HomeNalar PolitikProxy War Eksis di Papua? 

Proxy War Eksis di Papua? 

Sudah dua bulan lebih pilot Susi Air, Philips Max Marten yang masih disandera KKB Papua. Usaha pembebasan sandera juga telah mengorbankan nyawa dari kalangan prajurit TNI-Polri. Kendala dalam membebaskan sandera kemudian menimbulkan kritik sekaligus spekulasi atas isu KKB Papua, yakni kecurigaan atas dukungan entitas tertentu dalam “membantu” kelompok separatis di Papua. Namun, benarkah demikian? 


PinterPolitik.com 

Indonesia saat ini sedang berduka atas tewasnya lima prajurit TNI di Papua setelah mendapat serangan dari kelompok kriminal bersenjata (KKB) pada 15 April 2023 lalu. Para prajurit ini tergabung di dalam  Satgas Yonif Raider Kostrad 321/GT. Mereka ditugaskan untuk membebaskan Pilot Susi Air Philips Max Mehrtens yang masih disandera KKB.  

Sudah dua bulan TNI-Polri masih berusaha membebaskan sandera. Tidak adanya negosiasi baik dari pihak KKB dan pemerintah membuat proses pembebasan sanderan menjadi sulit. Hal ini kemudian membuat pemerintah Indonesia melakukan langkah operasi. 

Selama dilakukannya operasi pembebasan pilot Susi Air, beberapa prajurit TNI tercatat dinyatakan gugur dalam tugas.  

Bergugurannya prajurit TNI membuat operasi pembebasan sandera tampak tidak semudah yang diperkirakan, meskipun Kapuspen TNI Laksamana Muda Julius Widjojono sempat mengatakan aparat telah mengetahui lokasi KKB yang menyandera Mehrtens.  

Lambatnya proses pembebasan ditambah jatuhnya korban dari pihak TNI menuai kritik atas strategi yang diterapkan untuk membebaskan sandera. Pengamat militer dan pertahanan  Wibisono menilai operasi pembebasan pilot Susi Air berjalan sangat lambat dan cenderung “menggantung”.  

Menurutnya, lambatnya kinerja tersebut dapat membuat posisi Indonesia terpojok di mata dunia internasional karena tidak bisa menjamin keamanan di Papua. 

“Saya geregetan aja, kenapa lama sekali upaya pembebasan sandera ini, kalau TNI bergerak dan lakukan operasi militer di sana pasti bisa cepat diselesaikan. Sudah sangat jelas KKB itu kelompok separatis yang harus diberantas”, begitu ujar Wibisono. 

Kepercayaan masyarakat atas kapabilitas TNI-Polri dalam menjaga keamanan negara kemudian menimbulkan spekulasi bahwa sulitnya menumpas KKB salah satunya disebabkan oleh faktor eksternal.  

Selama ini, sejumlah kalangan menaruh curiga terhadap negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS) yang dianggap memanfaatkan isu pelanggaran HAM hingga memberikan bantuan suplai senjata kepada KKB Papua.  

Hal ini kemudian memunculkan isu proxy war di Papua. Namun benarkah ada entitas tertentu berada di balik semua konflik Papua yang selama ini terjadi? Memang seberapa penting Papua bagi mereka?  

Lawan yang bersembunyi? 

Dalam konflik kontemporer saat ini, organisasi separatis bersenjata seringkali digunakan suatu negara untuk menjatuhkan negara lawannya. Fenomena pemanfaatan organisasi separatis oleh entitas negara untuk dilibatkan dalam peperangan dikenal sebagai proxy war

Deutsch dalam jurnalnya yang berjudul External Involvement in Internal War mendefinisikan proxy war sebagai serangkaian konflik internasional antara dua atau lebih kekuatan asing di negara ketiga. 

Baca juga :  Lolos "Seleksi Alam", PKS-PKB Seteru Abadi?

Negara yang berkonflik tersebut menggunakan sebagian atau seluruh sumber daya di negara ketiga sebagai sarana untuk mencapai tujuannya masing-masing. 

Proxy war sendiri menjadi pilihan yang menarik bagi suatu negara ketika berkonflik dengan negara lain. Hal ini dikarenakan proxy war cocok dengan quote dari seorang penyair asal Inggris abad ke-18, Alexander Pope yakni “willing to wound, and yet afraid to strike”.  

Penggunaan proxy war dapat mencegah besarnya risiko akibat keterlibatan langsung suatu negara dalam konflik peperangan seperti banyaknya pasukan militer yang gugur. 

Dengan mendukung kelompok bersenjata seperti separatis hingga teroris, suatu negara dapat mengacaukan stabilitas negara lawannya tanpa perlu menurunkan tentara regulernya. 

Semakin kuatnya kelompok bersenjata dalam melakukan kekacauan dapat menurunkan kepercayaan komunitas internasional terhadap suatu negara. 

Hal ini seperti yang disampaikan Polkova dalam jurnalnya yang berjudul Framing Separatism as Terrorism: Lessons from Kosovo. Dia menjelaskan, keberadaan kelompok separatis sering kali dianggap sebagai penanda bahwa negara gagal dalam mendistribusikan hak-hak masyarakat sipil secara adil.  

Dalam konteks konflik kontemporer saat ini, tampaknya keberhasilan proxy war dalam memojokan negara lawan semakin besar ketika mampu mengangkat isu sensitif.  

Fearon dalam publikasi berjudul Separatist wars, partition, and world order menyebut isu seperti  pelanggaran HAM dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas seringkali “digoreng” ketika suatu negara menghadapi pemberontak.   

Ini merupakan bagian dari skenario proxy war agar menurunkan dukungan internasional terhadap negara lawan melalui label “pelanggar HAM”.  

Misalnya keterlibatan Rusia dalam konflik internal antara Ukraina dengan kelompok separatis Luhansk dan Donetsk. Selain memasok senjata terhadap kelompok separatis, Rusia menyebarkan isu pelanggaran HAM yang dilakukan militer Ukraina terhadap para penutur bahasa Rusia di Donetsk dan Luhansk.  

Hal ini kemudian memudahkan Rusia untuk melakukan aneksasi atas wilayah Krimea di tahun 2014. Isu pelanggaran HAM pun sempat berakibat pada berkurangnya dukungan dari negara-negara Barat terhadap Ukraina. 

Di Indonesia sendiri isu proxy war sudah muncul ketika AS melalui CIA dalam memberikan bantuan persenjataan kepada pemberontak PRRI dan Permesta di tahun 1958. 

Keterlibatan AS dalam dua konflik bersenjata tersebut tidak bisa dilepaskan dari usaha membendung pengaruh paham komunisme di Asia Tenggara.  

Lalu, bagaimana dengan isu KKB saat ini? 

Papua tak dapat dipungkiri memiliki daya tarik bagi negara-negara asing. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kekayaan sumber daya alam Papua. 

Daya tarik itu kemudian mendorong munculnya berbagai perusahaan tambang asing. Misalnya, keberadaan perusahaan tambang emas terbesar di dunia asal AS, Freeport McMoRan, Inc.  

Melihat besarnya potensi keuntungan yang didapatkan, ada kemungkinan AS berusaha menghapus “pengaruh Indonesia” di Papua. Salah satunya adalah dengan mendukung dan memperkuat KKB OPM untuk mengacaukan keamanan di Papua. 

Baca juga :  Airdrop Gaza Lewati Israel, Prabowo "Sakti"?

Ketidakamanan di Papua bisa menjadi justifikasi bagi negara-negara luar untuk melakukan intervensi lebih dengan dalih menjaga keberlangsungan perusahaan tambang mereka. 

Masalah ketidakamanan tersebut bisa diangkat dengan “menggoreng” isu pelanggaran HAM yang dilakukan militer Indonesia di Papua.  

Tanpa perlu mengirimkan tentaranya seperti yang dilakukan di Iraq atau Pakistan, AS mampu dengan perlahan menguasai Papua. Selain itu dengan proxy war, Amerika Serikat tetap dapat mempertahankan statusnya sebagai negara “pembela HAM”. 

Bisa Diselesaikan? 

Apabila merujuk pada pemikiran dari tokoh realis hubungan internasional Hans Morgenthau, seorang pemimpin negara berhak melakukan kebijakan yang bertentangan dengan moralitas individu misalnya dengan melanggar HAM. 

Hal ini dilakukan demi memajukan kepentingan nasional, yaitu menjamin keamanan nasional.  

Jika seandainya pemerintah Indonesia mengutip pemikiran ini, mungkin KKB bisa ditumpas sejak dulu meskipun menimbulkan konsekuensi tewasnya warga sipil yang menjadi korban perang. 

Namun faktanya, dalam konteks proxy war, kekuatan militer yang besar tidaklah cukup.  

Freeport sendiri telah menjadi salah satu soft power yang dimiliki Amerika Serikat untuk mempengaruhi pemerintah Indonesia. Mendiang CEO PT. Freeport James R. Moffett mengklaim perusahaannya telah membantu orang Papua melompat dari “Zaman Batu” ke “Zaman Baja”.  

Status Freeport sebagai perusahaan tambang terbesar di dunia ditambah retorika pembangunan yang ditawarkan seakan membuat pemerintah Indonesia mementingkan aspek ekonomi ketimbang penegakan keamanan meskipun tengah terjadi konflik.  

Hal ini bisa dilihat dari perubahan status siaga tempur pasca penyerangan KKB terhadap prajurit TNI beberapa waktu lalu, namun tidak diikuti dengan pembatasan kegiatan operasi Freeport. 

Kendati korelasinya masih menjadi perdebatan dikarenakan tentu Freeport memiliki sistem keamanannya sendiri, hal ini kemudian membawa para pekerja Freeport di lapangan rentan menjadi korban tembak di tengah situasi siaga tempur yang diberlakukan militer Indonesia.  

Sementara itu, di tengah krisis keamanan yang terjadi, AS tetap mendapatkan keuntungan dari hasil kegiatan pertambangannya di Papua sambil menyalahkan Indonesia jika muncul korban di kalangan masyarakat sipil. 

Dalam merespons probabilitas proxy war yang dilakukan negara-negara besar untuk mempertahankan kepentingannya di Papua, Indonesia harus berdaulat secara penuh.  

Kedaulatan untuk menentukan kebijakan berdasarkan kepentingan nasional harus didukung dengan kemandirian ekonomi dari intervensi asing.  

Kembali, saat ini Indonesia harus memprioritaskan operasi pembebasan pilot Susi Air. Hal ini dapat dilakukan secara efektif dengan memfokuskan upaya penegakan keamanan dan mengorbankan sementara waktu keuntungan ekonomi dari kegiatan pertambangan di Papua. 

Meski demikian, penjabaran di atas masih sebatas interpretasi semata. Yang jelas, menumpas KKB hingga tuntas sangat penting untuk dilakukan demi kondusivitas keamanan di Papua. (F92) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Ini Rahasia Jokowi Kalahkan Megawati?

Kendati diprediksi melemah pasca kepresidenan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai memiliki kunci rahasia agar tetap bisa memiliki pengaruh dalam politik dan pemerintahan. Bahkan, Jokowi agaknya mampu untuk melampaui kekuatan dan pengaruh Megawati Soekarnoputri. Mengapa demikian?

Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Opsi mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres, tetapi tetap mengesahkan kemenangan Prabowo adalah pilihan yang tengah didiskusikan oleh banyak pihak menuju pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Iran vs Israel, PD III Sudah Dimulai?

Ketakutan akan Perang Dunia III mencuat bersamaan dengan serangan yang dilakukan Iran ke Israel. Mungkinkah kita sudah berada di awal Perang Dunia III?

Airdrop Gaza Lewati Israel, Prabowo “Sakti”?

Prabowo Subianto disebut berperan besar dalam pemberian bantuan kemanusiaan pemerintah Indonesia ke Gaza melalui penerjunan dari udara oleh pesawat TNI-AU. Lobi Prabowo dan aksi-reaksi aktor-aktor internasional dalam merespons intensi Indonesia itu dinilai sangat menarik. Utamanya, proyeksi positioning konstruktif dan konkret Indonesia dalam konflik Israel-Palestina, beserta negara-negara terkait lainnya.

MK Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran, Tapi Sahkan Prabowo?

Pendapat menarik diungkapkan oleh Denny Indrayana yang menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) bisa saja hanya mendiskualifikasi Gibran dan tetap mensahkan kemenangan Prabowo sebagai presiden.

More Stories

Kecupan Maut The 1975 di Tanah Melayu?

Baru-baru ini publik dikejutkan dengan aksi ciuman yang dilakukan oleh vokalis band The 1975 Matty Healy dengan rekan  pemain bassnya Ross MacDonald ketika sedang...

Tembak Mati, Bobby Sedang Pansos?

Maraknya kasus begal di Medan mendorong Wali Kota Medan Bobby  Nasution kemudian mengeluarkan gagasan agar menembak mati para pelaku begal. Meskipun mendapat kritik karena...

Eropa “Terlalu Baik” Terhadap Imigran?

Kasus penembakan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian terhadap seorang remaja imigran telah memicu protes besar di Prancis. Akan tetapi, kemarahan para demonstran justru...