Cross BorderPutin Seret Jokowi “Lomba Nuklir 2.0”?

Putin Seret Jokowi “Lomba Nuklir 2.0”?

- Advertisement -

Di tengah embargo Barat, sektor energi nuklir Rusia masih sanggup berkembang dengan baik. Mereka bahkan semakin terlibat dalam pengembangan reaktor nuklir sejumlah negara. Bagaimana kira-kira dampak dari fenomena ini terhadap konstelasi geopolitik global?


PinterPolitik.com

Perang antara Rusia dan Ukraina yang meletus pada 24 Februari 2022 telah bertransformasi menjadi “perang” sanksi ekonomi AS dan kawan-kawan terhadap Rusia yang pada akhirnya tidak hanya mengguncang perekonomian Negeri Beruang Putih, tapi juga negara-negara lain di dunia, khususnya Eropa.

Meskipun menurut beberapa pemberitaan Rusia kerap digambarkan “babak belur” karena menderita embargo gas dan minyak bumi dari negara-negara Barat, ternyata ada satu sektor energi yang tidak mendapat perhatian dari Joe Biden cs, yaitu energi nuklir.

Yap, saat perusahaan-perusahaan energi Rusia seperti Rosneft, Transneft, Gazprom terkena sanksi negara Barat, perusahaan energi nuklir terbesar milik Rusia yaitu Rosatom masih mampu beroperasi secara normal.

Perusahaan milik negara yang dibangun langsung oleh Presiden Vladimir Putin pada tahun 2007 itu pada tahun lalu justru malah mampu berkembang. Menurut Aleksey Likhachev, CEO Rosatom, pendapatan Rosatom meningkat 15 persen dari tahun sebelumnya, nilai perdagangannya pada tahun 2022 pun mencatat angka lebih dari US$200 miliar.

Dengan pencapaian itu, Rosatom juga mampu mendominasi rantai pasokan bahan bakar nuklir, mereka mengendalikan 36 persen pasar pengayaan uranium global dan memasok bahan bakar nuklir ke 78 reaktor di 15 negara, yang mayoritas adalah negara berkembang Asia, seperti Tiongkok dan India.

Rusia pun terlibat sebagai kontraktor utama dalam mayoritas pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di lebih dari 12 negara-negara Asia.

Fenomena ini memang menarik untuk kita ketahui. Akan tetapi, mengingat status teknologi nuklir sebagai salah satu pencapaian tercanggih manusia yang kekuatannya sangat bersifat multiguna, kekuatan energi nuklir Rusia yang “lolos” dari cengkraman sanksi Barat itu sesungguhnya juga menyimpan dampak yang cukup besar untuk geopolitik dunia di masa mendatang. Apakah itu?

image 22

Energi Nuklir, Kartu Truf Putin?

Lolosnya energi nuklir Rusia dari jeratan embargo negara Barat bukan tanpa alasan. Sesuai yang dijelaskan Patricia Cohen dalam artikelnya Why Russia Has Such a Strong Grip on Europe’s Nuclear Power, dominasi energi nuklir Rusia di Eropa ternyata lebih kuat dibanding pengaruh energi gas dan minyak buminya. Banyak negara eropa yang mengandalkan uranium Rusia (sebenarnya juga termasuk AS), dan tidak sedikit negara Eropa yang mengembangkan PLTN-nya dengan teknisi-teknisi Rusia.

Sederhananya, bisa dikatakan nihilnya embargo terhadap nuklir Rusia diakibatkan negara Barat belum siap menambah “borok” yang ditinggalkan akibat memutus hubungan ekonomi dengan Negeri Beruang Putih.

Namun, kekuatan tersembunyi pengembangan program PLTN mancanegara Rusia bukan hanya itu. Albert Wohlstetter dalam tulisannya Spreading the Bomb without Quite Breaking the Rules, mengibaratkan program pembangunan PLTN sebagai “penyelundupan” senjata nuklir. Ini karena untuk apapun penggunaannya, prinsip fisi nuklir yang digunakan untuk PLTN juga mampu menjadi basis dari fisi nuklir rudal.

Baca juga :  Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Dengan pandangan itu, negara-negara yang mendapatkan bantuan dari negara nuklir seperti Rusia mampu mendapatkan akses teknologi WMD yang begitu mengerikan, meski mungkin mereka tidak bisa langsung mengembangkannya sendiri. Hal seperti ini dibuktikan oleh negara-negara nuklir selain AS dan Rusia yang kini memiliki senjata nuklirnya sendiri, seperti Prancis, yang pada tahun 1950an awalnya hanya berniat mengembangkan nuklir untuk energi semata.

Selain teknologinya yang multifungsi, program pengembangan reaktor nuklir yang dilakukan sebuah negara yang mendapatkan bantuan dari negara nuklir besar juga cenderung akan menciptakan tingkat dependence, atau ketergantungan yang begitu tinggi dari negara penerima pada negara yang membantunya.

Dalam konteks program PLTN mancanegara Rusia, ketika mengembangkan program reaktor nuklir mereka kerap menjanjikan bantuan finansial untuk pembuatan dan juga perawatannya selama beberapa tahun awal. Akan tetapi, tenaga ahli dan bahan dasar nuklir seperti uranium misalnya, harus disediakan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Rusia. Teknologi yang diberikan harus benar-benar terjaga. Rusia pun perlu mendapatkan sebagian saham ketika reaktornya sudah berfungsi nanti, baik saham finansial, maupun politik.

Apa maksud dari saham politik? Well, kerjasama nuklir Rusia-Turki contohnya. Turki adalah negara yang reaktor nuklirnya dibantu dibuatkan oleh Rusia, setelah mulai dijalankan, Rusia kemudian memberikan kepercayaan pada Turki dengan menawarkan misil pertahanan S-400, misil pertahanan yang dipandang sebagai ancaman bagi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Hal ini di satu sisi menjadi pesan kuat bagi Turki bahwa Rusia telah memberikan kepercayaan teknologi dan militer yang tinggi, dan bisa saja “rekan”, jika sewaktu-waktu Turki dikucilkan oleh NATO.

Karena hal-hal ini, kata Wohlstetter, pengembangan reaktor nuklir kerap dipandang sebagai investasi jangka panjang yang hanya bisa dieksekusi bila hubungan antar negara yang berkaitan sudah memiliki relasi yang diproyeksikan akan sangat baik dan terpercaya.

Nah, kalau kita coba padukan dua pandangan di atas, yakni reaktor nuklir sebagai potensi senjata nuklir dan kerjasama nuklir sebagai pertanda keeratan hubungan negara, maka di balik berjayanya pemasaran reaktor nuklir Rusia atas sanksi Barat, sesungguhnya terdapat semacam benih-benih penguatan hubungan nuklir Rusia dengan negara-negara mitranya.

Kalau menurut teori neorealisme dari Kenneth Waltz dalam bukunya Theory of International Politics, hal ini sangat mungkin memang sengaja didesain demikian. Karena di dalam arena politik internasional, agar eksistensi dan kekuatan sebuah negara bisa terus terjalankan, maka negara itu perlu mencari posisi yang aman dengan berkubu-kubu. Dengan menciptakan ketergantungan, kekuatan kolektif yang perlu dijaga bersama-sama bisa diciptakan.

Walau terlalu jauh untuk kita simpulkan negara-negara yang bekerjasama untuk nuklir dengan Rusia akan mendapatkan senjata nuklir dan merasa berutang pada Rusia akibat teknologi yang diberikannya, setidaknya dengan memberikan mereka akses ke wawasan nuklir Rusia saja sudah menjadi tahap awal dari suatu hubungan kuat yang akan terjadi di masa mendatang. Apakah ini akan jadi dasar dari aliansi baru? Well, no one knows, for now.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara yang pernah sangat dekat dengan sesepuh Rusia, yakni Uni Soviet, tentu ini semua akan ada kaitannya dengan kita, bukan?

Baca juga :  Maruarar Sirait Resmi Gabung Gerindra?
image 23

Indonesia Akan Termasuk?

Hari Kamis tanggal 29 Juni 2022 menjadi hari yang spesial bagi Indonesia, karena pada hari itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkesempatan bertemu dan berbincang dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin. Jokowi jadi salah satu kepala negara yang bertemu Putin pasca Perang Ukraina.

Yang menarik dari pertemuan itu adalah saat konferensi pers Putin mengungkapkan tertarik ingin mengembangkan proyek PLTN di Indonesia. Pada awalnya, hal itu terkesan seperti omongan belaka, tapi pada November 2022, salah satu petinggi Rosatom, Kirill Komarov, kembali menawarkan untuk mengembangkan reaktor nuklir apung di negara kita.

Namun, ini bukan pertama kalinya Indonesia ditawarkan membangun reaktor nuklir oleh Rusia, rencana ini sudah digaungkan bahkan sebelum Jokowi jadi presiden sekalipun. Hingga kini, kita masih terlihat belum pasti apakah akan benar-benar mewujudkannya atau tidak.

Yang jelas, pembangunan PLTN tidak seperti apa yang kerap dikoarkan para aktivis, ini adalah proyek yang sangat berkaitan dengan tatanan geopolitik dunia. Kalau kata Bleddyn Bowen dalam bukunya Original Sin: Power, Technology and War in Outer Space, teknologi seperti roket dan nuklir akan selalu membawa original sin atau dosa asli, semanis apapun kita mencoba untuk membungkusnya.

Apa dosa asli energi nuklir? Well, kita tidak boleh lupa bahwa nuklir adalah hasil temuan manusia yang pada awalnya murni diniatkan untuk menjadi keunggulan kekuatan sebuah negara dalam peperangan.

Oleh karena itu, siapapun yang memiliki akses ke teknologi nuklir, mereka pasti akan dilihat sebagai negara yang berpotensi menjadi ancaman besar dari negara lainnya, bahkan bila hanya untuk reaktor energi nuklir semata. Terlebih lagi bila wawasan nuklir yang didapatkan merupakan “pemberian” dari suatu negara besar. Pada akhirnya, fenomena bagi-bagi teknologi PLTN bisa jadi akan menjadi salah satu bentuk proxy war terkini.

Dengan demikian, bila Indonesia nantinya mengembangkan proyek PLTN-nya dengan Rusia, atau siapapun itu, maka bisa kita pastikan ada sebuah keputusan politik besar di belakangnya yang menjadi semacam pertanda bahwa Indonesia akhirnya berani memilih salah satu kubu geopolitik dunia.

Pada akhirnya, tentu semua ini hanyalah interpretasi belaka. Besar harapannya bagaimanapun perkembangan geopolitik dunia di tahun-tahun mendatang, konflik bisa kita cegah semampu mungkin. (D74)

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

Eropa “Terlalu Baik” Terhadap Imigran?

Kasus penembakan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian terhadap seorang remaja imigran telah memicu protes besar di Prancis. Akan tetapi, kemarahan para demonstran justru...

More Stories

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?