Dengarkan artikel berikut
Prabowo Subianto digadangkan akan membawa gaya diplomasi yang cukup berbeda dengan apa yang diterapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, jika Prabowo benar-benar ingin membuat Indonesia lebih berpengaruh di dunia internasional, mungkin ada baiknya kita berkaca dan belajar dari pencapaian diplomasi Qatar.
Meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum mengumumkan secara resmi siapa pemenang Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024), perolehan suara sementara sudah hampir bisa memastikan bahwa pasangan calon (paslon) nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan memenangkan kontestasi demokrasi tahun ini.
Berbarengan dengan itu, banyak dari publik pun bertanya-tanya dan berspekulasi tentang akan seperti apa gaya diplomasi dan politik luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Prabowo.
Pandangan dari Indonesianis sekaligus Direktur Program Asia Pasifik Chatham House, Ben Bland, misalnya, memprediksi diplomasi Indonesia akan lebih ‘aktif’ di forum internasional. Menurutnya juga, Prabowo akan laksanakan diplomasi “bebas aktif” yang berbeda dari semasa kepemimpinan Jokowi.
Tidak heran, semasa menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo memang diketahui beberapa kali menjadi diplomat utama dalam beberapa kesepakatan luar negeri penting, contohnya seperti pembelian pesawat jet Rafale, dan upaya mendapatkan vaksin Covid-19 ketika masa pandemi silam.
Karena itu, tidak sedikit orang yang berharap bahwa Prabowo akan membawa semacam penyegaran terhadap diplomasi bebas aktif Indonesia, mereka berharap Indonesia akan memiliki pengaruh internasional yang lebih besar di bawah pemerintahannya.
Namun, suatu impian politik tentu tidak bisa muncul hanya dengan harapan belaka. Meskipun Prabowo tidak dipungkiri merupakan diplomat yang baik, sepertinya, ada beberapa hal yang perlu dipelajari dan dipersiapkan jika Indonesia ke depannya ingin memiliki politik luar negeri yang lebih aktif dan lebih impactful.
Salah satunya adalah dengan belajar dari gaya diplomasi salah satu negara terkuat di Timur Tengah, yakni Qatar.
Qatar Seharusnya adalah Indonesia
Di sini mungkin ada yang bertanya-tanya, mengapa Qatar? Mengapa kita tidak belajar diplomasi dari negara adidaya seperti Amerika Serikat (AS), atau Tiongkok? Well, ada beberapa poin yang jadi alasan kuatnya.
Pertama, perlu dipahami bersama bahwa tingkatan kekuatan diplomasi yang dimiliki Tiongkok ataupun AS berada di tahapan yang mungkin tidak akan dicapai tidak hanya Indonesia, tapi juga seluruh negara di dunia. Kesuksesan mereka menjadi pemain inti politik internasional adalah ‘hasil panen’ dari ratusan tahun peradaban yang telah melalui banyak trial and error. Sehingga, kita perlu cari role model diplomasi yang lebih sepadan dengan negara seperti Indonesia.
Kedua, Qatar bisa menjadi role model gaya diplomasi Indonesia yang tepat karena ia sesungguhnya adalah manifestasi dari prinsip politik luar negeri bebas aktif yang seharusnya bisa dijalankan indonesia sejak beberapa dekade silam. Ya, untuk yang belum familiar dengan Qatar, negara yang ukurannya tidak jauh beda dengan Singapura itu kini kerap dijuluki sebagai negara negosiator/mediator terbaik di dunia.
Qatar adalah satu-satunya negara yang terus menjadi pemeran utama dalam proses negosiasi konflik-konflik besar terkini, seperti Perang Rusia-Ukraina dan krisis antara Palestina dan Israel. Tidak main-main, Qatar bahkan jadi yang paling bertanggung jawab atas berhasilnya beberapa kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Palestina beberapa waktu terakhir.
Lantas, mengapa Qatar bisa begitu sukses?
Gina Granado dalam tulisannya A Case Study of How Qatar Used Power Well, menyimpulkan setidaknya dua alasan. Pertama, Qatar rela menjadikan negaranya sebagai melting pot atau tempat berpadunya kekuatan-kekuatan besar dunia. Pada awalnya, Qatar lebih dulu ‘mesra’ dengan AS, dimulai dari awal hubungan pada tahun 1972, Qatar bahkan membolehkan Negeri Paman Sam mendirikan pangkalan militer di wilayahnya.
Namun, Qatar tidak menjadikan kedekatannya dengan AS sebagai alat untuk menakut-nakuti kekuatan dunia lain. Sebaliknya, Qatar malah menjadikan dirinya sebagai jembatan diplomasi bagi negara-negara lain yang berseberangan dengan AS agar bisa dipertemukan dengan ‘musuhnya’ itu.
Menariknya, beberapa catatan dari Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Qatar bahkan menyebutkan pemerintah rela mereka membayar semua keperluan diplomasi yang dibutuhkan agar bisa menjadi mediator dari negosiasi dua negara yang ‘bermusuhan’, seperti AS dan Rusia.
Secara singkat, mungkin kita bisa menyebut Qatar sebagai negara ‘broker diplomasi’ yang sukses.
Kedua, Granado juga mencatat bahwa kesuksesan kekuatan diplomasi Qatar didukung oleh ambisi mereka untuk menjadikan citra mediator internasional sebagai nation branding atau pembangunan ciri khas negara.
Hal ini menjadi salah satu alasan terselubung di balik ambisi Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Selain memiliki tujuan ekonomi, jalan panjang Qatar sehingga berhasil melobi semua negara FIFA untuk memberikannya kepercayaan menjadi tuan rumah Piala Dunia, juga ternyata memiliki tujuan diplomasi, yaitu untuk menjadikan pergelaran olahraga terbesar dunia tersebut sebagai bukti bahwa Qatar bisa menggelar acara yang damai di tengah kondisi dunia yang sedang tegang akibat perang.
Hal-hal ini tentu bisa jadi pelajaran besar bagi Indonesia, khususnya di bawah kepemimpinan Prabowo yang banyak diharapkan akan memberikan pencerahan baru bagi diplomasi Indonesia. Lantas, bagaimana Indonesia bisa meniru Qatar?
Permasalahannya Hanya Political Will?
Cukup membuat iri sebetulnya jika kita membandingkan kekuatan diplomasi Qatar dengan sejarah Indonesia, karena sejatinya sejak awal negara kita didirikan, para pendiri bangsa sudah berniat menjadikan negara kita sebagai negara yang bisa turut aktif dalam politik internasional sembari memiliki posisi yang tidak memihak ke mana-mana.
Namun, dengan berdirinya pemerintahan baru pada 20 Oktober nanti, Indonesia bisa saja memiliki peluang baru untuk menjadikan dirinya sebagai pemain politik internasional yang handal seperti Qatar. Hal ini karena Indonesia memiliki setidaknya dua modal besar yang bisa dilakukan Prabowo nantinya.
Pertama, perkuat peran Indonesia sebagai tempat transit perdagangan internasional. Indonesia sejujurnya adalah salah satu negara yang punya kendali besar atas salah satu jalur perdagangan internasional yang paling penting, yaitu Selat Malaka. Akan tetapi, selama ini, hanya Singapura yang sukses menjadikan negaranya sebagai pusat transit perdagangan dunia di Selat Malaka, sementara, Indonesia masih tertinggal jauh.
Hal ini utamanya karena pembangunan infrastruktur di wilayah Batam dan sekitarnya masih sangat tertinggal dibandingkan apa yang disediakan di Singapura. Pembangunan infrastruktur yang lebih terfokus sekaligus penguatan regulasi seputar jalur perdagangan internasional tentunya bisa jadi salah satu hal yang bisa dilakukan Prabowo.
Kedua, perkuat citra sebagai perantara diplomasi. Belajar dari Qatar, jika kita ingin lebih dipandang dalam politik internasional, maka kita pun perlu aktif dan reaktif terhadap isu-isu internasional. Tentu, apa yang dilakukan Presiden Jokowi dengan kunjungannya ke Ukraina dan Rusia pada 2022 silam adalah hal yang bagus, namun sayangnya proses followup terkait hal itu kurang terlihat dilakukan secara optimal.
Jika Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo nantinya bisa lebih berani menjadi aktor yang terlibat dalam proses perdamaian dunia, tentunya tidak akan lama Indonesia pun bisa memiliki branding negara sebagai mediator perdamaian, seperti Qatar.
Well, pada akhirnya semua ini tentu hanya perandaian semata, akan tetapi, besar harapannya kepemimpinan Prabowo nanti bisa memberikan gaya diplomasi yang baru bagi Indonesia agar negara kita bisa memiliki kekuatan diplomasi yang lebih besar ke depannya. Karena dengan kekuatan diplomasi yang tinggi, tentu kita juga akan memperoleh keuntungan bisnis yang besar. (D74)