HomePolitikMenteri Jokowi 2.0, Profesional atau Politik?

Menteri Jokowi 2.0, Profesional atau Politik?

Oleh Niko Amrullah, Direktur Litbang IndekStat Indonesia

Guna menyongsong periode keduanya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berjanji akan memberikan proporsi kabinet yang lebih besar pada kalangan profesional. Namun, apakah hal itu memungkinkan di tengah situasi politik terkini?


PinterPolitik.com

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengungkapkan perbandingan komposisi menteri di periode kedua dalam masa kepemimpinannya adalah 55-45 – di mana 55 persen  calon menterinya diangkat dari kalangan profesional dan 45 persennya merupakan representasi parpol. Akankah pengambilan kursi menteri Kabinet Jokowi 2.0 benar-benar murni dari kalangan profesional di tengah gencarnya arus manuver politik dari parpol koalisi dalam kompetisi jabatan politik yang riuh menghiasi media massa terkini?

Rombakan Kabinet Kerja I

Pada tahun 2014 lalu, babak awal Kabinet Kerja dimulai dengan 34 menteri yang 21 di antaranya – atau sekitar 62 persen – berasal dari kalangan profesional murni. Status profesional dalam hal ini merujuk pada latar belakang akademisi – baik dosen maupun rektor universitas, ketua organisasi kemasyarakatan, pejabat perusahaan, dan sebagian berasal dari birokrat murni. Namun, komposisi tersebut tidak bertahan lama, karena bongkar pasang pun terjadi sebanyak enam jilid.

Jilid pertama dilakukan saat pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla telah berjalan selama sepuluh bulan. Terdapat empat posisi menteri dan jabatan lain yang mengalami pembongkaran, yakni Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (Menko Kemaritiman), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Menteri Perdagangan, dan Sekretaris Kabinet.

Pada jilid kedua, perombakan terjadi pada 13 posisi menteri dan satu ketua badan, yaitu Menteri Perhubungan (Menhub), Menteri Keuangan (Menkeu), Menteri Agraria Tata Ruang (ATR), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Perindustrian, Menteri Pendikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Menko Polhukam, Menko Kemaritiman, Menteri Perdagangan (Mendag), Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan Wakil Menteri Perindustrian.

PDIP sebagai parpol utama pendukung pemerintah masih memperoleh lima jatah menteri di kabinet kerja. Selain itu, partai-partai politik lainnya juga tetap mendaparkan jatah menteri, seperti Nasdem (dua menteri dan Jaksa Agung), PKB (tiga menteri), Hanura (satu menko), PPP (satu menteri), PKPI (Kepala Badan Intelijen Negara), Golkar (satu menteri), dan PAN (satu menteri).

Pada jilid ketiga, Jokowi merombak posisi menteri ESDM lantaran pengangkatan Arcandra Tahar menuai polemik. Jilid keempat hanya mengubah satu kementerian, ditambah dengan beberapa lembaga pemerintahan non-struktural, yakni menteri sosial (Mensos) dan kepala staf presiden. Pada jilid Kelima, presiden mengganti menteri PAN-RB. Kemudian, dalam jilid yang terakhir, posisi Mensos yang semula dijabat Idrus Marham berganti ke kader Golkar lainnya.

Baca juga :  Rasuah, Mustahil PDIP Jadi “Medioker”?

Enam jilid tersebut menjadi gambaran atas bagaimana Presiden Jokowi melakukan manajemen konflik ala Jawa, yakni lamun sira sekti ojo mateni (meskipun kamu sakti jangan suka menjatuhkan), lamun sira banter aja ndhisiki (meskipun kamu cepat jangan suka mendahului), lamun sira pinter aja minteri (meskipun kamu pintar jangan sok pintar). Ruang balas budi politik diberikan Jokowi kepada relawan dan parpol koalisi dalam pergiliran kursi pejabat publik.

Dalam konteks dinamika politik pasca-Pilpres 2019, pertanyaannya kembali pada bagaimana manuver Presiden Jokowi di tengah hegemoni partai politik – yang menurut AntonioGramsci merujuk pada kuatnya pengaruh kepemimpinan dalam bentuk moral maupun intelektual, dan diciptakan melalui pemaksaan maupun pengaruh terselubung dengan perangkat-perangkat kekuasaan. Akibatnya, kesadaran akan strategisnya posisi parpol koalisi pengusung Jokowi saat ini akan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menancapkan jangkar pengaruhnya di masyarakat dalam waktu lima tahun ke depan melalui instrumen kekuasaan. Lima tahun ke depan adalah waktu emas bagi parpol untuk berkompetisi dalam estafet kepemimpinan nasional.

Menteri Politik

Sungguhpun ada istilah menteri profesional, namun tak akan jauh dari pengaruh partai politik (parpol), atau dengan kata lain rekomendasi parpol menjadi “gong” penentu para profesional yang akan masuk dalam bursa menteri Kabinet Kerja Jilid II. Pada konfigurasi politik pengusung Jokowi-Ma’ruf Amin yang lolos pada ambang batas parlemen, terdapat lima parpol yang memiliki pengaruh (power) dan kepentingan (interest) dalam bursa calon Menteri Kabinet Kerja jilid II, yaitu PDIP (19,33%), Partai Golkar (12,31%), PKB (9,69%), Partai Nasdem (9,05%), PPP (4,52%).

Meskipun pemilihan menteri menjadi hak prerogatif Presiden, namun PDIP selaku the ruling party memegang peran yang sangat signifikan dalam kompetisi riuh komposisi Kabinet Kerja Jilid II. PKB – meskipun perolehannya di bawah partai Golkar – ini sudah menang di awal dengan terpilihnya KH Ma’ruf sebagai pendamping Jokowi. Melihat fakta ini, maka Partai Golkar dan Partai Nasdem melakukan manuvernya masing-masing. Partai Golkar mengincar kursi pimpinan DPR sekaligus memperoleh kursi Ketua MPR RI melalui Bambang Soesatyo. Sementara, Partai Nasdem mengambil peran sebagai konduktor dalam orkestra kompetisi kekuasaan.

Bukan tanpa fakta, di tengah Megawati melakukan pertemuan politik dengan Prabowo, Surya Paloh dalam kesempatan yang sama mengumpulkan parpol koalisi – minus PDIP. Alih-alih rekonsiliasi bangsa jilid II setelah pertemuan apik Jokowi dan Prabowo di MRT, justru hal ini mencerminkan adanya perseteruan babak anyar. Fakta lain juga ditunjukkan saat Megawati urung menyalami Surya pada pelantikan DPR RI periode 2019-2024.

Baca juga :  Rela “Disandera” PDIP, Ganjar Bukan Jokowi?

Dalam analisis stakeholder, kedua parpol tersebut tergolong dalam kategori key player, yaitu mempunyai tingkat pengaruh dan tingkat kepentingan politik yang sama-sama besar. Keduanya menjadikan Jokowi sebagai ikon untuk mengatrol perolehan suara pada Pileg 2019. Bahkan, sebelum PDIP mengusung Jokowi sebagai calon presiden, Partai Nasdem sudah mencuri start dengan meletakkan Jokowi sebagai ikon kampanye partainya malalui branding “Jokowi Presidenku, Nasdem Partaiku”.

Menguatnya peran parpol terlihat juga pada perseteruan revisi RUU KPK dan RKUHP pada beberapa pekan lalu. Meskipun penolakan dari aliansi masyarakat sipil, termasuk juga gerakan mahasiswa, publik bisa melihat dari media massa bahwa senyuman tanpa kepanikan itu tersuguhkan dari aktor-aktor politik untuk tetap mengesahkan kedua regulasi yang melawan psikologi publik.

Maka dari itu, istilah menteri politik akan lebih relevan untuk melukiskan komposisi Kabinet Kerja Jilid II. Lima tahun ke depan, menjadi waktu berharga bagi parpol untuk memupuk pengaruhnya kepada publik. Kursi menteri menjadi salah satu panggung yang strategis untuk menancapkan pengaruhnya di masyarakat. Terlebih, tema “SDM Unggul Indonesia Maju” adalah bentuk manis dari kemasan program politik yang langsung menyasar kepada pemilih. Elaborasi dari tema tersebut adalah program-program peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam wujud pendidikan, pelatihan, bantuan permodalan, beasiswa pendidikan, bantuan sosial, dan bentuk-bentuk sejenis yang dapat mengikat masyarakat secara langsung.

Baik dari profesional maupun dari representasi parpol, publik hanya mampu menitipkan harapan kepada mereka. Modernisasi dan keterbukaan informasi, menjadi senjata ampuh bagi publik dalam memantau kinerja Kabinet Kerja jilid II. Pun sebaliknya, pergeseran zaman ini menjadi senjata bagi pejabat publik untuk menunjukkan kinerjanya secara mudah dan langsung kepada masyarakat. Delapan puluh lima koma enam juta suara atau lebih dari separuh pemilih dalam Pilpres 2019 menjadi legitimasi yang perlu dirawat dengan baik.

Tulisan milik Niko Amrullah, Direktur Litbang IndekStat Indonesia dan alumnus Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Tarung 3 Parpol Raksasa di Pilkada

Pilkada Serentak 2024 menjadi medan pertarungan sengit bagi tiga partai politik besar di Indonesia: PDIP, Golkar, dan Gerindra.

RK Effect Bikin Jabar ‘Skakmat’?�

Hingga kini belum ada yang tahu secara pasti apakah Ridwan Kamil (RK) akan dimajukan sebagai calon gubernur (cagub) Jakarta atau Jawa Barat (Jabar). Kira-kira...

Kamala Harris, Pion dari Biden?

Presiden ke-46 Amerika Serikat (AS) Joe Biden telah memutuskan mundur dari Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2024 dan memutuskan untuk mendukung Kamala Harris sebagai calon...

Siasat Demokrat Pepet Gerindra di Pilkada?

Partai Demokrat tampak memainkan manuver unik di Pilkada 2024, khususnya di wilayah-wilayah kunci dengan intrik tarik-menarik kepentingan parpol di kubu pemenang Pilpres, Koalisi Indonesia Maju (KIM). Lantas, mengapa Partai Demokrat melakukan itu dan bagaimana manuver mereka dapat mewarnai dinamika politik daerah yang berpotensi merambah hingga nasional serta Pilpres 2029 nantinya?

Puan-Kaesang, ‘Rekonsiliasi’ Jokowi-Megawati?

Ketua Umum (Ketum) PSI Kaesang Pangarep diwacanakan untuk segera bertemu dengan Ketua DPP PDIP Puan Maharani. Mungkinkah akan ada rekonsiliasi antara Presiden Joko Widodo...

Alasan Banyaknya Populasi Asia

Dengarkan artikel berikut Negara-negara Asia memiliki populasi manusia yang begitu banyak. Beberapa orang bahkan mengatakan proyeksi populasi negara Asia yang begitu besar di masa depan...

Rasuah, Mustahil PDIP Jadi “Medioker”?

Setelah Wali Kota Semarang yang juga politisi PDIP, Hevearita Gunaryanti Rahayu ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), plus, Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto yang masih menjalani proses hukum sebagai saksi di KPK dan Polda Metro Jaya, PDIP agaknya akan mengulangi apa yang terjadi ke Partai Demokrat setelah tak lagi berkuasa. Benarkah demikian?

Trump dan Bayangan Kelam Kaisar Palpatine�

Percobaan penembakan yang melibatkan kandidat Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump (13/7/2024), masih menyisakan beberapa pertanyaan besar. Salah satunya analisis dampaknya ke pemerintahan Trump jika nantinya ia terpilih jadi presiden. Analogi Kaisar Palpatine dari seri film Star Wars masuk jadi salah satu hipotesisnya.�

More Stories

Menavigasi Inklusivitas Politik Indonesia: Prabowo Subianto dan Perwujudan Consociational Democracy

Oleh: Damurrosysyi Mujahidain, S.Pd., M.Ikom. Perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 telah berlalu dan sebagian besar rakyat Indonesia telah berkontribusi dalam terpilihnya Prabowo Subianto sebagai presiden...

Mengurangi Polarisasi Agama, Berkaca dari Pemilu 2024

Oleh: Muhammad Iqbal Saputra Pada Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024), isu politisasi agama kembali mengemuka. Politisasi agama merupakan penggunaan simbol dan retorika agama untuk meraih...

Di Balik Pelik RUU Penyiaran vs Digitalisasi

Oleh: Muhammad Azhar Zidane PinterPolitik.com Konteks penyiaran saat ini menjadi salah satu topik isu menarik untuk dibahas, terlebih saat perumusan RUU Penyiaran mulai ramai kembali di...