HomeNalar PolitikDelusi Alternative Facts, Prabowo Menang

Delusi Alternative Facts, Prabowo Menang

Pernyataan Prabowo yang menyebut Indonesia akan punah jika dirinya tidak terpilih, serta menggambarkan kondisi negara saat ini sama buruknya dengan negara-negara di Afrika menarik perhatian banyak pihak. Kubu pendukung Jokowi menyebut sang jenderal “asal bunyi”. Tidak sedikit yang menganggap pernyataan tersebut delusional – disampaikan dengan keyakinan, namun menyalahi realitas. Faktanya, sebuah delusi dalam politik sering kali menjadi alat yang efektif untuk menciptakan ketergantungan politik pemilih.


PinterPolitik.com

“To say of what is that it is not, or of what is not that it is, is false; while to say of what is that it is, and of what is not that it is not, is true”.

:: Aristoteles, dalam Metaphysics ::

[dropcap]S[/dropcap]ebuah delusi, demikianlah komentar beberapa pihak terkait pernyataan Prabowo Subianto saat Konferensi Nasional Partai Gerindra di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat beberapa waktu lalu.

Tentu saja konteks delusi yang dimaksud tidak seratus persen sama dengan apa yang digambarkan oleh Hippokrates (460-370 SM) dalam tulisannya yang berjudul On the Sacred Disease yang membahas penyakit kejiwaan di era Yunani Kuno. Yang dibicarakan dalam konteks Prabowo tentu saja adalah sebuah political delusional – delusi politik.

Pasalnya, pernyataan sang jenderal pada kesempatan itu yang menyebutkan bahwa Indonesia akan punah jika dirinya gagal terpilih menjadi presiden pada Pilpres 2019 mendatang, dianggap “berlebihan” dengan menempatkan kepunahan (extinction) sebagai akibat yang akan timbul jika ia kalah dalam pertarungan politik tersebut.

Di era post truth seperti saat ini, kebenaran seringkali dinilai dari preferensi politik. Hal ini juga diperparah dengan konteks polarisasi atau pembelahan di dalam masyarakat terhadap dua calon yang bersaing itu. Click To Tweet

Kubu pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun menyebut Prabowo “asal bunyi” dan membuat penyesatan-penyesatan pikiran dalam kata-katanya tersebut. Sementara, kubu pendukung sang jenderal menyebut pidato Prabowo harus dipahami secara utuh karena hubungan sebab akibat (kausalitas) yang dimaksudkan Ketua Umum Partai Gerindra itu adalah dalam konteks salah kelola negara.

Apa pun itu, yang jelas kausalitas yang dibangun Prabowo – layaknya inti pemikiran para filsuf pengikut Aristoteles – memang dimaksudkan untuk memberikan jawaban pada pertanyaan “mengapa”, katakanlah jika kepunahan tersebut benar-benar terjadi. Setidaknya, hal itulah yang tergambar dalam bahasa kampanye Prabowo, yang pada titik tertentu bisa juga dinilai cenderung hiperbolik atau berlebihan.

Hal ini salah satunya diungkapkan oleh pengamat politik dari Exposit Strategic Political, Arif Susanto. Bahkan Arif menilai kata-kata “punah” yang digunakan oleh Prabowo cenderung delusional – istilah yang sering digunakan untuk menyebut hal yang disampaikan dengan penuh keyakinan, namun berdasarkan fakta yang tidak akurat atau bertentangan dengan realitas. Tujuannya adalah untuk menciptakan ketergantungan antara para kader dan pemilih.

Dengan konteks audiens pidato tersebut yang adalah kader-kader Gerindra serta simpatisan dan pendukungnya, maka kata-kata Prabowo tersebut memang dimaksudkan untuk menciptakan ketergantungan politik.

Persoalannya adalah pernyataan Prabowo ini telah menjadi konsumsi publik luas dan cenderung dianggap sebagai bahasa kampanye politiknya secara umum, termasuk bagi para pemilih yang belum menentukan pilihan politiknya.

Pertanyaannya adalah apakah hal ini akan berdampak buruk bagi tingkat keterpilihan sang jenderal di 2019 nanti?

Delusi, Sebuah Alat Politik

Delusi memang sering kali diidentikkan dengan ilmu psikologi, khususnya psikopatologis – yang mempelajari kelainan mental akibat penyakit tertentu. Karl Jaspers hingga Klaus Conrad adalah beberapa contoh ahli yang membahas hal tersebut. Namun, ketika diadopsi ke dalam politik, istilah tersebut dimaknai secara berbeda, sekalipun masih memiliki maksud yang linear dalam hal penjelasannya terkait persepsi tentang kebenaran.

Baca juga :  Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Istilah delusi juga cukup sering digunakan dalam konteks kampanye atau dalam pengambilan kebijakan serta sikap politik tertentu. Pada Mei 2016 lalu, Greg Sargent dalam tulisannya di The Washington Post, menilai pernyataan Donald Trump yang menyebut mengalahkan Hillary Clinton adalah “hal mudah”, sebagai sebuah delusi.

Dalam sebuah kesempatan kampanye di hadapan pendukungnya, Trump memang menyebut bahwa dirinya akan mudah melawan Clinton karena lawannya tersebut hanya memiliki woman factor – faktor dirinya sebagai perempuan, yang nota bene diuntungkan dengan demografi pemilih Amerika Serikat (AS) yang mayoritas perempuan dengan tingkat partisipasi politik kelompok yang tinggi pula.

Sargent patut berkata demikian sebab kala itu, elektabilitas Clinton sedang unggul atas Trump dan hampir semua lembaga survei dan analis politik menyebut istri Bill Clinton itu akan menang atas Trump. Selain itu, isu-isu kampanye yang disuarakan oleh Trump seperti persoalan imigran, hubungan dengan Meksiko, xenophobia, dan lain sebagainya, dianggap justru akan membuat pengusaha itu kesulitan mendapatkan suara.

Namun, mungkin Sargent harus merevisi pendapatnya karena hal sebaliknyalah yang terjadi dan Trump memenangkan pertarungan pada pemungutan suara di bulan November tahun itu. Terlepas dari berbagai isu – katakanlah campur tangan Rusia dan sebagainya – hasil Pilpres di tahun tersebut membuat apa yang semula dianggap sebagai delusi, berubah menjadi kebenaran dan fakta.

Selain Trump, istilah delusi dalam politik juga sempat disematkan pada presiden sebelumnya, Barack Obama, terutama dalam konteks kebijakan politik luar negeri. Kolumnis Charles Krauthammer dalam tulisannya di The Washington Post pada Mei 2014, menyebut kebijakan Obama yang tidak mengerahkan kekuatan militer untuk ikut campur dalam persoalan di Semenanjung Krimea yang melibatkan Rusia dan lebih mengharapkan tekanan dari komunitas internasional semata, sebagai hal yang delusional.

Sebutan serupa juga disematkan oleh analis politik neo-konservatif William Kristol. Pendiri majalah The Weekly Standard itu menyebut kebijakan-kebijakan luar negeri Obama di Laut China Selatan misalnya, adalah sebuah self-delusion – kondisi ketika seseorang “mengijinkan” dirinya mempercayai hal-hal yang tidak benar.

Pada titik tertentu, delusi bisa dianggap sebagai penyangkalan (denial) – hal yang juga lagi-lagi dituduhkan kepada Obama kala itu – sekalipun istilah terakhir cenderung dimaknai dengan memperhatikan faktor kesengajaan, dalam arti seseorang tahu apa yang dilakukan atau dinyatakannya sebetulnya tidak benar. Dalam konteks Obama itu, Kristol bahkan menyebut self-delusion sebagai alat politik yang powerful.

Lalu, bagaimana dengan Prabowo?

Di satu sisi, konteks menciptakan ketergantungan dengan konstituen dan kader sangat jelas terasa dalam kata-kata Prabowo tentang kepunahan. Sementara, di sisi lain ada dampak negatif terhadap kelompok pemilih rasional yang mungkin saja akan berpaling dari sang jenderal karena menilainya – seperti kata-kata kubu Jokowi – “asal bunyi”.

Walaupun demikian, model kampanye delusional ini bisa sangat efektif untuk membentuk ikatan dengan pemilih. Bahkan, sekalipun delusi dianggap cenderung negatif, seringkali hal tersebut tidak mempengaruhi para pemilih loyal.

Hal ini terjadi pada Donald Trump. Dalam beberapa debat jelang Pilpres AS 2016, Trump sangat sering membuat pernyataan yang dianggap tidak akurat, penuh kebohongan, atau salah interpretasi. Namun, sekalipun tidak akurat dan tidak sesuai fakta, nyatanya hal tersebut tidak mempengaruhi persepsi para pemilihnya.

Trump bahkan tercatat membuat 34 pernyataan yang entah itu bohong, tidak akurat atau tidak sesuai fakta, dalam salah satu kesempatan debat, dan hal itu dianggap sama sekali tidak mempengaruhi tingkat keterpilihannya.

Kebenaran dan Fakta Alternatif

Di media sosial, konteks kata-kata Prabowo memang mendapatkan sorotan yang luar biasa besar. Ditambah lagi dengan pernyataannya terbaru, misalnya yang menyebut kondisi Indonesia saat ini jauh lebih buruk dibanding negara-negara Afrika seperti Rwanda dan Haiti – sekalipun negara terakhir bukan terletak di Afrika.

Namun, jika dilihat secara lebih dalam, sesungguhnya Prabowo mendapatkan keuntungan politik lewat pernyataan-pernyataan “kontroversialnya” tersebut. Ia mendapatkan sorotan media – hal yang selama ini menjadi surga bagi Jokowi sebagai petahana. Branding politik Prabowo juga semakin dipertegas, bahwa ia adalah orang yang mampu mengeluarkan Indonesia dari kesulitan-kesulitan yang disebutkannya.

Sementara, persoalan apakah yang ia katakan itu akurat atau tidak adalah urusan belakangan. Sebab, di era post truth seperti saat ini, kebenaran seringkali dinilai dari preferensi politik. Hal ini juga diperparah dengan konteks polarisasi atau pembelahan di dalam masyarakat terhadap dua calon yang bersaing itu.

Jika seorang pemilih adalah pendukung Prabowo, sekalipun kata-kata sang jenderal sangat delusional, semuanya tetap dinilai sebagai kebenaran. Begitupun sebaliknya yang terjadi pada pendukung Jokowi.

Pada titik ini, apa yang oleh para pemikir correspondence theory atau teori persesuaian antara kebenaran dan fakta – seperti filsuf Inggris, Bertrand Russel – dengan sendirinya diingkari. Para pemikir tersebut memang menganggap kebenaran harus sesuai dan “berada” di sekitar fakta.

Sebagai catatan, fakta dan kebenaran adalah dua hal yang berbeda, di mana fakta adalah realitas yang tidak bisa dibantah kebenarannya – misalnya presiden Indonesia saat ini adalah Jokowi – sementara kebenaran adalah persepsi terhadap fakta – misalnya Jokowi menyebut dirinya sudah tua.

Dalam konteks post truth tersebut, karena tidak ada persesuaian, maka lahirlah istilah alternative facts atau fakta alternatif untuk mensahkan kebenaran yang dibangun dari preferensi politik.

Istilah ini lagi-lagi populer saat Trump menduduki Gedung Putih, tepatnya diucapkan oleh mantan penasihat politiknya, Kellyanne Elizabeth Conway. Alih-alih menganggap apa yang bukan fakta sebagai kekeliruan, hal itu justru disebut sebagai fakta alternatif.

Pada akhirnya, publiklah yang akan menjadi penilai kata-kata Prabowo tentang kepunahan Indonesia tersebut. Yang jelas, Prabowo tentu saja diuntungkan untuk mengejar kesadaran (awareness) publik terhadap dirinya lewat pernyataan-pernyataan tersebut.

Dan seperti kata Aristoteles di awal tulisan, mengatakan jeruk sebagai mangga, dan mangga sebagai jeruk adalah hal yang salah. Sementara, mengatakan jeruk sebagai jeruk, dan mangga sebagai mangga adalah hal yang benar. Persoalannya, bagaimana jika lawan bicara kita tidak tahu mana mangga dan mana jeruk? (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Bukan Teruskan Jokowi, Prabowo Perlu Beda?

Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto selalu sebut akan lanjutkan program-program Presiden Jokowi, Namun, haruskah demikian? Perlukah beda?

Mungkinkah Prabowo Tanpa Oposisi?

Peluang tak adanya oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran sangat terbuka.Ini karena beberapa partai yang awalnya menjadi lawan Prabowo-Gibran, kini sudah mulai terang-terangan menyatakan siap menjadi bagian dari pemerintahan.

Alasan Ketergantungan Minyak Bumi Sulit Dihilangkan

Bahan bakar minyak (BBM) terus dikritisi keberadaannya karena ciptakan berbagai masalah, seperti polusi udara. Tapi, apakah mungkin dunia melepaskan ketergantungannya pada BBM?

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

More Stories

Mungkinkah Prabowo Tanpa Oposisi?

Peluang tak adanya oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran sangat terbuka.Ini karena beberapa partai yang awalnya menjadi lawan Prabowo-Gibran, kini sudah mulai terang-terangan menyatakan siap menjadi bagian dari pemerintahan.

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?