HomeHeadlineBenarkah Prabowo Berbahaya?

Benarkah Prabowo Berbahaya?

Peristiwa di seputar tahun 1998 menjadi palu godam untuk menghancurkan citra Prabowo Subianto di setiap kontestasi pilpres. Terdapat ketakutan apabila Prabowo menjadi presiden karena dinilai sebagai sosok yang berbahaya. Lantas, apakah benar persepsi itu?


PinterPolitik.com

“Fear overrides all rational thinking.” — Greg Secker

Nama Prabowo Subianto mungkin jadi salah satu yang paling disorot seputar peristiwa-peristiwa yang terjadi di tahun 1998. Statusnya sebagai Pangkostrad kala itu memang membuatnya disorot keras terkait aksi-aksi kekerasan aparat militer dalam menghalau protes dan demonstrasi menentang kekuasaan Soeharto.

Prabowo sendiri pada akhirnya harus diberhentikan dari militer karena peristiwa-peristiwa ini, termasuk soal tuduhan penculikan aktivis dan keterlibatannya dalam Tim Mawar.

Hampir 25 tahun telah berlalu, tapi konteks peristiwa di tahun 1998 itu masih jadi dosa tak terhapuskan untuk Prabowo. Bahkan, gara-gara kasus itu, asa Prabowo bersaing untuk jadi orang nomor 1 dan nomor 2 di republik ini selalu kandas sejak tahun 2009 lalu.

Menariknya, selain dalam konteks domestik, citra negatif Prabowo itu juga diulas secara negatif oleh media-media asing. Bahkan, ada momen di tahun 2019 ketika Prabowo menolak diwawancarai oleh beberapa media asing. 

Tentu pertanyaannya, apakah memang citra Prabowo telah sangat kuat dikonstruksi – baik oleh media maupun oleh masyarakat umum – sebagai aktor politik yang negatif sehingga ia pasti akan sulit untuk terpilih sebagai Presiden RI?

Dan apakah itu berarti di 2024 mendatang peluang Prabowo untuk merengkuh kekuasaan akan kembali kandas?

amien rais dukung prabowo

Kabut Persepsi Negatif

Menyebut soal persepsi negatif dari media asing bukanlah tanpa alasan. Kita misalnya bisa membaca tulisan Kate Lamb yang berjudul ‘Don’t teach me democracy!’: an uneasy audience with Indonesia’s Prabowo di The Guardian yang menceritakan pengalamannya mewawancarai Prabowo di tahun 2019 lalu. Kate menyebut wawancara itu “uneasy” alias kurang nyaman.

Baca juga :  Ini Jurus Rahasia Trump “Perkasakan” Amerika? 

Pasalnya, ketika muncul pertanyaan soal apakah Prabowo menggunakan politik identitas di gelaran Pilpres 2019, sang jenderal menjawab dengan cukup keras. “I’m not somebody who is afraid of white people!,” ungkap Prabowo.

Sikap Prabowo ini sebenarnya beralasan mengingat dirinya memang kerap diberitakan negatif karena citranya di masa lalu. Namun, ini juga membuktikan bahwa ada konstruksi citra yang sudah terlanjur kuat pada diri Prabowo yang dibangun oleh media dan masyarakat internasional.

Ibarat kata, apapun yang dilakukan Prabowo, semuanya akan kembali bermuara ke persoalan di seputaran tahun 1998. Apalagi, statusnya sebagai menantu dari Presiden Soeharto juga dinilai dalam sudut pandang yang cenderung negatif.

Dalam Ilmu Sosiologi, mungkin apa yang terjadi pada Prabowo ini merupakan pembuktian konsep social construction yang menyebutkan bahwa realitas adalah hasil konsensus kolaboratif yang terkonstruksi.

Dan dalam konteks media serta hubungannya dengan citra seseorang atau entitas tertentu, konsensus itu bisa lahir akibat penetrasi informasi. Fengmin Yan dalam tulisannya Media Construction of Social Reality, menyebutkan bahwa pemberitaan media tidak merefleksikan realitas, tetapi mendefinisikan dan mengkonstruksikannya.

Dalam konteks Prabowo, sangat mungkin realitas tentang Prabowo memang telah dikonstruksi sedemikian rupa. Beberapa bahkan menganggapnya sebagai sosok yang berbahaya akibat citra masa lalunya itu.

prabowo tidak suka gimik

Saatnya Berubah, Pak Prabowo!

Sayangnya, cara Prabowo menanggapi fenomena ini juga belum begitu tepat. Dalam konteks hubungan dengan para jurnalis asing misalnya, Prabowo kerap menunjukkan sikap keras seperti yang tergambar dalam wawancara dengan Kate Lamb.

Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Prabowo Harus Lebih Sering Nongol?, telah dijabarkan bahwa Prabowo perlu memperbaiki komunikasi publiknya. Ketua Umum Partai Gerindra itu cenderung tertutup, khususnya jika disudutkan untuk menjawab hal-hal yang sebenarnya menjadi pertanyaan mendasar publik.

Baca juga :  Trump Ketar-ketir Lihat Prabowo-Anwar?

Contohnya, Prabowo tidak memberikan penjelasan yang baik kepada pendukungnya yang menuduhnya berkhianat karena bergabung dengan koalisi pemerintah. Prabowo seolah merasa cukup dengan jawabannya “bahwa itu demi persatuan bangsa”.

Rizki Briandana dalam tulisannya Representation of Political Ideology in Advertising: Semiotics Analysis in Indonesia Television, menjelaskan bahwa media massa merupakan kekuatan yang sangat penting untuk menyampaikan pesan-pesan politik dari seorang kandidat karena dapat mengubah persepsi masyarakat terhadap calon tersebut secara signifikan.

Apa yang disampaikan oleh seorang politisi melalui media tidak hanya akan dilihat publik sebagai posisi politik terhadap suatu isu, tetapi juga menjadi bentuk komunikasi yang merepresentasikan keterlibatan publik dalam kebijakan politik.

Oleh karena itu, jika Prabowo benar-benar ingin membentuk persepsi publik yang suportif, penting untuk melakukan pendekatan media yang bisa lebih menjawab kekhawatiran publik, bukan hanya promosi tanda tangan kerja sama seperti yang dilakukannya selama ini.

Singkatnya, Prabowo perlu lebih aktif, atraktif, dan responsif terkait komunikasinya dengan masyarakat luas. Suka atau tidak, terus melekatnya citra Prabowo sebagai sosok berbahaya juga diperkuat dengan komunikasinya yang kaku, tertutup, dan terkesan berjarak dengan masyarakat.

Jika Prabowo benar-benar menatap 2024 sebagai tahun kemenangan, komunikasi politik dan personal branding-nya perlu dirombak besar-besaran. Kita lihat saja apakah perubahan itu akan dilakukan atau tidak. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Apapun Intriknya, Benarkah Jokowi Pemenangnya?

Spill Presiden Prabowo Subianto mengenai eksistensi upaya pemisahan dirinya dengan Joko Widodo (Jokowi) menyiratkan makna tertentu. Utamanya, terkait interpretasi akan dinamika relasi dengan Megawati Soekarnoputri, PDIP, dan di antara para aktor terkait yang muaranya memunculkan Jokowi sebagai pihak yang lebih aman. Mengapa demikian?

Jokowi dan Misteri “Kepunahan” Kelas Menengah 

Perbincangan seputar berkurangnya kelas ekonomi menengah Indonesia belakangan tengah ramai. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkinkah ada kesalahan sistemik di baliknya? 

Creative Destruction Efisiensi Prabowo

Efisiensi anggaran negara yang tengah didorong Presiden Prabowo nyatanya mendapatkan gejolak dan tentangan.

Balada Rakyat Ekonomis dan Pejabat Hedonis

Pameran kemewahan pejabat, seperti patwal Raffi Ahmad, perdalam kecemburuan rakyat. Mengapa ini perlu jadi perhatian pemerintahan Prabowo?

Why Always Bahlil?

Upaya penertiban dan penataan subsidi LPG 3 Kg entah kenapa malah jadi resistensi dan mengarah langsung ke Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Padahal, terlepas dari eksekusi di awal yang harus diakui kurang rapi, kebijakan tak populer ini memiliki esensi sangat positif. Hal itu memantik interpretasi mengenai “perlawanan” kuat yang bisa saja terorkestrasi. Benarkah demikian?

IKN House Has Fallen!

Pemblokiran anggaran IKN Nusantara lemahkan pengaruh Jokowi, membuka peluang bagi Megawati untuk perkuat posisinya dalam politik Prabowo.

Ini Jurus Rahasia Trump “Perkasakan” Amerika? 

Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump berniat mendirikan sovereign wealth fund (SWF). Keputusan ini dinilai jadi keputusan yang sangat besar dan berdampak ke seluruh dunia, mengapa demikian? 

Prabowo dan The Intra-Elite Enemy

Masalah penataan distribusi gas LPG 3 kilogram menjadi sorotan terbaru publik pada pemerintahan Prabowo.

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...