HomeNalar PolitikPrabowo “Ketinggalan Kereta”?

Prabowo “Ketinggalan Kereta”?

Kecil Besar

Manuver politik Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dianggap kurang lincah oleh Fahri Hamzah, sehingga berisiko kalah lagi dari Jokowi di Pilpres nanti. Prabowo ‘ketinggalan kereta’?


PinterPolitik.com

“Bagi rakyat, politik bukan urusan koalisi atau oposisi tetapi bagaimana kebijakan publik mengubah hidup sehari-hari.” ~ Najwa Shihab

[dropcap]S[/dropcap]impang siur prediksi calon wakil presiden Joko Widodo maupun Prabowo Subianto yang saat ini marak menjadi pemberitaan, terutama menjelang dibukanya pendaftaran capres dan cawapres pada Agustus mendatang, sepertinya menjadi pengalih perhatian masyarakat akan semakin tingginya harga bahan pangan belakangan ini.

Padahal seperti yang dikatakan oleh Najwa Shihab di atas, siapapun tokoh yang akan menjadi cawapres Jokowi maupun Prabowo, belum tentu memberikan kebijakan publik yang mampu menyejahterakan masyarakat. Apalagi apa yang tengah diperebutkan para politisi tersebut, sebenarnya yang akan menentukan rakyat juga nantinya.

Kurangnya kesadaran para politisi, terutama pihak oposisi dalam mengkritik kebijakan Pemerintah inilah yang membuat Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah angkat suara. Secara mengejutkan, ia menyentil lambannya manuver politik Ketua Umum Gerindra yang juga merupakan pimpinan koalisi oposisi, yaitu Prabowo.

Sebagai sosok yang terkenal rajin melontarkan kritik pedas pada berbagai kebijakan Pemerintah, Fahri mengatakan kalau Prabowo kurang lincah dalam melawan Jokowi. Terutama karena ia kerap menyerang tanpa mampu memberikan data-data yang valid dan relevan, mengenai kelemahan Pemerintahan Jokowi.

Pernyataan Fahri ini juga disetujui oleh pengamat politik Ray Rangkuti, ia mengatakan kalau berbagai serangan tanpa dasar yang kerap dilancarkan pihak oposisi malah menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Sementara, Jokowi sebagai “korban” malah diuntungkan karena simpati masyarakat yang semakin tinggi.

Selain itu, Ray menilai kurang seringnya Prabowo tampil di depan publik juga sebagai salah satu alasan mengapa elektabilitasnya stagnan selama ini. Prabowo pun terlihat enggan untuk merangkul partai politik lain ke kubunya, sehingga saat ini kondisinya diibaratkan ‘terkunci’ oleh PKS.

Berbagai manuvernya dalam mendekati pimpinan parpol dinilai terlambat, mengingat hampir sebagian besar parpol telah menyatakan dukungannya pada Jokowi. Begitu juga dengan kunjungannya ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), walau Ketua PBNU Said Aqil Siradj menyatakan kalau NU tidak akan terlibat dalam politik.

NU memang tidak terlibat dalam politik, namun nama Said Aqil sendiri saat ini diakui Jokowi masuk dalam kandidat cawapresnya. Terlebih, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga menjabat sebagai Rais ‘Am PBNU, Ma’ruf Amin, telah menyatakan keberpihakannya pada Jokowi di Pilpres nanti.

Oposisi Salah Arah?

“Oposisi membawa kerukunan. Dari perselisihan muncul harmoni yang paling adil.” ~ Heraclitus of Ephesus

Segala sesuatu yang bertentangan, umumnya akan menghasilkan keadilan. Begitulah kira-kira inti dari perkataan Filsuf Yunani Kuno Heraklitus dari Efesus yang hidup di era sebelum Socrates lahir. Baginya, perselisihan pada akhirnya akan dapat menghasilkan harmoni yang paling adil bagi semua manusia.

Pandangan Ahli Kosmologi yang lahir sekitar tahun 540-480 SM ini, berawal dari keberlangsungan alam. Namun pemikiran ini terbukti juga berlaku sama dalam ilmu politik, sebab oposisi dalam negara sejatinya juga merupakan faktor yang mampu memberikan fungsi penyeimbang (check and balances) bagi pemerintah yang berkuasa.

Baca juga :  The Tale of Geng Solo

Secara teoritis, sistem presidensial yang diadopsi Indonesia sebenarnya tidak mengenal adanya kubu oposisi. Namun menurut Robert A. Dahl dalam buku Dilema Demokrasi Pluralis, Antara Otonomi dan Kontrol, di setiap negara demokrasi keberadaan oposisi tidak dapat dihindarkan akibat adanya pihak-pihak yang tidak menerima kekalahan.

Akibat tidak menerima kekalahan di Pilpres 2014 juga, Gerindra dan PKS memutuskan untuk selalu berseberangan dengan Pemerintahan Jokowi. Keputusan ini, kemungkinan diilhami dari keputusan PDI Perjuangan yang menjadi partai oposisi pertama di tanah air selama dua periode Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lalu.

Walau sebenarnya keberadaan oposisi penting, namun seperti yang dikatakan Fahri, sayangnya serangan yang dilakukan kebanyakan tidak didukung dengan data-data yang mampu menunjukkan kebenaran atas kritikan tersebut. Padahal, Pemerintah selalu menjawabnya dengan menggunakan data yang terlihat menyakinkan di mata masyarakat.

Berbagai serangan yang terkesan reaktif dan emosional, serta kerap mengarah pada hal-hal yang bersifat pribadi, menurut Marcus Meitzner merupakan ciri dari tipe oposisi destruktif oportunistis. Oposisi jenis ini, terangnya, sering digunakan oleh pihak yang kalah dengan tujuan untuk menghancurkan pemerintahan.

Seperti yang dikatakan oleh Ray Rangkuti sebelumnya, serangan tak beralasan yang terlalu sering pada akhirnya malah membantu menaikkan elektabilitas Jokowi. Argumen ini disetujui oleh Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari yang menilai kalau simpati ini lahir karena masyarakat belum terbiasa dengan adanya budaya oposisi.

Oleh karena itu, kritikan Fahri sangat masuk akal, mengingat elektabilitas Jokowi yang terus meningkat walau terus diserang. Sebagai Presiden, tak sulit bagi Jokowi untuk meyakinkan masyarakat melalui kebijakan-kebijakan populis. Sementara Prabowo harus membuktikan kritikannya, tanpa data akurat, perkataannya hanya akan dianggap sebagai ‘pepesan kosong’ belaka.

Manuver Telat Prabowo

“Butuh sentuhan seorang jenius – dan begitu banyak keberanian, untuk berada di posisi berseberangan.” ~ Albert Einstein

Selama hidupnya, ilmuwan besar Albert Einstein tak pernah merasa takut untuk berada di posisi berseberangan dengan para politikus di negerinya, Jerman. Hingga akhirnya, akibat tekanan politik yang terlalu berat, ia pun memutuskan pindah ke Amerika Serikat dengan bantuan seorang atase kedutaan besar AS.

Keputusan Einstein yang termasuk nekad kala itu, diakui banyak pihak sebagai keputusan tepat waktu. Sebab bila tidak, sebagai keturunan Yahudi, Einstein mungkin tidak akan sempat menciptakan rumusan bom atom legendarisnya karena telah ditangkap dan dibantai oleh pasukan Nazi pimpinan Adolf Hitler.

Baca juga :  KL to Tehran: Mossad’s New Playground?

Seperti yang dikatakan Einstein, tak mudah menjadi orang yang berada di posisi oposisi layaknya Prabowo. Namun, seharusnya Prabowo juga bisa mengikuti jejak si jenius tersebut untuk mampu bergerak di waktu yang tepat, terutama bila memang ingin membalas kekalahannya di Pilpres lalu.

Namun sayangnya, Prabowo kurang lincah seperti yang dikatakan Fahri. Ketika Jokowi sudah mulai merengkuh satu persatu parpol ke kubunya, Prabowo memilih menyepi dan sangat jarang tampil di muka publik. Sementara kader-kadernya, sibuk menyerang tanpa arah ke Pemerintah. Kondisi inilah yang menurut Ray, membuat elektabilitasnya stagnan.

Kini setelah parpol-parpol besar berada di kubu Pemerintah, Prabowo baru sibuk cari dukungan partai yang tersisa. Berkaca dari keyakinannya di Pilkada Serentak lalu, sepertinya mantan Danjen Kopassus ini masih terbuai dengan keberhasilan PKS memobilisasi massa yang kini diorganisir melalui Persaudaraan Alumni 212.

Sehingga kekalahan telak yang diraih Gerindra, bisa jadi baru menyadarkannya. Kemenangan di Pilkada Jakarta belum tentu sukses di wilayah lainnya, terutama di daerah yang bukan basis PKS. Di sinilah mengapa manuver Prabowo ke PBNU dapat dikatakan terlambat, karena parpol maupun tokoh-tokoh NU telah lebih dulu direngkuh Jokowi.

Seperti yang diketahui, koalisi Gerindra saat ini lebih banyak berasal dari kalangan Islam berbasis Muhammadyah (PAN), Tarbiyah (PKS), dan Masyumi (PBB). Di wilayah perkotaan, seperti Jakarta, Sumatera Utara, dan perkotaan di Jawa Barat, pengikut aliran ketiganya memang cukup besar sehingga PKS dan PAN mampu meraih kemenangan.

Namun di wilayah lainnya, terutama di sebagian besar Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang merupakan lumbung suara terbesar, mayoritas masyarakat Muslimnya adalah loyalis NU yang masih begitu menghormati pendapat para ulama dan tokoh masyarakat. Fakta ini sangat jelas terlihat dari hasil Pilkada lalu, di mana PPP berjaya.

Kondisi oposisi yang ibarat ‘ketinggalan kereta’ ini, diibaratkan Fahri mirip tim nasional Kroasia yang keok oleh Prancis di final Piala Dunia lalu. Sebab Pilkada Jakarta yang merupakan gol pertama oposisi, juga akhirnya membuat Prabowo lalai memainkan manuver politik sehingga tersalip oleh sang petahana yang lebih siap menghadapi Pilpres tahun depan.

Demi memperbesar peluang kemenangan, Prabowo sepertinya berharap dari Demokrat walau dengan ‘bayaran’ Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapresnya. Meski begitu, barter kekuasaan ini tentu akan sulit diterima PKS, mengingat sejak awal partai yang sangat setia mendampingi Gerindra ini menginginkan kadernyalah yang menjadi cawapres Prabowo.

Jadi, bagaimana kira-kira nasib koalisi oposisi ini nantinya? (R24)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Mengapa Xi-Putin Suka “Menghilang”?

Belakangan ini, absennya Xi Jinping dari publik menjelang KTT BRICS 2025 menarik perhatian sejumlah media internasional. Fenomena seperti ini bukan hal baru, dan pernah terjadi juga pada beberapa pemimpin dunia lainnya.

Myanmar and Dasco’s Strategic Idea?

Pernyataan Sufmi Dasco Ahmad soal operasi militer selain perang dalam konteks isu diplomati terkini di Myanmar kiranya bukan sekadar reaksi spontan. Mengapa berikan?

Bila Zohran Mamdani Nyalon di Indonesia

Naiknya nama Zohran Mamdani di New York City bisa dibilang fenomenal, termasuk di Indonesia. Bagaimana bila Zohran jadi calon di Indonesia?

Gibran and The AI FOMO

Sebuah artikel di portal East Asia Forum tulisan Annadi Muhammad Alkaf cukup menggelitik karena membahas bagaimana pendekatan politik terkait AI di Indonesia cenderung salah jalan.

Bayang-Bayang Suksesi Partai Banteng?

Suksesi kepemimpinan di PDIP masih jadi tanda tanya besar. Di balik penundaan kongres, tersimpan dinamika internal yang patut dicermati.

Auto Damage Teddy, AHY, Sherly?

Beberapa pejabat publik seperti Teddy Indra Wijaya, AHY, hingga Sherly Tjoanda bukan hanya tampil menarik, mereka menjelma jadi wajah baru politik Indonesia yang serba visual. Namun, mengapa fenomena pejabat publik dengan impresi visual menarik ini menjadi penting dalam diskursus politik kekinian?

Pramono dan Matcha-isasi

Matcha kini jadi komoditas yang digemari secara global. Bahkan, Gubernur Jakarta Pramono Anung-pun sempat membuat konten matcha.

Prasasti: Politik Think-Tank Prabowo?

Akhirnya meluncur sebuah think tank yang disebut akan menjadi pengawal dan pendukung berbagai program pemerintahan Prabowo-Gibran.

More Stories

Informasi Bias, Pilpres Membosankan

Jelang kampanye, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oposisi cenderung kurang bervarisi. Benarkah oposisi kekurangan bahan serangan? PinterPolitik.com Jelang dimulainya masa kampanye Pemilihan Presiden 2019 yang akan dimulai tanggal...

Galang Avengers, Jokowi Lawan Thanos

Di pertemuan World Economic Forum, Jokowi mengibaratkan krisis global layaknya serangan Thanos di film Avengers: Infinity Wars. Mampukah ASEAN menjadi Avengers? PinterPolitik.com Pidato Presiden Joko Widodo...

Jokowi Rebut Millenial Influencer

Besarnya jumlah pemilih millenial di Pilpres 2019, diantisipasi Jokowi tak hanya melalui citra pemimpin muda, tapi juga pendekatan ke tokoh-tokoh muda berpengaruh. PinterPolitik.com Lawatan Presiden Joko...