HomeNalar PolitikPemerintahan Jokowi Alami Ambiguitas Tujuan?

Pemerintahan Jokowi Alami Ambiguitas Tujuan?

Setahun terakhir ini kebijakan yang ditelurkan pemerintah terlihat kontraproduktif dengan aspirasi publik. Terkhusus dalam periode kedua, besarnya koalisi pemerintahan justru dilihat sebagai batu ganjalan karena banyaknya kepentingan politik yang harus dipertimbangkan. Lantas, mungkinkah pemerintahan Jokowi tengah mengalami disorientasi dan ambiguitas tujuan?


PinterPolitik.com

Dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) pada 20 Oktober 2020 lalu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menyebutkan konsep menarik untuk menggambarkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) di periode kedua. Menurutnya, ada kemungkinkan pemerintahan Jokowi terancam terjebak dalam kutukan periode kedua atau second-term curse

Preseden atas hal tersebut adalah meningkatnya penghakiman publik terhadap Presiden Jokowi akhir-akhir ini. Gelombang penolakan terhadap Undang-undang (UU) kontroversial, seperti revisi UU KPK dan UU Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) terlihat jelas sebagai puncak kekecewaan publik terhadap mantan Wali Kota Solo tersebut. 

Zainal juga menuturkan bahwa pemerintahan Jokowi seperti mengalami disorientasi kebijakan karena kini cenderung lebih mengutamakan kepentingan politik dan mengabaikan kepentingan publik. Lanjutnya, pemerintahan Jokowi bisa benar-benar mengalami kutukan di periode kedua jika disorientasi ini terseret lebih jauh lagi pada fragmentasi perebutan kekuasaan menuju Pilpres 2024.

Pernyataan tersebut memang sangat beralasan. Dengan Presiden Jokowi tidak dapat lagi maju sebagai kandidat di Pilpres mendatang, praktis ini membuatnya tidak lagi menjadi corong perhatian partai-partai politik. Artinya, sangat potensial bagi partai-partai politik untuk memanfaatkan kebijakan kontroversial pemerintah sebagai sasaran kritik guna mendulang simpati publik demi pemilu yang akan datang.

Lantas, jika benar pemerintahan Jokowi tengah mengalami disorientasi tujuan – seperti yang dikemukakan oleh Zainal – mengapa itu bisa terjadi?

Ambiguitas Tujuan

Francis Fukuyama dalam bukunya Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21 akan memberikan jawaban lugas terhadap pertanyaan tersebut. Menurutnya, terdapat tiga alasan mengapa organisasi-organisasi negara mengalami ambiguitas tujuan.

Pertama, para anggota organisasi tidak berlaku rasional. Mengutip teori Herbert Simon tentang satisficing, Fukuyama menerangkan bahwa tujuan organisasi sebenarnya tidak pernah hadir secara jelas, namun muncul sebagai hasil dari berbagai interaksi para pelaku organisasi.

Maksudnya adalah, meskipun terdapat tujuan tertulis – seperti menggapai X – ganjalan besar dari aktualisasi tujuan terletak pada adanya berbedaan persepsi antar anggota organisasi.

Menurut Fukuyama, ini terjadi karena individu-individu dalam organisasi memiliki rasionalitas yang terbatas. Ini tidak dalam pengertian individu tersebut “bodoh”, melainkan karena individu memiliki penafsiran yang berbeda atas suatu peristiwa.

Konteks tersebut misalnya dapat kita lihat dari perpecahan gerakan Feminisme di Amerika Serikat (AS). Kendati memiliki tujuan yang sama, yakni ingin mewujudkan kesetaraan gender, gerakan-gerakan yang ada justru terpecah karena memiliki penafsiran yang berbeda tentang bagaimana tujuan tersebut dapat dicapai. Feminis Liberal, misalnya, menilai kesetaraan gender akan didapat melalui kesetaraan hak politik. Namun, Feminis Marxist justru lebih menitikberatkan pada kesetaraan hak ekonomi.

Baca juga :  Prabowo-Megawati Bersatu, Golkar Tentukan Nasib Jokowi?

Kedua, organisasi-organisasi sektor negara, khususnya yang menghasilkan  pelayanan publik pada dasarnya sulit diukur atau dipantau. Menurut Fukuyama, terdapat dua variabel untuk menentukan tingkat kesulitan pengukuran tersebut, yakni “kekhususan” dan “volume transaksi” pelayanan. Kedua variabel tersebut akan membentuk matriks sebagai berikut.

Matriks hubungan kekhususan dan volume transaksi dari Francis Fukuyama dalam buku Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21

Aktivitas atau pelayanan yang paling mudah dipantau atau diukur adalah Kuadran I, yakni pelayanan yang sangat khusus dan volume transaksinya rendah. Sedangkan yang paling sulit diukur adalah Kuadran IV, yakni pelayanan yang kekhususannya rendah dan tinggi volume transaksinya sangat tinggi.

Masalahnya, kinerja yang sulit dipantau akan membuat anggota organisasi berprilaku sesuai dengan keinginannya dan tidak jarang justru melenceng dari tujuan organisasi.

Ketiga, terjadinya desentralisasi kewenangan. Menurut Fukuyama, desentralisasi kewenangan, meskipun memiliki dampak positif, seperti membagi tugas, nyatanya ini berkontribusi pada terjadinya perbedaan dan kompleksitas tujuan karena adanya berbagai kewenangan.

Fukuyama mencontohkan ini pada federalisme. Pendelegasian otoritas negara kepada negara-negara bagian dan pemerintah lokal disebut telah menciptakan keberagaman yang lebih besar dalam kinerja pemerintahan.

Terkhusus di negara berkembang, pendelegasian otoritas seperti itu sering kali menciptakan penguatan elite atau jaringan patronase lokal. Oleh karenanya, perlu adanya pemusatan otoritas politik untuk menjamin standar minimal dari perilaku yang tidak koruptif dalam administrasi negara.

Kendati demikian, Fukuyama juga menyadari bahwa tidak terdapat teori yang dapat menyediakan panduan umum tentang tingkat kewenangan yang tepat dalam administrasi negara.

Alami Ambiguitas Tujuan?

Pada alasan pertama, konteks benturan rasional di pemerintahan Jokowi besar kemungkinan tengah terjadi. Pasalnya, di periode kedua ini, Presiden Jokowi telah membuat koalisi raksasa yang tidak pernah terlihat sejak reformasi. Partai Gerindra yang menjadi rival berat dalam dua gelaran Pilpres juga digandeng masuk dalam pemerintahan.

Masalahnya adalah, dengan koalisi yang begitu besar, Presiden Jokowi harus memberikan kompensasi jabatan kepada parpol-parpol tersebut. Itu terlihat jelas dari pembagian menteri yang dilakukan.

Mengacu pada spoils system, praktik tersebut memang sangat lumrah. Spoils system sendiri adalah praktik ketika pemenang pemilu memberikan posisi kepada pendukungnya sebagai hadiah karena telah berjasa dalam menghantarkan kemenangan. Selain sebagai insentif, pemberian posisi tersebut juga ditujukan sebagai garansi kesetiaan.

Akan tetapi, tidak seperti tujuannya, di mana pembagian kursi ditujukan sebagai garansi kesetiaan, pada kasus Presiden Jokowi, spoils system telah berkonsekuensi pada penurunan pelayanan publik karena pemilihan pejabat tidak disandarkan pada kemampuan yang dibutuhkan presiden (merit system), melainkan pada rekomendasi dari para pendukung.

Baca juga :  Meraba Politik Luar Negeri Prabowo Subianto 

Menimbang praktiknya lebih seperti “membayar utang”, ini kemudian membuat presiden tidak memiliki kontrol yang kuat terhadap pejabat-pejabat tersebut.

Imbasnya, boleh jadi terjadi ketidakselarasan tujuan, bahkan bisa jadi pula para menteri memiliki tujuan personal masing-masing. Konteks ini misalnya diungkapkan oleh Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto pada 20 Oktober lalu. Tegasnya, ada indikasi menteri yang terlalu berimajinasi pada kontestasi Pemilu 2024, sehingga melupakan tugas dan tanggung jawab utamanya sebagai pembantu presiden.

Kemudian pada alasan kedua, sulitnya pengukuran kinerja organisasi negara di Indonesia dengan jelas terjadi. Ini tidak hanya perihal luas wilayah dan penduduk yang besar, melainkan juga karena organisasi negara yang terlalu banyak dan terkadang terjadi tumpang tindih kewenangan.

Dalam tulisannya Democracy and the Quality of the State, Fukuyama juga menyinggung Indonesia dengan menyebutnya sebagai contoh negara demokrasi baru yang telah berhasil menyelenggarakan pemilu tetapi gagal membentuk pemerintahan yang berkualitas.

Menurutnya, lemahnya legitimasi pemerintahan di Indonesia terjadi karena tingginya tingkat klientelisme dan korupsi, serta tidak efektifnya pemberian layanan terhadap sebagian besar penduduk.

Terakhir, pada alasan ketiga, menariknya dalam bukunya, Fukuyama menjadikan Indonesia sebagai contoh atas masalah tersebut. Tulisnya, pendelegasikan otoritas yang lebih besar kepada pemerintah daerah sejak turunnya rezim Soeharto justru telah meningkatkan kesempatan korupsi di seluruh tingkatan eselon.

Selain korupsi, pendelegasian otoritas kepada pemerintah daerah atau yang dikenal sebagai otonomi daerah juga telah menjadi kendala sinergi pembangunan. Salah satu contohnya adalah bencana banjir tahunan DKI Jakarta.

Dalam penelitian Imelda Simanjuntak, dan kawan-kawan yang berjudul Evaluating Jakarta’s Flood Defence Governance: The Impact of Political and Institutional Reforms, otonomi daerah justru telah berkonsekuensi pada terjadinya diskoneksi master plan pengontrol banjir dan saluran air di Jakarta sejak tahun 1999.

Pada era Soeharto, ketika pemerintahan dijalankan secara sentralistik, ini memudahkan membangun keselarasan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam membangun infrastruktur pengontrol banjir. Namun, dengan adanya otonomi daerah, keselarasan pembangunan sulit terjadi karena DKI Jakarta memiliki kewenangan tersendiri untuk menentukan arah pembangunan.

Pada titik ini, mungkin dapat disimpulkan bahwa pernyataan Zainal bahwa pemerintahan Jokowi mengalami disorientasi atau ambiguitas tujuan adalah benar adanya. Akan tetapi, sepertinya kurang tepat untuk menyebutkan bahwa ambiguitas tujuan secara spesifik terjadi di pemerintahan Jokowi karena masalah ini telah terjadi sejak lama, khususnya setelah reformasi. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...