HomeHeadlineRudal Balistik RI “Todong” Singapura?

Rudal Balistik RI “Todong” Singapura?

Paparan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto yang menggambarkan peta Singapura, Australia, Filipina, dan Laut China Selatan sebagai wilayah jangkauan proyeksi rudal balistik RI menuai tafsir menarik. Pertanyaan kemudian muncul, mengapa negara tentangga, termasuk Singapura, dikemukakan secara eksplisit sebagai jangkauan rudal balistik? Serta apa dampaknya?


PinterPolitik.com 

Beberapa pengamat militer dan pertahanan Asia Tenggara dan Pasifik sempat tergelitik saat paparan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto mengenai wilayah jangkauan proyeksi rudal balistik Indonesia disebut secara gamblang. Terlebih, negara serumpun Singapura menjadi salah satunya. 

Komentar datang, misalnya, dari peneliti Collin Swee Lean Koh dari S. Rajaratnam School of International Studies yang mempertanyakan “Singapore is a prospective target for Indonesia’s future ballistic missiles? 😐” atau “Singapura jadi target prospek rudal balistik Indonesia masa depan? 

Ya, dalam Dialog Kebangsaan Sespim Lemdiklat Polri pada 16 Juni lalu, Menhan Prabowo memaparkan rencana pemenuhan rudal balistik untuk memperbarui sistem pertahanan interoperabilitas Indonesia yang bertajuk Perisai Trisula Nusantara. 

Selain pesawat tempur, drone, hingga kapal perang plus kapal selam, rudal balistik darat dan rudal di pesisir adalah poin yang memantik sorotan. 

Ditempatkan di belasan titik strategis dan taktis pertahanan Indonesia, mulai dari Pulau Sumatera hingga Papua, setiap rudal disebut dapat menjangkau target sejauh 300 km. 

Penyebutan secara eksplisit jangkauan target rudal dalam paparan Menhan Prabowo, lengkap dengan peta Singapura, Filipina, Australia, dan Laut China Selatan kemudian menjadi diskursus menarik. 

ukraina tolak resolusi damai indonesia

Tak terkecuali mengenai konteks kemungkinan aksi-reaksi dan prospek relasi Indonesia dengan negara-negara tersebut di kemudian hari. 

Lantas, mengapa jangkauan rudal balistik Indonesia harus disebutkan secara gamblang? Serta seperti apa kemungkinan situasi politik kawasan setelah spill Menhan Prabowo itu? 

Akan Bereaksi Keras? 

Secara teknis, taktis, dan strategi, Singapura, Filipina, dan Australia pasti telah memiliki mitigasi pertahanan khusus jika memang penyebutan secara eksplisit jangkauan rudal balistik Indonesia dianggap sebagai “ancaman”. 

Akan tetapi, sekali lagi, konteks penyebutan jangkauan target secara spesifik ke negara tertentu-lah yang menuai polemik karena dianggap “kurang etis” dalam relasi antarnegara. 

Bagaimanapun, nasi telah menjadi bubur dan pemaparan Menhan Prabowo itu telah tersebar dan menjadi bahan pembicaraan, termasuk kemungkinan yang hadir di meja analisis kebijakan Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan angkatan bersenjata Singapura, Filipina, maupun Australia. 

Untuk menginterpretasi probabilitas situasi yang terjadi pasca penyebutan negara yang menjadi jangkauan rudal balistik Indonesia secara bijak, telaah teoretis mendasar dari pola tindakan negara terhadap lingkungannya dapat menjadi batu pijakan. 

Dalam buku berjudul International politics: a framework for analysis, Kalevi Jaakko Holsti mengatakan politik internasional selalu berbicara mengenai karakteristik aksi-reaksi negara terhadap langkah negara lain yang berdampak satu sama lain. 

Baca juga :  Jebakan di Balik Upaya Prabowo Tambah Kursi Menteri Jadi 40

Menurut Holsti, selain melingkupi unsur power, kepentingan, dan tindakan, politik internasional  menggambarkan hubungan dua arah (reaksi dan respon), bukan aksi. 

jet tempur ri semakin komplit

Mengacu hal tersebut, Singapura bersama Filipina dan Australia kemungkinan akan bereaksi atas penyebutan teritorinya dalam jangkauan rudal balistik Indonesia, baik yang diungkapkan maupun tidak. Lalu, seperti apa relasi antarnegara yang akan terjadi berikutnya? 

Diskursus persenjataan, militer, dan pertahanan dalam hubungan internasional selalu lekat dengan teori realisme yang digambarkan cenderung konfliktual. 

Realisme baru memperoleh “perbaikan” dengan munculnya konsep offense-defense, seperti yang dikemukakan oleh Robert Jervis, George Quester, dan Stephen Van Evera. 

Mereka berpendapat perang ternyata lebih mungkin terjadi ketika negara-negara dalam kondisi bisa saling menaklukkan dengan mudah. Itu adalah kondisi ketika offense (menyerang) – secara kalkulasi – lebih mudah untuk dilakukan dibandingkan defense (bertahan). 

Namun, sebaliknya, ketika defense lebih mudah daripada offense, keamanan disebut akan lebih terjamin, insentif untuk melakukan ekspansi wilayah berkurang, dan kerjasama internasional berkembang pesat. 

Dengan kata lain, saat defense dilakukan suatu negara dan mendatangkan keuntungan, sementara di satu sisi negara-negara bisa membedakan mana kebijakan persenjataan ofensif dan mana persenjataan defensif, maka negara-negara bisa memperoleh sarana untuk mempertahankan diri tanpa mengancam yang lain. Dengan demikian, pemahaman itu bisa mengurangi kemudaratan dari sifat anarkis sistem internasional. 

Kaum realis “defensif” ini berusaha meredam narasi konfliktual dengan membawa perspektif bahwa negara-negara pada umumnya hanya berusaha untuk sekadar dalam mode survival. Tak terkecuali ketika berupaya memperkuat sistem persenjataan dan pertahanannya. 

Pola interaksi dan tindakan negara seperti Singapura, Filipina, dan Australia pasca disebutkan menjadi jangkauan rudal balistik Indonesia kiranya akan mengarah pada apa yang dijabarkan di atas. 

Bagi Indonesia, tentu mustahil menghadirkan intensi ofensif bagi Singapura, Filipina, maupun Australia saat ini. Apalagi di tengah relasi multi-aspek di antara masing-masing negara yang konstruktif. 

Sekadar intermeso, selain kritik terhadap penyebutan eksplisit negara jangkauan rudal balistik Indonesia, komentar bernada satir juga eksis saat Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI disebut memiliki pekerjaan ekstra untuk menjelaskan pemaparan Menhan Prabowo. 

Jika dihadirkan sebagai salah satu analisis penunjang, kritik satir itu agaknya tak keliru. Kemlu RI boleh jadi memang sedang mempersiapkan penjelasan maupun jawaban andai negara-negara itu melayangkan respons keberatan. 

Tetapi, kembali, jika tak ada case khusus, tiga negara itu kiranya akan memaklumi pemaparan Menhan Prabowo sebagai upaya survival yang justru bisa dilihat berdampak positif dalam aspek lain kawasan dan kepentingan satu sama lain. 

Di samping probabilitas aksi-reaksi itu, satu pertanyaan kemudian masih tertinggal. Dengan asumsi telah memahami kemungkinan reaksi tertentu atas disebutkannya tiga negara sebagai jangkauan rudal, mengapa pemaparan dan penyebutan secara eksplisit itu tetap dilakukan? 

Baca juga :  Gibran, Wapres Paling Meme?
infografis berlomba lomba bikin nuklir

“Perjudian” Prabowo Menguntungkan? 

Harus diakui, penyebutan secara gamblang negara yang menjadi jangkauan sebuah persenjataan kiranya memang tidak lumrah. 

Refleksi negara dengan militer terkuat dunia, Amerika Serikat (AS) pun hanya melabeli aktor negara sebagai secondary threat (ancaman sekunder) secara terbuka dalam proyeksi pertahanannya. 

Di era Perang Dingin, AS hanya melabeli Uni Soviet demikian. Begitu juga dengan Korea Utara, Tiongkok, Rusia, dan Iran pada kurun waktu 2001 sampai 2022. Di tahun 2023 –2030, Tiongkok bahkan “hanya” disebut sebagai penantang, sementara Rusia masih menjadi ancaman. 

Namun, pada dasarnya, Menhan Prabowo tentu tak bermaksud untuk menghadirkan ketegangan dengan penyebutan jangkauan rudal Indonesia jika dipahami secara objektif. 

Itu bisa dilihat saat kembali menengok reaksi Menhan Prabowo saat Australia membangun kapal selam nuklir. Danjen ke-15 Kopassus itu memakluminya sebagai cara Australia menjaga kedaulatan. 

Akan tetapi, sebaliknya, Menhan Prabowo meminta agar Australia dan negara lain pun harus memaklumi apabila militer Indonesia turut membangun postur pertahanan semaksimal mungkin. 

Di samping interpretasi seperti dijelaskan di bagian kedua, variabel ekspektasi resiprokal itu agaknya cukup bagi Prabowo dan tim di Kemhan untuk “berani” mencantumkan negara-negara tersebut. 

Hingga saat ini, konsekuensi minor seperti protes verbal hingga nota keberatan pun memang belum terlihat. 

Di titik ini, Menhan Prabowo kiranya justru merengkuh impresi progresif dalam progresivitas pertahanan Indonesia. 

Konteks tersebut kiranya menggambarkan Menhan Prabowo benar-benar memahami situasi dan bagaimana memposisikan diri di tengah dinamika hingga proyeksi pertahanan dan keamanan kawasan sebagaimana disiratkan Sun Tzu dalam The Art of War

R. L Wing/Rita Aero menuliskan kembali esensi tersebut dalam buku berjudul The Art of Strategy: A New translation of Sun Tzu’s Classic The Art of War di bagian Situational Positioning. 

Singkatnya, strategi tersebut adalah dengan memerhatikan tiga area umum hambatan (jarak, bahaya, dan penghalang) dan enam jenis posisi dalam sebuah tantangan di depan mata. Masing-masing dari enam posisi tersebut kemudian menawarkan keuntungan dan kerugian tersendiri yang dapat dikalkulasi. 

Positioning Menhan Prabowo melalui pemaparan yang sangat terbuka itu boleh jadi berlandaskan kalkulasi yang telah dihitung sedemikian rupa demi sejumlah advantage

Selain secara teknis rencana pertahanan Indonesia dapat terlihat memadai, kesan positif bagi Prabowo secara personal pun bisa jadi turut direngkuh. 

Kendati demikian, penjelasan di atas masih sebatas interpretasi semata. Menarik untuk melihat aksi-reaksi di bidang pertahanan dan keamanan kawasan setelah pemaparan Menhan Prabowo. (J61) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Mengapa Xi-Putin Terjebak “Situationship”?

Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin tampak begitu "mesra" dan bersama-sama deklarasi "lawan" AS.

Karier Politik Panjang Anies

Karier politik Anies Baswedan akan jadi pertaruhan pasca Pilpres 2024. Setelah kalah, Anies dihadapkan pada pilihan-pilihan untuk membuat dirinya tetap relevan di hadapan publik.

Megawati dan Misteri Patung Butet

Butet Kertaredjasa membuat patung “Melik Nggendong Lali” dan tarik perhatian Megawati. Mengapa patung itu berkaitan dengan PDIP dan Jokowi?

Mengapa Prabowo Semakin Disorot Media Asing? 

Belakangan ini Prabowo Subianto tampak semakin sering menunjukkan diri di media internasional. Mengapa demikian? 

Jebakan di Balik Upaya Prabowo Tambah Kursi Menteri Jadi 40

Narasi revisi Undang-Undang Kementerian Negara jadi salah satu yang dibahas beberapa waktu terakhir.

Rekonsiliasi Terjadi Hanya Bila Megawati Diganti? 

Wacana rekonsiliasi Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto dan Joko Widodo (Jokowi) mulai melempem. Akankah rekonsiliasi terjadi di era Megawati? 

Mengapa TikTok Penting untuk Palestina?

Dari platform media sosial (medsos) yang hanya dikenal sebagai wadah video joget, kini TikTok punya peran krusial terkait konflik Palestina-Israel.

Alasan Sebenarnya Amerika Sulit Ditaklukkan

Sudah hampir seratus tahun Amerika Serikat (AS) menjadi negara terkuat di dunia. Mengapa sangat sulit bagi negara-negara lain untuk saingi AS? 

More Stories

Rahasia Besar Presidential Club Prabowo?

Presiden ke-8 RI Prabowo Subianto disebut menggagas wadah komunikasi presiden terdahulu dengan tajuk “Presidential Club”. Kendati menuai kontra karena dianggap elitis dan hanya gimik semata, wadah itu disebut sebagai aktualisasi simbol persatuan dan keberlanjutan. Saat ditelaah, kiranya memang terdapat skenario tertentu yang eksis di balik kemunculan wacana tersebut.

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?