HomeNalar PolitikAhok, King in The North

Ahok, King in The North

Hari-H pencoblosan sudah lewat. Suara, di tiap TPS, sudah dihitung. Boks “suara rakyat” itu pun sudah diangkut, untuk kemudian direkapitulasi. Dua minggu lagi, menurut KPU DKI Jakarta, akan ada pengumuman resmi paslon pemenang ajang pemilihan gubernur Ibukota tahun ini. Tapi tak perlu menunggu selama itu, pada hari pencoblosan itu juga sudah ada belasan lembaga survei berebut mengkalkulasi suara. Kesimpulan survei mereka? Petahana kalah lagi.


PinterPolitik.com

Semua lembaga survei pemantau putaran kedua Pilkada DKI 2017 bulat menyimpulkan, Anies-Sandi adalah gubernur dan wakil gubernur Ibukota selanjutnya. Lembaga Indikator Politik Indonesia misalnya, mengunggulkan Anies-Sandi dengan perolehan suara 57,89%. Sementara Ahok-Djarot tertinggal di posisi 42,11% suara.

Hasil perhitungan sementara KPU DKI Jakarta berdasarkan entry data Model C1 juga tidak jauh berbeda. Dari data 13034 TPS (100%), Ahok-Djarot memperoleh sekitar 2,3 juta suara (42,05%), sementara Anies-Sandi unggul dengan 3,24 juta suara (57,95%).

Data memperlihatkan, Anies-Sandi menyapu bersih massa di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Di Jakarta Selatan, Anies-Sandi memperoleh 62,1 % suara. Hasil ini naik cukup signifikan, dibanding hasil putaran pertama sebesar 46,5%. Begitu juga di Jakarta Timur, Anies-Sandi meraup 61,8% suara, naik 20% dari hasil putaran pertama yang sebesar 41,7%. Setidaknya 5 kecamatan yang di putaran pertama dikuasai Ahok-Djarot kini berpaling kepada Anies-Sandi, yakni Cilandak, Kebayoran Baru, Pulo Gadung, Makasar, dan Ciracas.

Perubahan perolehan suara terjadi signifikan di Jakarta Barat, Pusat, dan Utara. Di ketiga kota ini Ahok-Djarot dan Anies-Sandi bersaing ketat. Di Jakarta Barat, putaran pertama, Ahok-Djarot unggul di angka 48,6%, sedangkan Agus-Silvi di 16,1% dan Anies-Sandi 35,3% . Di putaran kedua, Anies-Sandi memuncaki Ahok-Djarot di angka 52,8% banding 47,2%. Di Jakarta Barat, Ahok-Djarot hanya berhasil mempertahankan posisi puncaknya di Grogol Petamburan, Tambora, dan Taman Sari. Pun di Tambora, Ahok-Djarot hanya unggul 6,4%.

Di Jakarta Pusat, Ahok-Djarot harus puas dengan hasil 42,3%. Hasil ini turun sekitar 1% dibanding putaran pertama. Sementara Anies-Sandi yang tadinya hanya memperoleh 39,2% suara, naik menjadi 57,7% suara.

Ahok-Djarot juga lagi-lagi mesti menghela nafas panjang di Jakarta Utara. Pasalnya, keunggulan paslon nomor 2 pada putaran pertama itu dapat direbut oleh paslon nomor 3, Anies-Sandi. Di Jakarta Utara, Anies-Sandi masih mempertahankan dominasinya di Cilincing dan Koja. Sedangkan Ahok-Djarot juga masih mempertahankan dominasinya di Penjaringan, Pademangan, dan Kelapa Gading. Sementara, Tanjung Priok mesti rela diserahkan Ahok-Djarot ke Anies-Sandi. Di Tanjung Priok, selisih keduanya tipis, 6.738 suara, atau 3,37%.

Pil pahit Ahok-Djarot juga semakin terlihat jelas dari persentase selisih suara. Bukan hanya siapa mengungguli siapa, selisih ini juga menggambarkan seberapa ketat persaingan kedua paslon dan tingkat kemenangan paslon. Semakin kecil selisih suara di suatu wilayah, semakin ketat perebutan suara di wilayah tersebut.

Selisih suara juga memperlihatkan, potensi dominasi paslon di suatu wilayah. Meskipun paslon lawannya unggul, jika selisih suara nya kecil sekali (di bawah 10%, misalnya), paslon tetap saja dominan.

kemenangan Ahok-Djarot Di wilayah Utara Jakarta

Terkait selisih suara, Anies-Sandi unggul dengan selisih suara cukup beragam di berbagai rentang presentase dengan modus jatuh di 15-20%, sebesar 10 kecamatan. Paling tinggi Anies-Sandi unggul di Mampang Prapatan sebesar 35,6% dan Pancoran sebesar 36,5%.

Di lima kecamatan lainnya, Anies-Sandi unggul dengan selisih kurang dari 10%. Dengan catatan bahwa, di ke-5 kecamatan tersebut, Ahok-Djarot unggul di putaran pertama. Lima kecamatan tersebut antara lain Kalideres, Cengkareng, Kebayoran Baru, Gambir, dan Tanjung Priok. Gambir tercatat sebagai kecamatan dimana Anies-Sandi unggul paling tipis, sebesar 0,3%.

Di pihak lawan, Ahok-Djarot hanya unggul di 7 kecamatan, dengan Grogol Petamburan dan Kelapa Gading menjadi basis massa utamanya. Di kedua kecamatan tersebut, Ahok-Djarot unggul dengan selisih suara lebih dari 20%. Di Kelapa Gading, kemenangan Ahok-Djarot tinggi, yaitu 36,13%.

Baca juga :  Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sementara itu, di 3 kecamatan Ahok-Djarot unggul dengan selisih suara 10-20% suara, yakni Taman Sari, Penjaringan, Sawah Besar. Di tiga kecamatan ini pula Ahok-Djarot unggul di putaran pertama.

Ahok-Djarot juga unggul dengan selisih suara kurang dari 10% di wilayah Pademangan dan Gambir. Dengan catatan bahwa, selisih suara di kedua kecamatan tersebut berada di bawah 1%.

Terlihat, Kelapa Gading dan Mampang Prapatan sebagai daerah sentral pemenangan masing-masing paslon. Berkaca pada pengalaman Direktur Polmark Indonesia, Eep Saefullah memenangkan Jokowi-Ahok di Pilkada DKI 2012, yang diungkapkannya pada pertengahan 2016 lalu. Di Masjid Al-Azhar itu Eep berkata, “Karena Jokowi wakilnya Ahok. Kalau Kelapa Gading, tidak perlu jadi prioritas [untuk disambangi Jokowi-Ahok] karena  ada Ahok mereka akan memilih Ahok. Kalau Mampang Prapatan tidak jadi prioritas, karena terlalu Islam sehingga tidak mungkin pilih Jokowi karena ada Ahok.” Saat ini Eep menjadi konsultan politik untuk Anies-Sandi.

Dengan hasil seperti ini, otomatis, pada putaran kedua, Ahok-Djarot hanya mampu menjadi raja wilayah utara Jakarta. Hasil ini pun tampil dengan catatan. Kecuali Kebayoran Baru, hampir semua wilayah yang selisih suaranya kurang dari 10% berada di wilayah utara Jakarta. Artinya, meski mendominasi, takhta Ahok-Djarot di utara terus menerus dirongrong oleh timses Anies-Sandi.

Dengan begitu, paslon yang diusung oleh PDI Perjuangan, Nasdem, Golkar, Hanura, PKB dan PPP itu seolah tak mampu melebarkan basis massanya di daerah-daerah selatan Jakarta. Justru Anies-Sandi mampu melebarkan basis massanya ke Jakarta Barat, Pusat, dan Utara, sekaligus mengunci suara Ahok-Djarot tetap di wilayah utara. (Simak peta perolehan suara per kecamatan di bawah ini).

Dari Peci ke Ngaji

Berdasarkan hasil tersebut kita bisa mengevaluasi kinerja penggarapan suara-suara yang berterbangan pasca putaran pertama, baik dari para golput maupun pendukung Agus-Silvi.

Untuk mendulang suara di putaran kedua, juru bicara paslon nomor urut dua Bestari Barus sudah mewanti-wanti, mereka fokus menggarap suara penduduk muslim, utamanya di Jakarta Selatan dan Timur. Logis saja, pasalnya penduduk muslim DKI Jakarta mencapai 6 juta orang, hampir 50% dari total seluruh penduduk. Perhitungan exit poll Indikator Politik Indonesia menyebutkan bahwa hampir 20% di antara mereka memilih Agus-Silvi di putaran pertama. Sementara Ahok-Djarot mendapat bagian 30%, dan Anies-Sandi mendapat 47% suara.

Dalam hal citra timses Ahok-Djarot juga mengubah strategi penampilan Djarot dan panggilan Ahok. Akhir Maret 2017, timses mengajukan perubahan foto Djarot di kertas suara. Pada putaran kedua, Djarot tampil memakai peci. Selain itu, timses juga secara kultural mengubah panggilan Ahok, menjadi Basuki. Menurut mereka, “Ahok” punya sentimen negatif di masyarakat. Tentu ini strategi klasik, seperti halnya mengubah panggilan Ical menjadi ARB, menjelang Pilpres 2014 lalu.

Cara lainnya yang ditempuh oleh timses Ahok-Djarot adalah dengan semakin rutin mengadakan pengajian-pengajian dan silaturahmi “politik” ke tokoh-tokoh muslim di DKI Jakarta. Salah satunya, pengajian akbar “Jakarta Bershalawat” yang digelar Kamis (13/4). Acara tersebut dihadiri 500 orang. “Sebagai ahlussunah wal jamaah, pilihlah pemimpin yang satu aliran dengan kita,” ujar Djan Faridz, petinggi PPP, saat berpidato pada acara tersebut. Di hari itu juga, Ketua Relawan Nusantara (relaNU) Nusron Wahid mengadakan pengajian di Majlis Taklim An-Nisa NU, Jakarta Pusat. Pesannya, “Tidak ada alasan dan keraguan memilih mereka karena program kerjanya dekat dengan Islam.”

Hari Senin (10/4) Ahok-Djarot juga menjumpai Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj. Saiq Aqil menerima dengan baik timses paslon nomor urut dua tersebut. Dalam doanya, Saiq Aqil berharap Jakarta mendapat pemimpin yang diridhoi oleh Allah SWT. “Ada selebaran ini, Pak Ahok dan Pak Djarot akan memperhatikan nasib guru agama, marbot, dan orang miskin semua akan diurus,” ujar Said. Tidak pandang bulu, baik muslim maupun nonmuslim. Kita harap panjang umur, sehat, dan mendapat ridho Allah,” ujar Said dalam pertemuan tersebut.

Baca juga :  Pedang Bermata Dua Anies?

Namun demikian, strategi “peci dan ngaji” masih belum mampu menandingi dominasi Anies-Sandi atas pemilih muslim. Pada putaran kedua, timses Anies-Sandi, selain menguatkan jaringan pendukung muslim yang – berkat  PKS – telah  terbangun cukup baik di putaran pertama, juga melakukan penetrasi di Jakarta Utara. Juru kuncinya, tokoh NU dan politisi PPP, Abraham Lunggana alias Haji Lulung, yang di putaran pertama mendukung Agus-Silvi. “Saya ke Jakarta Utara mengampanyekan Anies. Saya bertugas mengalihkan suara Agus-Silvi kepada Anies-Sandi” kata Lulung.

Jumat (24/2), Ketua NU Jakarta Utara KH Ali Mahfudz juga berkunjung ke kediaman Anies di Lebak Bulus. Dia mengungkapkan potensi anggota NU pemilih di Jakarta Utara sebesar 3000 orang. “Selagi ada calon muslim, apalagi yang baik, pilih itu,” ujar kyai Ali.

Terlihat di sini, bahwa untuk urusan ngaji dan silaturahmi, kubu PKB dan PPP – dengan jaringan NU kulturalnya – terpecah. Tentu itu ini tidak terlalu baik bagi pendongkrakan suara masing-masing paslon

Lalu, darimana suara-suara itu berdatangan?

Selain PPP dan PKB, Anies-Sandi masih kuat mendapat pasokan suara dari para pendukung PKS yang mengakar di Jakarta Selatan. Selain itu Anies-Sandi juga terbantu oleh sosok pemimpin Partai Idaman Rhoma Irama.

Dan tentu, ada satu manuver yang mustahil dilakukan Ahok-Djarot: merapat ke gerakan massa yang digalang Front Pembela Islam (FPI). Anies-Sandi cerdik untuk mengambil kesempatan tersebut. Dulangan suara dari gerakan massa FPI mengalir melalui dua jalur. Pertama, suara itu datang dari warga DKI Jakarta yang memilih dengan alasan kesamaan agama. Hasil survey Saiful Muljani Research and Consulting memperlihatkan hal ini. Sebanyak 32,4% responden memilih Anies-Sandi atas dasar kesamaan agama. Kedua, suara datang dari warga DKI yang khawatir kotanya semakin gaduh jika Ahok terpilih sebagai gubernur.

Hasil gemilang ini pun disambut antusias oleh kubu Anies-Sandi. Dalam konferensi pers yang digelar di Kantor DPP Gerindra guna menanggapi hasil hitung cepat, Anies Baswedan menyampaikan, kemenangan ini bukan untuk paslon saja, tetapi untuk seluruh warga Jakarta. “Mari kita bersatu untuk Jakarta yang lebih baik, dan kita rajut suasana persatuan dan persaudaraan yang sebelumnya sempat terpecah,” ujar Anies.

Prabowo Subianto – peminang Anies-Sandi – pun tidak kalah sumringahnya. Dirinya mengungkapkan bahwa kemenangan paslon nomor urut ke-3 tersebut merupakan kemanangan warga Jakarta. “Dari segi statisika, untuk [Ahok-Djarot] mengejar angka 6% dalam satu hari itu sangat sulit, [Harapan saya terhadap Anies-Sandi] tidak boleh korupsi sama sekali. Harus bekerja sepenuhnya untuk rakyat,” ungkap Prabowo kepada CNN Indonesia.

Di tempat lain, timses Ahok-Djarot juga menyelenggarakan konferensi pers. Djarot mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada seluruh relawan dan pendukung, serta penyelenggara. “Kami mengikuti hasil hitung cepat, pasangan Pak Anies dan Pak Sandi unggul, karenanya saya mengucapkan selamat, sambil menunggu hasil penghitungan resmi KPU.”

Senada dengan Djarot, Ahok mengucapkan terima kasih kepada jajaran Polri, TNI, seluruh penyelenggara Pilkada, serta para pemilih. Ahok juga bertekad menyelesaikan masa jabatannya hingga enam bulan ke depan dengan cepat dan baik. “Kami mengerti, para pendukung tentu kecewa. Tetapi tak perlu terlalu dipikirkan. Jakarta adalah rumah kita bersama” papar Ahok. (Berbagai Sumber/H31)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?

Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dengan kekalahan Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany di Pilkada Serentak 2024. Mungkinkah Golkar akan semakin jatuh di bawah Bahlil Lahadalia?

Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Hasil tidak memuaskan yang diperoleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) dalam versi quick count Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 (Pilgub Jakarta 2024) menjadi pertanyaan besar. Mengapa calon yang didukung koalisi besar tidak tampil dominan? 

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?

More Stories

Simpang Siur Suara Yusril

Heboh, kata Yusril, Jokowi sudah bisa digulingkan dari jabatan presidennya karena besarnya utang negara sudah melebihi batas yang ditentukan. Usut punya usut, pernyataan tersebut...

Elit Politik Di Balik Partai Syariah 212

Bermodal ikon '212', Partai Syariah 212 melaju ke gelanggang politik Indonesia. Apakah pembentukan partai ini murni ditujukan untuk menegakan Indonesia bersyariah ataukah hanya sekedar...

Blokir Medsos, Kunci Tangani Terorisme?

Kebijakan pemerintah memblokir Telegram menuai pujian dan kecaman. Beberapa pihak menilai, hal tersebut merupakan bentuk ketegasan pemerintah terhadap mereka yang turut memudahkan jaringan terorisme...