohok oleh Wasekjen Partai Demokrat Jansen Sitindaon yang tentu membela kader anyarnya yang berkaliber mumpuni tersebut.

Lantas, beriringan dengan berbagai intrik internal partai sebelumnya, apakah yang sebenarnya sedang terjadi di internal PDIP saat ini jika berkaca pada pembelotan Akhyar Nasution yang cukup menggegerkan tersebut?

Konflik Internal Yang Tak Terhindarkan?

Pertikaian internal sebuah partai politik (parpol) sendiri pernah dianalisis oleh Fareed Zakaria dan dikutip oleh Eugene Joseph Dionne dalam Why the Right Went Wrong: Conservatism-From Goldwater to Trump and Beyond. Analisa tersebut dilakukan dengan fenomena saat internal Partai Republik di Amerika Serikat (AS) terbelah pada 2016.

Baca juga :  Gibran, Wapres Paling Meme?

Pencalonan Trump sebagai kandidat Presiden GOP yang kontroversial kala itu memuncak menjadi apa yang disebut oleh Zakaria sebagai sebuah political conflagration atau konflik politik, yakni berupa rasa kekecewaan dan pengkhianatan sebagian anggota partai dengan berpaling ke kubu seberang.

Keterkaitan esensi pemikiran Zakaria tersebut dengan pembelotan Akhyar tentu terlihat jelas. Political conflagration di internal PDIP pada kenyataanya dinilai telah ada sejak pencalonan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming sebagai Walikota Solo pada Pilkada 2020 masih sebatas isu. F.X. Hadi Rudyatmo dan Achmad Purnomo menjadi dua aktor yang tampak kurang seirama dengan gagasan tersebut meskipun saat ini mereka terkesan “mengalah”.

Variabel dan kasus serupa yang terkait dengan Presiden Jokowi seolah kembali menjadi pemicu political conflagration PDIP. Gelanggang Pilkada Kota Medan 2020 menjadi arenanya saat menantu sang presiden, Bobby Nasution disinyalir menjadi pemicu kuat hengkangnya kader senior PDIP sekaligus Plt. Wali Kota Medan saat ini, Akhyar Nasution ke Partai Demokrat.

Manuver pembelotan Akhyar tentu bukanlah perkara biasa. Di level regional PDIP Sumut dan Kota Medan pada khususnya, nama Akhyar adalah living legend partai. Bagaimana tidak, ia telah mengabdi dan turut membesarkan PDIP di Sumut sejak dekade 90-an dan turut berkontribusi bagi pasang surut PDIP di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, khususnya di awal periode paska peristiwa Kudatuli.

Isu tersebut tampak kian menggelinding liar akibat rasionalisasi tak dipilihnya Akhyar dinilai kental beraroma subjektivitas yakni, karena hasil evaluasi kinerja atas kader partai yang menjabat sebagai Plt Wali Kota Medan tersebut “tidak bagus”.

Terlebih, perkara ini juga menyeruak ke level elite nasional paska pembelotan ketika Ketua DPP PDIP yang juga Plt. Ketua DPD PDIP Sumut, Djarot Saiful Hidayat menyerang Akhyar secara personal terkait kasus korupsi dana MTQ yang padahal faktanya tidak terbukti sampai saat ini.

Partai Demokrat sebagai beking Akhyar saat ini tak tinggal diam dan mematahkan serangan Djarot dengan mudah. Wasekjen Demokrat, Jansen Sitindaon bahkan melempar serangan balik elegan agar PDIP mengurus internalnya saja dan menyinggung mantan Ketua DPD PDIP Sumut, Japorman Saragih yang secara inkrah bersalah terkait kasus korupsi eks Gubernur Sumut Gatot Pudjo Nugroho.

Tendensi subjektivitas rasionalisasi serta gejala kepanikan yang ditampilkan oleh Djarot dinilai menjadi variabel yang cukup kuat dalam merefleksikan eksistensi political conflagration di tubuh PDIP.

Dengan serangkaian kausalitas yang ada, biang keladi dari political conflagration di internal PDIP tersebut seolah dapat sedikit terkuak dengan tendensi yang siapapun agaknya dapat dengan mudah melihatnya. Lantas, ihwal apakah yang menjadi pangkal dari internal tersebut? Lalu, seperti apa konsekuensinya bagi eksistensi PDIP ke depannya?

Baca juga :  Hasto dan Politik Uang UU MD3

Krisis Meritokrasi

Agaknya tepat ketika Fareed Zakaria dalam Meritocracy is Under Attack menyatakan bahwa meritokrasi menjadi ideologi yang semakin terkepung dan sedang dalam bahaya. Idealisme meritokrasi dikatakan terus dikerdilkan dengan argumen dan tendensi negatif seperti tertutup dari inovasi, sampai lekat dengan elitisme dan ketidaksetaraan.

Menurut Zakaria, argumen serta tendensi itulah yang kemudian jamak digunakan bagi entitas manapun sebagai justifikasi untuk menghadirkan sosok dengan privilege tertentu dalam mendapatkan posisi tertentu atau hal lainnya.

Dalam publikasinya yang berjudul The Rise of Illiberal Democracy, Fareed Zakaria juga menyebutkan konsep vertical usurpation yang merupakan muara yang cenderung kontrproduktif dari sebuah kecenderungan kekuasaan di mana pengaruh elite tertinggi atau eksekutif sangat kuat. Vertical usurpation sendiri dicerminkan pada elemen yang didominasi kroni, mengesampingkan figur senior, hingga mempertahankan cek internal yang minim kritik.

Pengikisan nilai meritokrasi serta gejala vertical usurpation tampaknya cukup relevan ketika merefleksikan pembelotan Akhyar Nasution dari PDIP ke Demokrat beserta tendensi latar belakangnya.

Direkomendasikannya Bobby Nasution di Medan semakin menguatkan kecenderungan keunggulan privilege dibandingkan nilai meritokrasi, yang terlihat pula gejala vertical usurpation pada saat bersamaan, yang padahal pada faktanya lebih membuat sosok Akhyar lebih unggul berkaca pada pengabdiannya untuk PDIP sejak lama.

Ketika berbicara keputusan internal PDIP, faktor Ketum Megawati Soekarnoputri tentu tidak bisa dielakkan. Pada friksi yang belakangan mengemuka, Megawati dinilai belum kapok dengan lebih memilih pengabaian meritokrasi demi kalkulasi politik “tertentu” serta ekspektasi elektabilitas yang berdasarkan sejarah justru tak berpihak pada partainya.

Sebut saja I Made Mangku Pastika dan Emil Dardak yang memiliki kisah yang hampir serupa dengan Akhyar Nasution. Menjelang Pilkada, keduanya yang malah berhasil memenangkan kontestasi paska dinafikan PDIP dan – yang menariknya – sama-sama membelot ke Demokrat. Masing-masing sebagai Gubernur Bali periode kedua serta Wakil Gubernur Jawa Timur.

Dengan gejala serta dinamika kasus Akhyar-Bobby yang telah terjadi, Megawati tampaknya akan meninggalkan pelajaran yang kurang baik bagi agenda regenerasi total PDIP yang dicanangkannya sendiri beberapa waktu lalu.

Akibat telah mengemuka, publik agaknya juga menjadikan berbagai friksi dan intrik yang ada sebagai variabel penentu kemana suara mereka akan bermuara pada pesta demokrasi mendatang. Hal ini tentu menjadi variabel kualitatif yang diharapkan berujung pada terpilihnya sosok-sosok yang berkualitas berdasarkan kerja keras dan track recrordnya, bukan berbasis sebuah privilege semata. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

More Stories

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Ini Rahasia Jokowi Kalahkan Megawati?

Kendati diprediksi melemah pasca kepresidenan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai memiliki kunci rahasia agar tetap bisa memiliki pengaruh dalam politik dan pemerintahan. Bahkan, Jokowi agaknya mampu untuk melampaui kekuatan dan pengaruh Megawati Soekarnoputri. Mengapa demikian?