HomeNalar PolitikPidato Pelantikan, Jokowi Seorang Utilitarian?

Pidato Pelantikan, Jokowi Seorang Utilitarian?

Dalam pidatonya pada pelantikan presiden, Presiden Jokowi menekankan bahwa hasil lebih utama daripada proses. Ini didasarkan pada kenyataan di lapangan yang acap kali tidak sesuai dengan laporan yang telah dibuat. Oleh karenanya, keberhasilan program hanya sebatas manisnya laporan di atas kertas, dan bukannya memberikan hasil nyata pada masyarakat banyak.


PinterPolitik.com

Pada 20 Oktober 2019, Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin telah dilantik sebagai presiden dan wakil presiden untuk lima tahun ke depan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Tentunya, sebagai bagian dari rangkaian acara, Jokowi menyampaikan pidato kepresidenan pertamanya untuk periode kedua kekuasaannya.

Pada kesempatan tersebut, Jokowi menyampaikan satu poin yang cukup menarik, yaitu ia menuturkan bahwa “jangan lagi kerja kita berorientasi proses, tapi harus berorientasi pada hasil-hasil yang nyata”. Tidak hanya menyebutkan sebanyak satu kali, Jokowi kembali menegaskan “sekali lagi, yang utama itu bukan prosesnya, yang utama itu hasilnya”.

Alasan Jokowi terkait hal tersebut cukup kuat. Ia menyebutkan bahwa acap kali ketika laporan program telah selesai dilaksanakan, nyatanya laporan manis tersebut tidak terwujud dalam realitas kehidupan masyarakat. Artinya, program yang dibuat belum dirasakan langsung oleh masyarakat.

Sebenarnya, Jokowi tidak sekali ini saja menekankan pada pentingnya hasil daripada proses. Pada tahun 2015, di hadapan para menteri ketika rapat kerja di Istana Bogor, ia juga menegaskan bahwa orientasi pada prosedur harus diubah menjadi orientasi pada hasil.

Melihat pada dua fenomena tersebut, terlihat bahwa Jokowi memiliki konsistensi pada penuturannya selama bertahun-tahun. Artinya, di sana terdapat dimensi kepercayaan yang tinggi. Ini menunjukkan bahwa apa yang disampaikannya itu besar kemungkinan merupakan bagian dari sistem keyakinan (belief system) yang dipegang.

Terkait konteks dan alasan dikeluarkannya pernyataan, Jokowi tidak memaksudkan mementingkan hasil daripada proses pada semua aspek, melainkan berfokus pada persoalan tercapainya program atau tidak.

Lalu, melihat pada keseluruhan pidato Jokowi pada pelantikan tersebut, sangat jelas ia memaksudkan pernyataan itu untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Artinya, konteks pernyataan tersebut adalah pada program-program yang memberi dampak nyata ekonomi, seperti pembangunan dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM).

Kepercayaan Jokowi yang lebih mengutamakan hasil daripada proses bisa dilihat dari sudut pandang yang disebut konsekuensialisme atau yang disebut juga utilitarianisme klasik. Jika demikian, benarkah kebijakan ekonomi Jokowi menerapkan prinsip utilitarianisme?

Utilitarianisme dan Ekonomi

Pada kaedahnya, utilitarianisme merupakan suatu prinsip normatif mengenai moralitas. Praktis, utilitarianisme merupakan salah satu teori dalam diskursus etika. Lantas pertanyaannya, bagaimana teori mengenai moralitas ini berhubungan dengan kebijakan publik bahkan ekonomi?

Jeremy Bentham, pionir dari teori ini mengungkapkan bahwa utilitarianisme merupakan landasan dari kebijakan publik. Maksud Bentham adalah kebijakan publik merupakan kebijakan yang melibatkan hak individu lain di dalamnya. Praktis, kebijakan yang dibuat harus memikirkan persoalan moral mengenai apakah kebijakan tersebut adalah baik bagi banyak orang atau tidak.

Baca juga :  Siasat JK Hadang Jokowi ke Golkar?

Dengan demikian, pemangku kebijakan publik memiliki landasan argumentasi atau teori untuk menyebut kebijakannya telah baik atau bermoril dengan menerapkan utilitarianisme.

Utilitarianisme sendiri memiliki satu diktum yang menjadi pegangan, yaitu greatest “good” for the greatest “number” – kebaikan terbesar adalah untuk jumlah terbesar. Artinya, kebaikan (good) yang lebih baik adalah yang lebih memberi manfaat bagi banyak orang.

Pada perkembangannya, apa yang disebut dengan kebaikan dalam utilitarianisme mendapatkan pengertian yang berbeda dari berbagai filsuf. Namun, kendati terdapat perdebatan mengenai kebaikan apa yang dimaksud, diktumnya tetap sama, yaitu yang memberi konsekuensi kebaikan terbesar bagi banyak orang. Atas dasar ini, utilitarianisme juga disebut sebagai konsekuensialisme.

Karena lebih menimbang pada hasil atau konsekuensi, utilitarian ini kerap menjadi landasan teoritis bagi berbagai kebijakan publik, khususnya perihal kebijakan ekonomi.

Suka tidak suka, seperti pernyataan Richard A. Posner, saat ini utilitarianisme kerap disamakan dengan ekonomi. Ini sebenarnya cukup berdasar karena baik utilitarianisme dan ekonomi, keduanya menerapkan perhitungan matematis dan konsep utilitas (kegunaan) sebagai landasan keberhasilan.

Melacak sejarahnya, penyamaan ini berawal dari Herbert Lionel Adolphus Hart, seorang Profesor Ilmu Hukum di Oxford University yang terinspirasi menggunakan utilitarianisme untuk melakukan analisis ekonomi hukum (economic analysis of law).

Bagi Hart, utilitarianisme mendahului ekonomi. Artinya, prinsip utilitas utilitarianisme merupakan basis dari ekonomi.

Pada perkembangan relasi utilitarianisme dengan ekonomi, melahirkan apa yang disebut dengan Choice Utilitarianism atau utilitarianisme pilihan. Utilitarianisme pilihan ini menggunakan basis matematika untuk digunakan sebagai acuan penentuan pilihan atau kebijakan bagi agen ekonomi. Imbasnya, penentuan kebijakan ekonomi yang baik cukup dengan melihat seberapa banyak orang yang merasakan dampak baiknya.

Jokowi Utilitarian?

Utilitarianisme, ketika dibandingkan dengan etika deontologi dari Immanuel Kant kerap kali mendapatkan konotasi negatif.

Hal ini bisa dilihat dalam tulisan Dosen Senior Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia Ahmad Sahidah di Koran Sindo pada 20 April 2016. Sahidah menyerang kebijakan pembangunan Indonesia yang disebutnya menerapkan prinsip utilitarian. Baginya, kebijakan pembangunan harus memiliki landasan etika yang kuat, di mana pada tulisan itu, disandingkan dengan etika deontologi Kant.

Menimbang pada asas kebermanfaatan, jikalau memilih utilitarianisme dengan deontologi, maka utilitarianisme adalah konsep etis yang lebih dapat diandalkan.

Sekiranya, tidak memungkinkan apabila suatu kebijakan publik hanya didasarkan pada aspek niat baiknya. Kebijakan publik harus mampu dinilai secara empiris melalui hasil dan konsekuensi praktisnya dan bukan pada niat baiknya semata.

Pertimbangan tersebut dapat kita lihat dengan jelas dalam potongan pidato Jokowi berikut: “Saya sering ingatkan ke para menteri, tugas kita bukan hanya membuat dan melaksanakan kebijakan, tetapi tugas kita adalah membuat masyarakat menikmati pelayanan, menikmati hasil pembangunan”.

Jokowi tentu memahami bahwa suatu program harus didasari pada niatan baik kepada rakyat, tetapi hal tersebut tidaklah cukup karena mesti adanya konsekuensi nyata dari program yang dijalankan.

Pandangan tersebut sepertinya tidak terlepas dari keyakinan Jokowi yang sepertinya menyamakan utilitarianisme dengan ekonomi seperti dalam pandangan Hart.

Jokowi, sebagaimana kita ketahui memiliki fokus pada pembangunan infrastruktur, di mana hal ini juga ditegaskan dalam pidatonya. Bagi Jokowi, infrastruktur adalah mutlak sebagai dasar pembangunan ekonomi. Artinya, pembangunan infrastruktur tersebut berdasar pada keyakinan dan kalkulasi utilitas bahwa ini akan berdampak baik bagi orang banyak ke depannya.

Ini juga terlihat jelas dari pemaparan yang dipublikasikan di laman Kementerian Keuangan bahwa ketertinggalan pada sektor infrastruktur akan memberikan dampak pada rendahnya konektivitas dan aksesibilitas wilayah di Indonesia.

Rendahnya konektivitas dan aksesibilitas ini mengakibatkan terjadinya kesenjangan di berbagai wilayah, baik dari sisi ekonomi maupun kualitas manusia itu sendiri. Dari perspektif ekonomi, sulitnya distribusi barang ke suatu wilayah akan menyebabkan adanya kesenjangan harga di wilayah tersebut.

Menilik narasi publikasi tersebut, pembangunan infrastruktur dimaksudkan untuk menjawab persoalan  mengenai kesenjangan sosial. Pada akhirnya, ini dimaksudkan akan memberikan kalkulasi ekonomi yang baik ke depannya.

Dalam ekonomi, ini disebut dengan wealth maximization atau memaksimalkan kekayaan. Wealth maximization atau walfare maximization merupakan konsep etis yang memang dimaksudkan untuk meningkatkan perekonomian.

Melihat pada Posner, baik konsep walfare pada ekonomi dan utilitas pada utilitarianisme, keduanya tidak dapat dibedakan. Memaksimalkan kekayaan berarti memaksimalkan utilitas, di mana keduanya dimaksudkan untuk memberi kebermanfaatan yang lebih besar.

Pada akhirnya, kita dapat menyimpulkan bahwa dalam kebijakan ekonominya, Jokowi besar kemungkinan menerapkan prinsip utilitarianisme. Ini terlihat jelas dari asumsi bahwa infrastruktur akan menjadi jawaban atas masalah ekonomi dan SDM di Indonesia.

Menarik untuk melihat apakah kebijakan ekonomi utilitarianisme Jokowi ini benar-benar memberi manfaat baik bagi perkembangan perekonomian ke depannya. (R53)

Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...