HomeHeadlineSaatnya Andika In, Prabowo Out?

Saatnya Andika In, Prabowo Out?

Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa kembali mengemuka sebagai kandidat potensial pemilihan presiden (Pilpres) 2024 dari kalangan militer. Lantas, apakah Andika mampu mengalahkan keperkasaan Prabowo Subianto selama ini sebagai sosok tersebut?


PinterPolitik.com

Nama sosok yang dinilai pantas untuk menjadi calon presiden (capres) maupun calon wakil presiden (cawapres) pada kontestasi elektoral 2024 silih berganti mengemuka.

Teranyar, nama Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa kembali muncul. Itu setelah dirinya secara bergiliran menyambangi dua organisasi massa (ormas) Islam sekaligus, yaitu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah pekan ini.

Penafsiran seketika muncul ketika kunjungan eksternal Andika itu dilakukan terhadap dua entitas yang memiliki basis suara pemilih yang cukup signifikan.

Beberapa survei memang terus memunculkan nama Andika ke bursa kandidat suksesor Joko Widodo (Jokowi), terutama sebagai calon berlatar belakang militer. Belakangan, Andika bahkan dikabarkan masuk dalam kandidat capres yang akan diusung Partai Nasdem di 2024.

Meskipun persentase elektabilitasnya belum terlampau besar, Andika dinilai menjadi nama segar yang seiring waktu bisa saja menjadi tantangan bagi tokoh lain seperti seniornya Prabowo Subianto.

Alasan Panglima TNI mengunjungi PBNU dan PP Muhammadiyah sendiri adalah untuk melihat kondisi di eksternal TNI setelah dirinya mengatakan sudah cukup memahami detail internal organisasi yang dipimpinnya.

Sayangnya, ekspektasi yang mengemuka hanya menempatkan Andika sebatas calon potensial saja. Direktur Eksekutif Kelompok Kajian dan Diskusi Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), Kunto Adi Wibowo, misalnya, melihat peluang Andika cukup kecil untuk diusung menjadi capres jika berkaca pada elektabilitasnya saat ini.

Kunto membandingkan dengan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo di Pilpres 2019 yang memiliki elektabilitas lebih besar dari Andika, tetapi tetap kesulitan mendapatkan partai politik (parpol) pengusung.

Jenderal Andika sendiri merespons dengan jawaban yang cukup logis di tengah kalkulasi politik itu. Dia cukup mengapresiasi dukungan terhadapnya tetapi mengatakan bahwa saat ini dirinya akan tetap fokus memimpin TNI.

Lantas, mengapa kunjungan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa itu dikaitkan dengan Pilpres 2024? Serta apakah Andika akan benar-benar berkeinginan maju menjadi capres ataupun cawapres nantinya?

infografis sowan panglima ke pbnu

Momentum Tepat Andika Perkasa?

Secara historis, kunjungan orang nomor satu TNI ke ormas keagamaan merupakan hal yang lumrah. Panglima TNI periode 2017-2021 Marsekal (Purn.) Hadi Tjahjanto misalnya, juga pernah melakukan hal serupa.

Akan tetapi, terdapat satu hal esensial yang menjadi pembeda di balik kunjungan Andika tersebut, yakni timing atau momentum ketika berlangsung bersamaan dengan dinamika politik yang sedang mengemuka.

Luis Rubio dalam publikasinya berjudul Time in Politics mengatakan bahwa dalam dunia politik tidak ada yang lebih penting daripada momentum. Rubio melandaskan argumennya pada kecenderungan bahwa segala keputusan dan tindakan tertentu dapat memiliki efek dan impresi yang sangat berbeda, tergantung pada momentum dan kapan keputusan maupun tindakan itu dibuat.

Baca juga :  Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Sementara itu, John Gibson dalam Political Timing: A Theory of Politicians’ Timing of Events juga mengemukakan esensi serupa dari signifikansi momentum yang dapat memengaruhi peristiwa politik dalam konteks memaksimalkan benefit politik atau meminimalkan biaya politik dari para aktor.

Jika direfleksikan pada kunjungan Jenderal Andika ke dua ormas Islam terbesar di Tanah Air, momentum juga tampak cukup jelas menjadi pembeda atas interpretasi terbaru perhitungannya menjadi capres di 2024.

Tidak bisa dipungkiri bahwa selain karena faktor kemunculan dalam peringkat elektabilitas, momentum kunjungan Andika juga tampak selaras dengan langkah serupa dari sejumlah sosok potensial lain di pemilihan presiden (Pilpres) 2024 belakangan ini.

Sebut saja safari politik yang dilakukan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK) ke sejumlah elite dan pimpinan parpol. Sementara Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga dinilai memeragakan gestur serupa saat menggelar kegiatan yang terkesan meninggalkan pesan politik seperti agenda mudik gratis hingga menggelar salat Idulfitri di Jakarta Internasional Stadium (JIS).

Di sudut lain, Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dipersepsikan melakukan safari silaturahmi lebaran ketika ia menyambangi tokoh nasional mulai dari Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri hingga Sultan Hamengkubuwono X.

Signifikansi momentum itu juga dipertebal dengan momentum lainnya, yakni sejumlah jajak pendapat yang terus memunculkan nama Andika ke bursa kandidat suksesor Jokowi, terutama sebagai calon berlatar belakang militer.

Survei Litbang Kompas pada awal tahun ini mencuatkan nama Andika ke permukaan meskipun hanya meraup 2 persen dalam hal elektabilitas. Kendati begitu, angka tersebut berada di atas Ketua DPR RI Puan Maharani yang hanya merengkuh 0,6 persen suara.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno juga menyiratkan bahwa Andika adalah kandidat yang sangat potensial. Survei Parameter Politik selalu menempatkan Andika sosok favorit capres dengan latar belakang militer.

Karenanya, kombinasi momentum itu kemungkinan membuat setiap langkah Jenderal Andika ke depannya akan selalu dikaitkan dengan proyeksi kontestasi elektoral 2024.

Lalu pertanyaan berikutnya muncul. Apakah secara personal Andika menginginkan posisi sebagai capres atau cawapres di 2024?

peluang kandidat non parpol terbuka

Atribusi positif yang terus menerus muncul kepada sang Panglima TNI agaknya akan memberikan pengaruh dan menjawab pertanyaan tersebut. Secara psikologis, terdapat apa yang dinamakan sebagai pygmalion effect, yaitu ketika seseorang memiliki potensi dan terus diberikan label positif, orang tersebut akan meningkatkan optimisme dirinya dalam melakukan sesuatu.

Dalam dunia politik, pygmalion effect terjadi misalnya saat opini positif nyentrik yang dicitrakan terhadap sosok Donald Trump pada akhirnya membuat dia melangkah pasti sebagai capres dari Partai Republik dan berhasil memenangkan Pilpres Amerika Serikat (AS) pada tahun 2016 silam.

Di Tanah Air, efek psikologis serupa kiranya terjadi kepada Jokowi saat mendapat label positif terus menerus ketika dirinya masih menjabat Gubernur DKI, sebelum dirinya memantapkan diri sebagai capres di tahun 2014 dan memenangkan kontestasi.

Baca juga :  Mungkinkah Prabowo Tanpa Oposisi?

Bukan tidak mungkin hal itu juga terjadi kepada Jenderal TNI Andika Perkasa. Ini diperkuat dengan pernyataan Adi Prayitno yang mengatakan portofolio politik Andika masih sangat mungkin bisa “diolah” ke depannya, yang artinya label positif akan mengiringinya.

Namun, ketiadaan kendaraan politik masih menjadi ganjalan terbesar Jenderal Andika jika memang nantinya akan meramaikan Pilpres 2024. Lalu, parpol manakah yang kiranya dapat memiliki chemistry positif dengannya?

kisah puan yang terulang kembali

Andika Senjata Rahasia PDIP?

Paling tidak ada satu parpol yang selama ini kerap memberikan sinyal dan seolah menjadi penyokong tidak langsung terhadap sosok Andika. Parpol itu tak lain adalah PDIP.

Sinyal politik semacam itu dijelaskan oleh Eric Posner dalam tulisannya yang berjudul Symbols, Signals, and Social Norms in Politics and The Law. Posner mengatakan bahwa suatu tindakan memiliki makna dan sinyal politis tertentu yang pada akhirnya dapat menentukan suatu keputusan politik.

Jika ditelusuri, beberapa elite PDIP kerap memberikan sinyal positif terhadap Andika Perkasa dalam perjalanan kariernya di TNI. Salah satunya ialah yang datang dari politisi senior PDIP yang juga anggota Komisi I DPR RI Effendi Simbolon.

Saat perdebatan untuk memilih Laksamana Yudo Margono atau Andika masih berlangsung, Effendi telah memastikan sejak awal bahwa Andika-lah yang akan menjadi Panglima TNI.

Pengamat militer Khairul Fahmi menilai pernyataan Effendi itu bisa disebut sebagai strategi faith accompli atau upaya untuk memberikan tekanan kepada Presiden Jokowi sekaligus mengunci agar RI-1 tidak memilih nama selain Andika sebagai Panglima TNI saat itu.

Selain itu, Jusuf Wanandi dalam buku Menyibak Tabir Orde Baru menyebut bahwa mertua Andika, AM. Hendropriyono adalah jenderal yang punya simpati dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Hal itu terlihat dari bagaimana “jasa” mertua Andika, AM. Hendropriyono, yang seolah mengamankan karier politik Megawati hingga tumbangnya Orde Baru dan terus berlanjut setelah Reformasi.

Dengan elektabilitas Puan yang stagnan di papan bawah serta langkah Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo yang terkesan tak mendapat restu, Andika barang tentu dapat menjadi jalan tengah terbaik bagi PDIP terlepas apakah akan diusung sebagai capres atau cawapres nantinya.

Dengan publisitas dan sokongan politik yang positif, tak menutup kemungkinan pula bahwa Andika akan menyalip Prabowo sebagai kandidat berlatar belakang militer terfavorit di tengah perjalanan menuju 2024.

Apalagi reputasi karier Andika tampak lebih baik dibanding Prabowo, baik dalam aspek HAM maupun kepemimpinan revolusionernya di TNI-AD dan TNI secara keseluruhan.

Kendati demikian, penjabaran di atas masih sebatas kalkulasi sementara. Satu hal penting dan seperti yang telah disampaikan oleh Andika, publik harus tetap menaruh kepercayaan bahwa prakiraan politik di atas tidak akan mengganggu fokus Andika dalam menunaikan tugas profesionalnya sebagai Panglima TNI. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Apa Siasat Luhut di Kewarganegaran Ganda?

Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengusulkan agar kewarganegaraan ganda untuk diaspora Indonesia diperbolehkan. Apa rugi dan untungnya?

Budi Gunawan Menuju Menteri Prabowo?

Dengarkan artikel ini: Nama Kepala BIN Budi Gunawan disebut-sebut sebagai salah satu kandidat calon menteri yang “dititipkan” Presiden Jokowi kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Hal...

Bukan Teruskan Jokowi, Prabowo Perlu Beda?

Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto selalu sebut akan lanjutkan program-program Presiden Jokowi, Namun, haruskah demikian? Perlukah beda?

Mungkinkah Prabowo Tanpa Oposisi?

Peluang tak adanya oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran sangat terbuka.Ini karena beberapa partai yang awalnya menjadi lawan Prabowo-Gibran, kini sudah mulai terang-terangan menyatakan siap menjadi bagian dari pemerintahan.

Alasan Ketergantungan Minyak Bumi Sulit Dihilangkan

Bahan bakar minyak (BBM) terus dikritisi keberadaannya karena ciptakan berbagai masalah, seperti polusi udara. Tapi, apakah mungkin dunia melepaskan ketergantungannya pada BBM?

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

More Stories

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?