HomeNalar PolitikPermainan Ala Gerindra-PKS

Permainan Ala Gerindra-PKS

Sahabat setia Gerindra dan PKS sampai saat ini belum resmi berkoalisi.


PinterPolitik.com

[dropcap]G[/dropcap]erindra resmi memberi mandat kepada ketua umum mereka, Prabowo Subianto untuk menjadi capres dari partai tersebut. Seketika, para pendukung mantan Danjen Kopassus tersebut bergembira, penantian mereka berbulan-bulan akhirnya membuahkan hasil.

Sebagai kawan setia, PKS sepertinya menyambut baik pemberian mandat tersebut. PKS, sejak awal memang kerap menyatakan akan berkoalisi dengan Gerindra di Pilpres 2019. Oleh karena itu, saat Gerindra memberi mandat pada Prabowo, idealnya PKS mendukung langkah sahabatnya tersebut.

Meski demikian, ternyata PKS hingga kini belum resmi memberikan dukungannya kepada Prabowo. Partai berlogo padi dan bulan ini memberikan persyaratan yang lantang dan jelas jika koalisi kedua partai dapat terwujud. Mereka mensyaratkan agar kursi calon RI-2 harus berasal dari kader mereka.

Gerindra sendiri sepertinya tidak serta-merta menerima tawaran sahabatnya tersebut. Mereka tengah mempertimbangkan nama lain di luar kader-kader PKS. Partai berlogo garuda ini juga memberikan syarat, apabila PKS ingin kadernya dipinang jadi calon orang nomor dua.

Tampaknya, kedua belah pihak tengah menaikkan posisi tawar sebelum menyepakati sebuah koalisi. Koalisi sepertinya belum akan terwujud jika perjanjian yang ada tidak berhasil memenuhi kepentingan masing-masing. Jika sudah begini, mungkinkah koalisi keduanya terwujud?

Membentuk Koalisi Gerindra-PKS

Meski bersahabat, koalisi antara Gerindra dan PKS hingga saat ini masih belum benar-benar resmi terjadi. Kedua partai yang kerap akrab di Pilkada ini, tampak masih belum menyepakati tawaran dan persyaratan dari masing-masing kubu.

PKS sebenarnya sudah sangat merindukan koalisi dengan Gerindra. Dalam beberapa kesempatan, kader-kader partai pimpinan Sohibul Iman ini menantikan pengumuman resmi Prabowo sebagai capres Gerindra. Ternyata, meski rindu, rindu PKS ini bersyarat. Gerindra harus mau memberikan kursi cawapres kepada kader PKS agar koalisi dapat terbentuk.

Di sisi yang lain, Gerindra sendiri tidak mau begitu saja menerima persyaratan yang diberikan oleh teman karibnya tersebut. Partai berlogo garuda ini mengaku mempertimbangkan nama lain di luar kader-kader PKS.

Permainan Ala Gerindra-PKS

Padahal disebutkan bahwa ada surat kesepakatan antara kedua belah, pihak bahwa cawapres dari Prabowo haruslah berasal dari PKS. Tampak bahwa partai berhaluan nasionalis tersebut tengah merancang strategi lain dalam pembangunan koalisi dengan mempertimbangkan cawapres di luar PKS

Tidak lupa, mereka juga memberikan persyaratan lain kepada PKS jika kader mereka ingin bersanding dengan Prabowo. Gerindra mensyaratkan tiga hal, yaitu memberi insentif elektoral, bisa diterima koalisi, dan bisa bekerja sama dengan Prabowo.

Baca juga :  Mengapa Barat Bisa ‘Kuasai’ Dunia?�

Belakangan, terlihat bahwa PKS kembali menaikkan posisi tawar mereka. Ada indikasi bahwa partai dakwah ini akan mengusung capres lain, yaitu Gatot Nurmantyo. Mereka juga memberikan nuansa seolah Gerindra juga harus mendukung Gatot menjadi capres pada Pilpres 2019 nanti.

Hal ini terlihat dari pernyataan kader PKS Nasir Djamil yang menyebut bahwa Prabowo bisa saja memberikan tiket kepada Gatot. Belakangan, PKS memang tengah memikirkan opsi mendukung Gatot meski memiliki sembilan capres dari kader sendiri.

Mencari Kesepakatan Terbaik

Dalam pembentukan koalisi, dikenal sebuah teori yang dinamakan game theory. Teori ini dapat dilacak dari pemikiran John Nash, seorang pemenang Nobel di tahun 1994. Tujuan dari teori ini adalah untuk memberikan formula, analisis, dan juga strategi dari permasalahan atau konflik.

Game theory sebenarnya berakar dari matematika. Meski begitu, teori ini kerapkali digunakan dalam dunia ekonomi dan bisnis. Dalam perkembangannya, semua bidang dapat dianalisis dengan teori tersebut termasuk politik.

Nash terkenal karena mengemukakan strategi berupa Nash equilibrium. Gagasan tersebut terkenal karena dapat menyelesaikan salah satu permainan dalam game theory yaitu non-cooperative game theory. Di dalam Nash equilibrium, masing-masing pihak hanya dapat memperoleh keuntungan dengan tidak mengubah strateginya sendiri.

Di dalam Nash equilibrium, yang paling penting adalah kedua belah pihak mendapatkan bagian dalam pencapaian kepentingannya, tidak penting seberapa besar persentasenya. Dalam hal ini, kesepakatan tidak ditujukan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, tetapi mencari dampak yang menguntungkan dengan biaya yang lebih rendah.

Mengganti strategi bisa saja memberikan keuntungan yang lebih besar. Akan tetapi, biaya dari penggantian strategi tersebut kerapkali amat besar. Oleh karena itu, kesepakatan yang dengan keuntungan yang lebih baik dapat dicapai jika bertahan dengan strategi awal.

Agar Kesepakatan Tercipta

Lalu bagaimana caranya agar kesepakatan antara Gerindra dan PKS dapat tercipta? Berdasarkan teori di atas, ada kondisi tertentu agar terjadi titik ekuilibrium atau kesepakatan di antara keduanya. Hal ini perlu dilihat terlebih dahulu dari opsi cawapres.

Berdasarkan perkembangan terkini, opsi cawapres yang ada bagi Gerindra adalah dari PKS dan bukan dari PKS. Hal yang serupa terjadi pada PKS, yaitu opsi cawapres dari kader mereka atau bukan dari kader mereka.

Melihat opsi-opsi tersebut, kesepakatan tidak akan terjadi jika kedua belah pihak mengganti strategi mereka.  Strategi awal PKS adalah menawarkan sembilan nama untuk menjadi cawapres bagi Gerindra. Sementara itu, strategi awal Gerindra adalah menerima calon tersebut.

Baca juga :  Siasat Demokrat Pepet Gerindra di Pilkada?

Jika salah satu pihak mengganti strategi mereka, maka kesepakatan tidak akan terjadi. Jika Gerindra serius mempertimbangkan cawapres dari kalangan lain, maka kesepakatan tidak akan tercipta. Di sisi lain, jika PKS mengganti strategi dengan menerima tawaran tersebut, maka keuntungan yang mereka terima tidak akan besar. Di titik tersebut, kesepakatan dengan keuntungan tertinggi akan tercipta jika PKS dan Gerindra bertahan pada pernyataan awal mereka, bahwa Cawapres akan berasal dari PKS.

Selain melihat dari opsi pilihan cawapres, penting pula untuk melihat dari opsi capres. Hal ini dikarenakan ada wacana dari kader PKS agar Gerindra bisa menominasikan calon lain di luar Prabowo yaitu Gatot. Berdasarkan kondisi tersebut, opsi yang tersedia bagi Gerindra dan PKS adalah mencalonkan Prabowo atau mencalonkan Gatot.

Jika melihat kondisi awal, strategi awal bagi Gerindra adalah mencalonkan Prabowo. Hal serupa berlaku bagi PKS, strategi awal mereka adalah ikut mendukung calon yang sudah diusung Gerindra. Kesepakatan tidak akan tercipta jika PKS mengganti strategi dan menawarkan Gatot. Sementara itu, jika Gerindra yang mengubah strategi dan menerima Gatot, maka keuntungan yang mereka terima tidak akan terlalu besar. Oleh karena itu, kesepakatan dengan payofftertinggi akan terjadi jika keduanya bertahan untuk mendukung Prabowo.

Dalam konteks ini, koalisi antara PKS dan Gerindra akan terbentuk jika masing-masing tidak mengubah strateginya. Bagi Gerindra, mereka harus tetap mau mengambil salah satu dari kader PKS menjadi cawapres. Sementara itu, bagi PKS mereka harus tetap mau mendukung Prabowo dan meninggalkan opsi mendukung Gatot. Dengan begitu, bukan hanya kesepakatan yang tercipta, tetapi juga payoffatau keuntungan dari masing-masing pihak juga menjadi lebih tinggi.

Berdasarkan kondisi tersebut, pandangan tawar-menawar di dalam game theorymenjadi benar adanya. Jika salah satu pihak meningkatkan penawaran mereka, maka kedua belah pihak tidak akan mendapatkan apa-apa.

Jika memang serius ingin membangun hubungan, idealnya mereka tidak saling mengubah strategi. Berdasarkan uraian di atas, bertahan pada pernyataan awal sangat penting agar kesepakatan dapat tercipta dengan payofftertinggi. Kalau menurutmu, langkah apa yang terbaik bagi kedua partai? Berikan pendapatmu. (H33)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Tarung 3 Parpol Raksasa di Pilkada

Pilkada Serentak 2024 menjadi medan pertarungan sengit bagi tiga partai politik besar di Indonesia: PDIP, Golkar, dan Gerindra.

RK Effect Bikin Jabar ‘Skakmat’?�

Hingga kini belum ada yang tahu secara pasti apakah Ridwan Kamil (RK) akan dimajukan sebagai calon gubernur (cagub) Jakarta atau Jawa Barat (Jabar). Kira-kira...

Kamala Harris, Pion dari Biden?

Presiden ke-46 Amerika Serikat (AS) Joe Biden telah memutuskan mundur dari Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2024 dan memutuskan untuk mendukung Kamala Harris sebagai calon...

Siasat Demokrat Pepet Gerindra di Pilkada?

Partai Demokrat tampak memainkan manuver unik di Pilkada 2024, khususnya di wilayah-wilayah kunci dengan intrik tarik-menarik kepentingan parpol di kubu pemenang Pilpres, Koalisi Indonesia Maju (KIM). Lantas, mengapa Partai Demokrat melakukan itu dan bagaimana manuver mereka dapat mewarnai dinamika politik daerah yang berpotensi merambah hingga nasional serta Pilpres 2029 nantinya?

Puan-Kaesang, ‘Rekonsiliasi’ Jokowi-Megawati?

Ketua Umum (Ketum) PSI Kaesang Pangarep diwacanakan untuk segera bertemu dengan Ketua DPP PDIP Puan Maharani. Mungkinkah akan ada rekonsiliasi antara Presiden Joko Widodo...

Alasan Banyaknya Populasi Asia

Dengarkan artikel berikut Negara-negara Asia memiliki populasi manusia yang begitu banyak. Beberapa orang bahkan mengatakan proyeksi populasi negara Asia yang begitu besar di masa depan...

Rasuah, Mustahil PDIP Jadi “Medioker”?

Setelah Wali Kota Semarang yang juga politisi PDIP, Hevearita Gunaryanti Rahayu ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), plus, Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto yang masih menjalani proses hukum sebagai saksi di KPK dan Polda Metro Jaya, PDIP agaknya akan mengulangi apa yang terjadi ke Partai Demokrat setelah tak lagi berkuasa. Benarkah demikian?

Trump dan Bayangan Kelam Kaisar Palpatine�

Percobaan penembakan yang melibatkan kandidat Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump (13/7/2024), masih menyisakan beberapa pertanyaan besar. Salah satunya analisis dampaknya ke pemerintahan Trump jika nantinya ia terpilih jadi presiden. Analogi Kaisar Palpatine dari seri film Star Wars masuk jadi salah satu hipotesisnya.�

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...