HomeNalar PolitikStrategi PDIP Untuk Ganjar Usang?

Strategi PDIP Untuk Ganjar Usang?

Kecil Besar

Calon presiden (capres) PDIP Ganjar Pranowo dinarasikan berasal dari keluarga biasa, bukan bangsawan ataupun elite bangsa. Narasi semacam ini bukan sesuatu yang baru di PDIP, saat awal menunjuk Joko Widodo (Jokowi) sebagai capres di Pilpres 2014 hal serupa pun pernah disampaikan. Lalu, apakah masih relevan narasi wong cilik dalam Pilpres 2024 mendatang?


PinterPolitik.com

Ketua Koordinasi Relawan Pemenangan Pilpres PDIP Ahmad Basarah mengatakan calon presiden (capres) yang diusung partainya, Ganjar Pranowo bukan berasal dari keluarga bangsawan ataupun elite negara.

Ganjar lahir dari seseorang keluarga kebanyakan di Indonesia, bukan dari kalangan bangsawan, bukan anak jenderal, bukan juga anak orang-orang elite di republik ini. Ganjar adalah anak seorang purnawirawan Polri berpangkat biasa.

Hal itu disampaikan Basarah dalam sebuah acara diskusi interaktif terbuka yang bertajuk “Kenapa Ganjar Pranowo Capres Terbaik Penerus Jokowi?”.

Dalam acara itu, Basarah memang berharap diskusi lebih mengungkap sisi humanisme Ganjar dan keluarganya.

Wakil Ketua MPR RI itu menyebut keluarga Ganjar adalah gambaran rumah tangga ideal dalam struktur masyarakat Indonesia. Menurutnya, jika ingin memilih pemimpin bangsa maka dimulai melihat keluarganya.

Narasi semacam ini bukan hal baru untuk PDIP. Narasi serupa juga pernah dikemukakan PDIP ketika mencalonkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai capres pada Pilpres 2014 lalu.

koalisi ganjar macet

Dengan begitu Basarah seolah menegaskan, bukan berarti rakyat biasa tidak bisa menjadi seorang pemimpin negara.

PDIP pun seakan sudah membuktikannya dengan menghantarkan Jokowi menjadi presiden selama dua periode lewat sebuah demokrasi.

Selain itu, Basarah juga menekankan peran dari sang Ketua Umum (Ketum) Megawati Soekarnoputri yang menurutnya berhasil menghasilkan pemimpin yang lahir dari rakyat.

Partai berlambang banteng moncong putih itu memang terkenal dengan branding sebagai partai wong cilik, dan secara konsisten mempertahankan branding itu demi memikat pemilih menengah ke bawah.

Lantas, apakah branding sebagai wong cilik akan kembali membuat PDIP berhasil memenangkan Ganjar dalam Pilpres 2024 nanti?

Wong Cilik Tak Relevan?

Dalam teknik marketing, branding dari sebuah produksangat penting untuk memudahkan konsumen mengingat produk tersebut.

Tak jauh berbeda dalam dunia politik, setiap aktor politik harus membuat branding image agar pemilih dapat mengingatnya. Dengan begitu, probabilitas terpilih dan memenangkan kontestasi lebih terbuka.

Baca juga :  PDIP dan Gertakan-gertakan Asap?

Nadia Zahra Karla Lubis dan Rosita Anggraini Tagor dalam tulisannya yang berjudul Political Communication Strategy of The PDIP Perjuangan Party menjelaskan konsistensi dari desain politik yang memihak kesejahteraan rakyat membuat PDIP berhasil menjadikan Jokowi dua periode.

3 menteri bacawapres ganjar

Selain itu, strategi membentuk serta mempertahankan brand image sebagai partai wong cilik membuat PDIP masih punya simpatisan yang kuat.

Kevin Lane Keller dalam tulisannya yang berjudul Conseptualizing, Measuring, and Managing Customer-Based Brand Equity menjelaskan brand image adalah persepsi tentang sebuah merek yang merupakan refleksi konsumen akan asosiasinya pada merek tersebut.

Dalam konteks politik, brand image suatu partai politik (parpol) sangat dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terhadap parpol itu.

Berkaca dari penjelasan tersebut, berkat brand image yang secara konsisten ditunjukkan oleh PDIP membuat parpol pimpinan Megawati itu melekat dengan branding wong cilik.

PDIP mulai dikenal secara luas sebagai partai wong cilik ketika menjadi oposisi di era pemerintahan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Saat itu, ada aksi yang sangat ikonik dari Megawati dan Puan Maharani ketika menangis sebagai reaksi protes atas keputusan pemerintahan SBY yang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 2008 lalu.

Aksi yang mencerminkan keberpihakan kepada rakyat itu kemudian mendukung branding image PDIP yang pada akhirnya melekat pada benak pemilih.

Tapi, puncak dari keberhasilan konsistensi desain politik wong cilik PDIP adalah ketika mencalonkan Jokowi pada 2014 lalu.

Sama seperti Ganjar saat ini, Jokowi saat itu dikisahkan sebagai calon pemimpin dari kalangan rakyat biasa sehingga tidak akan mengkhianati rakyat.

Narasi itu kemudian berhasil memenangkan PDIP di Pemilu 2009 dan 2014, sekaligus menjadikan Jokowi RI-1 selama dua periode.

Namun, kini tampaknya ada pergeseran persepsi dalam masyarakat terhadap PDIP. Masyarakat tampaknya lebih mengharapkan capres yang dapat mengatasi segala permasalahan bangsa, alih-alih hanya sekadar sosok yang merakyat.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa branding image suatu parpol tergantung pada persepsi yang ada di masyarakat, PDIP kini tampaknya kehilangan persepsi positif dari brand wong cilik mereka.

Baca juga :  Order of Succession: Kings & Queens

Sama seperti ketika munculnya persepsi positif, pergeseran persepsi itu juga disebabkan oleh perilaku yang diperlihatkan PDIP sendiri.

oknum pdip tak dukung ganjar

Lunturnya Citra Wong Cilik

Jika saat itu PDIP mulai mendapatkan brand partai wong cilik karena perilaku mereka yang mencerminkan kearah tersebut.

Kini, PDIP juga kehilangan persepsi itu juga karena perilaku yang mereka tunjukkan dihadapan publik. Berbagai kasus yang melibatkan PDIP menjadi titik balik dari pergeseran persepsi masyarakat itu.

Diantaranya adalah kasus suap politisi PDIP Harun Masiku yang hingga kini masih buron. Dalam kasus itu juga diduga melibatkan para petinggi PDIP.

Kemudian, ada juga kasus Ketua DPR RI Puan Maharani yang mematikan microphone saat interupsi dari anggota DPR RI fraksi PKS Amin AK dalam rapat paripurna. Peristiwa itu kemudian seolah menjadi cerminan bahwa PDIP adalah parpol yang antikritik.

Selain itu, belum lama ini kasus yang membuat semakin minornya persepsi terhadap PDIP adalah ketika rapat antara Komisi III DPR RI dengan Mahfud MD tentang RUU Perampasan Aset.

Saat itu, Mahfud meminta DPR untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Namun, anggota dari fraksi PDIP Bambang “Pacul” mengeluarkan pernyataan, “Lobinya jangan di sini Pak. Di sini (DPR) nurut bosnya masing-masing,”.

Pernyataan itu seakan menegaskan bahwa anggota DPR dari fraksi PDIP itu bertindak sesuai dengan perintah ketum parpol, bukan atas dasar kepentingan rakyat.

Lalu, dengan berbagai peristiwa minor tersebut, apakah PDIP akan tetap berhasil mencitrakan Ganjar sebagai wong cilik yang berpihak pada rakyat?

Melihat apa yang terjadi belakangan ini, khususnya sentiment di media sosial, PDIP tampaknya sudah kehilangan branding image mereka sebagai partai wong cilik.

Branding partai wong cilik boleh jadi hanya akan menjadi sebuah branding image tanpa terasa implementasinya.

Oleh karenanya, PDIP tampaknya harus segera mengembalikan kepercayaan publik terhadap brand wong cilik mereka jika ingin menang dalam kontestasi elektoral mendatang.

Yang jelas, publik berharap PDIP dan Ganjar benar-benar mengimplementasikan branding image wong cilik tersebut jika kembali memenangkan Pemilu 2024 nanti. (S83)

spot_imgspot_img

#Trending Article

PDIP Terpaksa “Tunduk” Kepada Jokowi?

PDIP melalui Puan Maharani dan Joko Widodo (Jokowi) tampak menunjukan relasi yang baik-baik saja setelah bertemu di agenda Ramadan Partai NasDem kemarin (21/3). Intrik elite PDIP seperti Deddy Sitorus, dengan Jokowi sebelumnya seolah seperti drama semata saat berkaca pada manuver PDIP yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintah tetapi justru bersikap sebaliknya. Lalu, kemana sebenarnya arah politik PDIP? Apakah akhirnya secara tak langsung PDIP akan “tunduk” kepada Jokowi?

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.

Deddy Corbuzier: the Villain?

Stafsus Kemhan Deddy Corbuzier kembali tuai kontroversi dengan video soal polemik revisi UU TNI. Pertanyaannya kemudian: mengapa Deddy?

Sejauh Mana “Kesucian” Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, “kesucian” Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

Teror Soros, Nyata atau “Hiperbola”? 

Investor kondang George Soros belakangan ramai dibincangkan di media sosial. Apakah ancaman Soros benar adanya, atau hanya dilebih-lebihkan? 

Begitu Sulit Sri Mulyani

Kementerian Keuangan belum juga memberikan paparan kinerja APBN bulan Januari 2025.

Mitos “Hantu Dwifungsi”, Apa yang Ditakutkan?

Perpanjangan peran dan jabatan prajurit aktif di lini sipil-pemerintahan memantik kritik dan kekhawatiran tersendiri meski telah dibendung sedemikian rupa. Saat ditelaah lebih dalam, angin yang lebih mengarah pada para serdadu pun kiranya tak serta merta membuat mereka dapat dikatakan tepat memperluas peran ke ranah sipil. Mengapa demikian?

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?