HomeNalar PolitikPemakzulan Jokowi, Nasdem Ingin Dominan?

Pemakzulan Jokowi, Nasdem Ingin Dominan?

Polemik seputar revisi UU KPK masih bergulir hingga sekarang. Terakhir Ketua Umum Nasdem, Surya Paloh, mengatakan bahwa jika ‘salah-salah’ Jokowi bisa dimakzulkan alias diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden jika menerbitkan Perppu untuk membatalkan revisi UU KPK.


PinterPolitik.com 

Nasdem mengklaim bahwa apa yang dikatakan oleh ketuanya tersebut tidak lain merupakan bentuk upaya untuk ‘menjaga’ sang presiden agar tidak ada salah langkah. Namun Nasdem juga menjelaskan memang ada dua faktor yang bisa membuat Jokowi dimakzulkan dalam polemik Perppu KPK.

Pertama, pemakzulan muncul dari hubungan eksekutif-legislatif yang memburuk dan kedua dari kelompok-kelompok yang dulu ingin menghalangi Jokowi menjadi presiden.

Respons Negatif

Sebagian besar pihak merespon secara negatif pemakzulan yang dimunculkan oleh Nasdem.

Menurut ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, penerbitan Perppu merupakan hak konstitusional presiden sehingga tidak dapat dijadikan alasan untuk memakzulkan presiden.

Hal senada diungkapkan Syamsuddin Haris, Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, yang berpendapat bahwa Jokowi tidak perlu khawatir mengenai isu pemakzulan terkait penerbitan Perppu.

Syamsudin bahkan mengatakan bahwa menghubungkan penerbitan Perppu dengan pemakzulan adalah suatu hal yang ‘konyol.

Respons juga datang dari partai lain seperti Demokrat yang mengatakan bahwa risiko pemakzulan mustahil terwujud salah satunya karena adanya syarat kuorum 3/4 anggota MPR untuk menggelar rapat paripurna terkait pemakzulan dan persetujuan 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

Aturan mengenai pemakzulan presiden maupun wakil presiden sendiri ada dalam Pasal 7A UUD 1945. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pemakzulan menjadi wewenang MPR berdasarkan usul DPR.

Dijelaskan juga tujuh hal yang bisa membuat seorang presiden atau wapres dimakzulkan yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Sepanjang sejarah Indonesia, hanya ada dua peristiwa pemakzulan presiden yaitu Sukarno dan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Sukarno dimakzulkan pada 12 Maret 1967 melalui Ketetapan MPR Nomor XXXIII/MPRS/1967.

Dalam ketetapan tersebut disebutkan bahwa kekuasaan pemerintahan negara Sukarno dicabut karena pidato pertanggungjawabannya yang berjudul ‘Nawaksara’ ditolak oleh MPRS sebab dianggap tidak menjelaskan peristiwa G-30-S/PKI, kemunduran ekonomi dan kemerosotan akhlak yang dialami Indonesia.

Baca juga :  AS-Tiongkok Berebut Prabowo? 

Sementara pemakzulan Gus Dur oleh terjadi pada 23 Juli 2001 melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001.

Pemberhentian dari jabatan presiden terjadi karena, menurut MPR, Gus Dur melanggar Haluan Negara dan melakukan pelanggaran berat terhadap konstitusi.

Motif Politik Nasdem?

Lalu jika memang penerbitan Perppu revisi UU KPK tidak bisa dijadikan alasan dimakzulkannya Jokowi, kenapa Nasdem mengangkat isu tersebut?

Motif yang paling jelas terlihat adalah isu pemakzulan dimunculkan untuk menekan Jokowi agar tidak mengeluarkan Perppu.

Menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), isu pemakzulan merupakan bentuk usaha elit politik untuk menyandera Jokokwi agar tidak terbitkan Perppu.

Sementara Bivitri melihat bahwa bahwa isu pemakzulan menjadi salah satu alasan kenapa Jokowi saat ini terlihat ragu-ragu untuk mengeluarkan Perppu.

Menurut Javier Corrales, partai politik berkuasa terkadang memang bisa menjadi hambatan bagi proses  reformasi dari eksekutif.

Kebutuhan untuk melemahkan KPK dan terus mendorong berjalannya revisi UU KPK dengan menghalau sang presiden ini memang bisa dimengerti mengingat banyak pihak menilai bahwa sejak awal revisi tersebut sarat akan kepentingan partai ataupun DPR secara keseluruhan.

Kepentingan ini salah satunya berkaitan jumlah koruptor yang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK di mana 60 persennya berasal dari dimensi politik.

Selain isu pemakzulan sebagai usaha untuk menahan Perppu Jokowi, yang tidak kalah menarik adalah sosok yang memunculkan isu pemakzulan ini yaitu Nasdem.

Meskipun Surya Paloh mengklaim bahwa tidak diterbitkannya Perppu sudah disepakati oleh Jokowi dan lima pimpinan partai koalisi, hingga saat ini hanya Nasdem yang mengeluarkan isu pemakzulan

Bahkan PDIP yang juga secara keras menolak Perppu tidak sampai mengeluarkan isu dapat diberhentikannya Jokowi. 

Tidak menutup kemungkinan bahwa isu pemakzulan merupakan manuver Nasdem untuk tampil lebih dan berusaha meningkatkan daya tawarnya terhadap Jokowi bahwa jika ingin menerbitkan Perppu mantan Wali Kota Solo tersebut harus ‘melewati’ Nasdem terlebih dahulu.

Hal ini bisa jadi dilakukan mengingat untuk lima tahun kedepan kekuatannya, termasuk kekuatan partai-partai lain, cenderung kalah dibanding PDIP.

Ya, hingga tahun 2024 PDIP bisa dibilang sedang mendominasi kursi pemerintahan.

Selain diamankannya kursi eksekutif melalui kemanangan Jokowi, kursi legislatif juga berhasil dikuasai.

PDIP menjadi partai pemenang pemilu dengan menguasai 128 kursi alias 22 persen kursi DPR. Kemenangan ini juga memberikannya hak untuk menempatkan Puan Maharani di kursi Ketua DPR.

Baca juga :  Anies-Ganjar Harus Cegah Tragedi 2019 Terulang

Tidak berhenti di situ, kekuatan PDIP masih bisa bertambah mengingat partai tersebut sedang mengincar 18 kursi ketua alat kelengkapan dewan, komisi, serta wakil ketua komisi.

Terakhir, dominasi PDIP juga bisa semakin kuat mengingat masih adanya adanya janji Jokowi bahwa partai tersebut akan menjadi partai yang mendapatkan kursi menteri paling banyak dalam kabinetnya yang baru.

Kebutuhan Nasdem untuk mengimbangi dominasis PDIP mungkin juga bisa dikaitkan dengan hubungan kedua partai yang dalam beberapa kesempatan berseberangan pendapat bahkan terkesan ‘memperebutkan’ Jokowi.

Pada Juli lalu misalnya Nasdem mengklaim bahwa Jokowi merupakan kadernya. Hal ini cenderung bertabrakan dengan PDIP yang setidaknya sejak 2014 hingga saat ini selalu menyebut bahwa Jokowi adalah ‘petugas partai’.

Kemudian PDIP juga berpendapat bahwa kursi Jaksa Agung yang baru harus diberikan kepada internal Kejaksaan Agung itu sendiri, bukan partai. 

Padahal Jaksa Agung saat ini, Muhammad Prasetyo, merupakan mantan kader Nasdem dan partai berwarna biru itu-pun mengakui bahwa dalam pemerintahan baru Jokowi-Ma’ruf Nasdem menginar kursi Jaksa Agung.

Peristiwa baru-baru ini dimana Megawati yang tidak menyalami Surya Paloh dalam acara pelantikan DPR juga dilihat beberapa pihak sebagai bentuk renggangnya hubungan politik keduanya.

Sebenarnya bukan kali ini saja Jokowi diterpa isu pemakzulan.

Pada tahun 2014 muncul isu pemakzulan terkait sengketa hasil Pemilu dan dugaan kecurangan. Kemudian pada awal 2015 isu pemakzulan muncul terkait kinerja 100 hari Jokowi-JK yang dianggap buruk oleh beberapa pihak.

Isu pemakzulan juga muncul pada 2016 terkait kasus penistaan agama Ahok dan konflik PPP. Namun seperti yang bisa kita lihat sekarang, Jokowi berhasil selamat dari semua isu pemakzulan tersebut.

Rasa-rasanya ancaman pemakzulan memang tidak mungkin terjadi.

Selain karena berbagai pendapat ahli bahwa Perppu merupakan hak presiden yang tidak melanggar aturan apapun, berdasarkan survei LSI 76 persen masyarakat Indonesia justru mendukung terbitnya Perppu guna membatalkan Revisi UU KPK.

Kita nantikan saja apakah Jokowi memilih untuk menghormati keputusan partai koalisinya, atau lebih memilih mendengarkan suara rakyat. (F51)

Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Amerika, Kiblat Prabowo Untuk Pertahanan?

Komponen Cadangan (Komcad) menjadi salah satu program yang akan dikerjakan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. Hal yang menarik adalah dalam menjalankan program tersebut,...

Digdaya Ekonomi Islam Melalui Ma’ruf

Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin mengatakan bahwa dirinya akan mendorong perkembangan ekonomi Islam di Indonesia, mulai dari sektor industri produk halal hingga perbankan syariah....

Transparansi Anggaran Pertahanan: Prabowo Vs DPR

Terjadi perdebatan dalam rapat kerja perdana Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Kementerian Pertahanan (Kemhan) ketika Prabowo menolak permintaan beberapa anggota dewan untuk...