HomeNalar PolitikBukan Capres, Anies vs RK di DKI?

Bukan Capres, Anies vs RK di DKI?

Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2024 dinilai akan lebih menarik dibandingkan Pemilihan Presiden (Pilpres). Ridwan Kamil disebut menjadi nama yang cukup diperhitungkan.


PinterPolitik.com

Saat pemberitaan media tersorot pada sosok calon presiden (capres) di 2024, Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2024 sesungguhnya menjadi diskursus yang tidak kalah menarik. Nama Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil disebut-sebut menjadi salah satu yang terkuat untuk “promosi” ke ibu kota.

Telaah itu sendiri dijabarkan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang membeberkan 10 nama tokoh yang dinilai mumpuni meneruskan estafet kepemimpinan dari Anies Baswedan.

Kepala Departemen Politik dan Sosial CSIS Arya Fernandes menjelaskan pihaknya mendapatkan 10 nama tokoh itu berdasarkan survei kepada ahli yang memahami isu di Jakarta.

Meskipun lebih jamak diprediksi sebagai kandidat capres, Ridwan Kamil sendiri sukses berada di urutan teratas untuk memimpin The Big Durian kelak. Kang Emil, sapaan akrabnya, mengalahkan nama-nama seperti Erick Thohir, Tri Rismaharini, Sandiaga Uno, hingga Ahmad Sahroni dalam survei CSIS.

Pembahasan mengenai kandidat DKI-1 juga mengemuka pada awal pekan ini saat Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) Jakarta mendukung Ahmed Zaki (Bupati Tangerang) sebagai Calon Gubernur (Cagub) ibu kota.

Kader Partai Golkar itu sendiri sebelumnya telah diamanatkan oleh Musyawarah Daerah (Musda) DPD Partai Golkar DKI Jakarta untuk maju di Pilgub DKI 2024.

image 91

Akan tetapi, nama kader Partai Golkar lain yang juga mantan Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany disebut jauh lebih tepat mewakili partai beringin.

Selain sederet nama di atas, Anies Baswedan pun boleh jadi akan kembali bertarung sebagai petahana jika gagal menjadi capres. Itu belum termasuk wakil Anies di Balai Kota saat ini, Ahmad Riza Patria dari Partai Gerindra, yang dijagokan juga akan turut bertarung.

Dengan bertaburnya sosok-sosok beken, Pilgub DKI Jakarta bisa saja mengalahkan pamor dan keseruan Pilpres 2024. Mengapa demikian?

Anies Tak Laku?

Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menghadirkan dua pertarungan unik dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Untuk pertama kalinya, pilpres, pemilihan legislatif (pileg), dan pemilihan kepala daerah (pilkada) diselenggarakan serentak di tahun yang sama.

Ini tentu menimbulkan konsekuensi ketika berbenturan dengan dinamika politik yang telah berkembang sejauh ini. Menariknya, dalam kurun waktu satu dekade terakhir, dampak Pilgub DKI Jakarta selalu memiliki irisan dengan pilpres.

Joko Widodo (Jokowi) misalnya, yang menjadikan Pilgub DKI Jakarta 2012 sebagai batu loncatan sebelum sukses merengkuh kursi RI-1 pada 2014. Lalu, ada residu politik identitas di Pilgub DKI 2017 yang kemudian merembet ke Pilpres 2019.

Secara teoretis, implikasi tersebut kiranya dapat dijadikan titik tolak untuk mengatakan bahwa Pilgub DKI Jakarta 2024 berpotensi lebih menarik ketimbang edisi pilpres. Terlebih, politik Jakarta masih menjadi sentral perhatian publik serta perguliran politik daerah lain di negara +62.

Baca juga :  Puan Maharani 'Reborn'?

Signifikansi itu dikemukakan oleh Heike Mayer dan David Kaufmann dalam tulisan mereka yang berjudul The Political Economy of Capital Cities. Keduanya mengatakan ibu kota memainkan peran penting dalam membentuk identitas politik, ekonomi, sosial dan budaya suatu negara.

image 92

Sebagai pusat pemerintahan dan pengambil kebijakan, representasi ibu kota tak hanya bersifat simbolis tapi juga dalam konteks ekonomi dan perannya sebagai jaringan urban nasional.

Menjadi aspek teoretis komplementer pendapat tersebut, Scott Campbell dalam The Changing Role and Identity of Capital Cities in The Global Era membagi ibu kota ke dalam dua karakteristik, yaitu ibu kota sebagai pusat ekonomi dan bisnis; dan ibu kota sebagai secondary capital.

Jenis kedua ini lebih mengacu pada kota yang hanya memegang peranan sebagai seat of government, atau pusat administrasi pemerintahan saja.

Selain itu, menurut Ross Tapsell dalam bukunya yang berjudul Media Power in Indonesia, berkumpulnya hampir semua kantor pusat media di Jakarta, secara tak langsung menyebabkan pemberitaan media-media akan berkiblat pada “kepentingan Jakarta”.

Kecenderungan tersebut pada akhirnya membuat isu regional Jakarta seolah-olah menjadi isu nasional.

Model bisnis digitalisasi dan multi-platform yang mulai dianut oleh para konglomerasi media juga berkontribusi terhadap sentralisasinya isu-isu nasional pada Jakarta. Sehingga pada akhirnya siapa pun yang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta  akan menjadi sorotan nasional.

Kemudian, alasan kedua yang menjadikan Pilgub DKI Jakarta 2024 berpotensi lebih menarik adalah soal perjudian Anies Baswedan.

Ya, Anies sekilas masih diliputi ketidakpastian jika berambisi bertarung di pilpres. Hingga detik ini, namanya hanya menghiasi survei dan usulan parpol dalam rapat kerja nasional (rakernas) semata.

Hal tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh karakteristik Anies yang berpotensi kehilangan panggung politik dan memudar relevansinya dalam blantika politik dan pemerintahan pasca hengkang dari kursi Gubernur, Oktober 2022 mendatang.

Sosok Anies yang tanpa parpol pun berpotensi menimbulkan efek deparpolisasi. Fenomena politik deparpolisasi sendiri berbeda dengan orang yang tidak percaya politik yaitu apolitis.

Deparpolisasi adalah fenomena di mana masyarakat masih percaya terhadap politik, tapi tidak percaya dengan sistem kepartaian yang dirasa tidak mempunyai efek bagi masyarakat.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan deparpolisasi terjadi antara parpol dan pemilih yang disebabkan oleh dua hal, yakni afeksi psikologis dan rasional. Deparpolisasi ini menihilkan peran parpol dalam demokrasi yang terjadi di dunia perpolitikan Indonesia.

Eksistensi Anies di level nasional yang notabene sosok “serve no master” atau tidak mengabdi pada siapapun agaknya bisa merusak tatanan “nyaman” para parpol selama ini. Ketidakpercayaan terhadap parpol bisa saja meningkat jika Anies bertarung di Pilpres 2024.

Oleh karena itu, boleh jadi Anies akan kembali mencoba peruntungan di Pilgub DKI Jakarta 2024 sebagai petahana.

Namun, comeback Anies tampak tidak akan mudah. Mengapa begitu?

Baca juga :  Singapura 'Ngeri-ngeri Sedap' ke Prabowo?
image 90

Butuh Skill Khusus?

Politik identitas yang kerap disebut menjadi senjata pamungkas Anies menumbangkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Pilgub DKI edisi 2017 agaknya tidak akan laku lagi di edisi 2024.

Apalagi, Anies akan berhadapan dengan kandidat lebih segar dengan modal politik hingga prestasi mumpuni. Inilah yang kemudian menjadi alasan ketiga, mengapa Pilgub DKI Jakarta akan lebih menarik.

Well, sejauh ini cukup banyak nama dengan kaliber elite yang beredar untuk menggeser Anies dari jabatan Gubernur (re: bukan Plt.). Bahkan, diperkirakan, akan terjadi pertarungan antar-trah hingga saling sikut partai lima besar atau the big five: PDIP, Partai Golkar, Partai NasDem, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra.

PDIP, misalnya, punya nama Gibran Rakabuming Raka serta Tri Rismaharini yang digadang akan mengadu nasib di ibu kota. Jika Gibran yang akhirnya diusung, kemungkinan akan terjadi pertarungan antara trah-Jokowi dengan trah-Ratu Atut Chosiyah, dengan skenario Airin Rachmi Diany dijagokan Partai Golkar.

Nama Ahmad Sahroni yang terkenal sebagai crazy rich Priok juga mulai memiliki kapasitas dan merengkuh popularitas sebagai perwakilan yang bisa ditawarkan Partai NasDem.

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) juga dinilai masih berpeluang untuk “coba lagi” mewakili Partai Demokrat.

Ahmad Riza Patria yang menjadi wakil Anies, juga jamak disebut cukup memenuhi kualifikasi untuk naik kelas dari DKI-2 ke DKI-1.

Eits, masih ada sosok Ridwan Kamil yang dikatakan sangat memenuhi kualifikasi kepemimpinan ibu kota dari perspektif para ahli sebagaimana survei CSIS seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Di atas semua itu, ada satu skill yang kiranya wajib dimiliki dan menjadi kunci daya tawar pemilih Jakarta jika ingin dinilai pantas memimpin, yaitu comprehensive city management atau kemampuan manajemen tata kelola kota yang komprehensif.

Kemampuan itu telah menjadi teori sekaligus acuan bagi seorang kandidat pemimpin sebuah ibu kota dengan tingkat heterogenitas persoalan yang kompleks. Dalam buku City Management: Theories, Methods, and Applications, Shih-Kung Lai mengatakan city management theory memandang kota sebagai sistem kompleks yang besar.

Berdasarkan pendekatan kompleksitas, dalam kaitannya dengan teori pembangunan perkotaan yang berasal dari ekonomi perkotaan, seorang pemimpin sebuah kota harus memahami cara kerja kota.

Sistem kompleks itu terdiri dari banyak agen yang berinteraksi yang mengatur diri mereka sendiri menjadi beberapa pola.

Selain itu, ekonomi perkotaan, disebut Lai mengasumsikan perilaku rasional berdasarkan ekonomi neo-klasik dan bermaksud untuk menjelaskan pola fisik yang dihasilkan dari aktivitas manusia yang terjadi di ruang kota.

Esensinya, sang pemimpin haruslah hadir dengan kemampuan untuk memecahkan masalah fisik dan non-fisik untuk meningkatkan kualitas manusia di dalam sebuah kota.

Maka dari itu, akan cukup dinantikan proses politik dan nama yang akan muncul jelang Pilgub DKI Jakarta 2024 mendatang. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Rahasia Besar Presidential Club Prabowo?

Presiden ke-8 RI Prabowo Subianto disebut menggagas wadah komunikasi presiden terdahulu dengan tajuk “Presidential Club”. Kendati menuai kontra karena dianggap elitis dan hanya gimik semata, wadah itu disebut sebagai aktualisasi simbol persatuan dan keberlanjutan. Saat ditelaah, kiranya memang terdapat skenario tertentu yang eksis di balik kemunculan wacana tersebut.

Apa Siasat Luhut di Kewarganegaran Ganda?

Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengusulkan agar kewarganegaraan ganda untuk diaspora Indonesia diperbolehkan. Apa rugi dan untungnya?

Budi Gunawan Menuju Menteri Prabowo?

Dengarkan artikel ini: Nama Kepala BIN Budi Gunawan disebut-sebut sebagai salah satu kandidat calon menteri yang “dititipkan” Presiden Jokowi kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Hal...

Bukan Teruskan Jokowi, Prabowo Perlu Beda?

Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto selalu sebut akan lanjutkan program-program Presiden Jokowi, Namun, haruskah demikian? Perlukah beda?

Mungkinkah Prabowo Tanpa Oposisi?

Peluang tak adanya oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran sangat terbuka.Ini karena beberapa partai yang awalnya menjadi lawan Prabowo-Gibran, kini sudah mulai terang-terangan menyatakan siap menjadi bagian dari pemerintahan.

Alasan Ketergantungan Minyak Bumi Sulit Dihilangkan

Bahan bakar minyak (BBM) terus dikritisi keberadaannya karena ciptakan berbagai masalah, seperti polusi udara. Tapi, apakah mungkin dunia melepaskan ketergantungannya pada BBM?

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

More Stories

Rahasia Besar Presidential Club Prabowo?

Presiden ke-8 RI Prabowo Subianto disebut menggagas wadah komunikasi presiden terdahulu dengan tajuk “Presidential Club”. Kendati menuai kontra karena dianggap elitis dan hanya gimik semata, wadah itu disebut sebagai aktualisasi simbol persatuan dan keberlanjutan. Saat ditelaah, kiranya memang terdapat skenario tertentu yang eksis di balik kemunculan wacana tersebut.

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?