HomeNalar PolitikPandemi Menggila, Jokowi Tetap Berjaya?

Pandemi Menggila, Jokowi Tetap Berjaya?

Voxpopuli Research Center merilis survei tingkat kepuasan terhadap kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebesar 64,7 persen. Sebagian memandang angka tersebut terbilang tinggi di tengah hujan kritik penanganan pandemi Covid-19. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Dalam setiap kontestasi elektoral, diskursus mengenai peran lembaga survei terhadap jalannya pesta demokrasi selalu punya tempatnya sendiri. Meski survei politik merupakan praktik yang sudah sangat lumrah dilakukan, namun pertanyaan seputar akurasi dan dampaknya terhadap persepsi publik selalu menimbulkan perdebatan.

Jangankan publik, kalangan praktisi lembaga survei sendiri bahkan terbelah dalam menyikapi diskursus tersebut.

Anggota Dewan Etik Persepsi Perhimpunan Survei Opini Publik, Hamdi Muluk menilai hasil survei yang dikeluarkan lembaga-lembaga resmi mempunyai efek yang sama dengan media jurnalistik. Hasil tersebut bisa membentuk opini publik dalam konteks politik.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi justru menyebut hasil lembaga survei tidak memengaruhi persepsi publik dalam menentukan sikap atas pilihannya. Keterbatasan akses pemilih hingga keragaman hasil dari masing-masing lembaga ditengarai menjadi penyebab mengapa survei belum tentu berpengaruh terhadap persepsi atau opini publik.

Akan tetapi, terlepas dari perdebatan yang ada, hasil-hasil survei nyatanya kerap dijadikan rujukan oleh media massa dalam menangkap opini publik. Selain itu, hasil-hasil hitung cepat yang dirilis lembaga-lembaga survei juga langganan dijadikan acuan untuk ‘meramal’ siapa paslon yang akan memenangkan pemilu.

Baru-baru ini, Voxpopuli Research Center merilis hasil survei terbarunya mengenai persepsi tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) jelang satu tahun kepemimpinannya di periode kedua. Hasilnya, sebanyak 64,7 persen responden mengaku puas dengan kinerja presiden.

Angka tingkat kepuasan tersebut sebenarnya tidak terlalu berbeda jauh dengan hasil-hasil survei sebelumnya. Pada Juni lalu, Indikator Politik juga merilis survei serupa yang menyebut tingkat kepuasan terhadap kinerja presiden sebesar 66,5 persen.

Meski begitu, sejumlah media massa menganggap angka yang didapat Presiden Jokowi ini masih tergolong tinggi. Apalagi saat ini pemerintah tengah dihujani kritik terkait penanganan pandemi Covid-19.

Lantas pertanyaannya, benarkah angka kepuasan 64,7 persen yang didapat Presiden Jokowi tergolong tinggi? Kira-kira apa yang bisa dimaknai dari angka tersebut?

Kepuasan Menurun?

Hasil survei atau polling, sekalipun berwujud angka pasti, tetap merupakan sesuatu yang dapat dipandang dari berbagai sisi. Meski angka 64,7 persen dipandang tinggi oleh sebagian besar media massa, namun belum tentu pandangan itu disetujui oleh semua pihak.

E.J. Dionne, Jr. dan Thomas E. Mann dalam tulisan mereka yang berjudul Polling & Public Opinion: The Good, the Bad, and the Ugly menilai opini publik merupakan komoditas yang ilusif. Upaya untuk mengukur opini publik secara tak langsung akan memunculkan ketidakonsistenan dan perubahan.

Ketidakonsistenan ini terjadi bukan karena masyarakat kurang terdidik atau terinformasi. Melainkan karena ambivalensi adalah fakta kehidupan yang tidak bisa diubah.

Baca juga :  The Presidents’s Sons: Didit vs Gibran

Mereka menyebut bahwa survei adalah alat, bukan prinsip. Namun mereka juga menegaskan bahwa tulisan itu bukan dimaksudkan untuk mendukung atau menyudutkan survei.

Sebaliknya, mereka justru hendak mengakui signifikansi peran survei politik dalam kehidupan berdemokrasi sekaligus menekankan betapa pentingnya prinsip ‘percaya, tapi verifikasi’ dalam memandang hasil survei.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, agaknya diperlukan perbandingan yang lebih mendalam sebelum bisa mengatakan apakah angka 64,7 persen yang didapat Presiden Jokowi di tengah masa pandemi masuk dalam kategori tinggi atau tidak.

Meski dipersepsikan tinggi, pada kenyataannya, tingkat kepuasan Jokowi sebenarnya mengalami penurunan cukup signifikan dari hasil survei sebelum-sebelumnya.

Jika kita mengacu pada data sebelum pandemi, kepuasan Presiden Jokowi pada Februari 2020 masih mencapai 70,1 persen, menurun menjadi 67,2 persen pada Agustus lalu.

Meski begitu, dalam konteks yang lebih luas, Presiden Jokowi bukanlah satu-satunya pemimpin yang dirugikan secara elektoral oleh pandemi Covid-19. Fenomena serupa juga dialami oleh Perdana Menteri (PM) Malaysia, Muhyiddin Yassin.

Meski 90 persen responden mengaku puas dengan penanganan pandemi yang dilakukan pemerintah, namun dari segi elektoral, kepuasan rata-rata masyarakat terhadap PM Yassin menurun menjadi 69 persen dari 74 persen pada Juni lalu.

Lain lubuk lain ilalang. Meski penanganan Covid-19 di Filipina, boleh dikatakan ‘sebelas duabelas’ dengan Indonesia, namun nyatanya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Rodrigo Duterte justru mengalami kenaikan.

Pada survei terakhir yang dilakukan PulseAsia, approval rating Duterte bahkan mencapai angka 91 persen dari sebelum masa pandemi yang hanya bercokol di angka 87 persen.

Berkaca dari perbandingan-perbandingan tersebut, maka bisa dikatakan tingkat kepuasan masyarakat terhadap Presiden Jokowi mulai tergerus pandemi. Berbeda dengan Duterte yang justru mengalami kenaikan meski penanganan pandemi di negaranya tidaklah lebih baik dengan Indonesia. Sementara PM Malaysia, yang tingkat penanganan pandeminya dianggap memuaskan, justru tetap mengalami kerugian elektoral.  

Lantas mengapa perbedaan-perbedaan ini bisa terjadi?

Rally Effect Untungkan Duterte?

Tingginya tingkat kepuasan terhadap Duterte di tengah buruknya penanganan pandemi agaknya mengejutkan sejumlah pihak. Hasil survei tersebut bahkan menjadi pemberitaan di media-media internasional sekaliber CNN dan The Diplomat.

The Manila Times bahkan menyebut Duterte mencetak sejarah lantaran menjadi satu-satunya pemimpin negara tersebut yang pernah mendapatkan angka kepuasan masyarakat setinggi itu.

Meningkatnya kepuasan masyarakat terhadap pemimpin di tengah-tengah krisis sebenarnya bukanlah fenomena baru. Dalam bukunya yang berjudul War, Presidents, and Public Opinion, John Mueller mengistilahkan fenomena ini dengan konsep Rally Round The Flag Effect.

Sebenarnya Mueller menggunakan konsep tersebut untuk menjelaskan fenomena meningkatnya kepercayaan publik terhadap Presiden Amerika Serikat (AS) pasca sejumlah peristiwa diplomatik maupun militer skala internasional, seperti Perang Dingin dan Perang Vietnam hingga peristiwa 9/11.

Baca juga :  Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Alasannya, menurut Mueller, masyarakat AS tak ingin menyaksikan negaranya gagal di tingkat internasional. Selain itu, peristiwa global juga dapat menjadi ajang bagi presiden untuk mempertontonkan patriotismenya kepada khalayak.

Namun dalam konteks Pandemi Covid-19, Max Fisher dalam tulisannya di The New York Times memandang konsep Mueller tersebut dengan pendekatan yang sedikit berbeda, yakni dari segi psikologi.

Max menilai manusia adalah makhluk yang rumit. Dalam suatu krisis, manusia cenderung akan menempatkan kepercayaan mereka kepada pemimpin untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya.

Hal ini terjadi karena krisis, seperti pandemi, dapat memicu kecemasan mendalam. Kecemasan tersebut begitu kuat sehingga bisa sama mengancamnya dengan bahaya eksternal yang memicunya. 

Kemudian ketika ancaman tersebut tampaknya menargetkan suatu kelompok secara keseluruhan, hal itu membangkitkan naluri manusia untuk melihat diri sendiri sebagai bagian dari kelompok dan bersatu di bawah pemimpin yang kuat.

Daniel Odin Shaw dalam tulisannya di The International Scholar kemudian menyebut fenomena Rally Round The Flag dipengaruhi oleh beberapa faktor; di antaranya konsensus elite dan media massa.

Jika berkaca dari sini, maka dapat dikatakan meningkatnya kepuasan masyarakat Filipina terhadap Duterte sedikit banyak disebabkan oleh peran media yang jamak mencitrakan sosoknya sebagai pemimpin otoriter dan represif.  

Selain dari kebijakan-kebijakannya, citra itu mungkin saja terbentuk dari pembawaannya yang kerap berapi-api. The Manila Times bahkan menyebut saking kuatnya, Duterte bisa saja langsung menunjuk orang untuk menggantikan posisinya sebagai presiden.

Gambaran sosok pemimpin otoriter dan represif tersebut secara tak langsung membuat Duterte justru akan lebih mudah mempertontonkan ‘patriotismenya’ dalam melawan Covid-19, sekalipun penanganan pandemi yang Ia lakukan tidak memuaskan.

Hal itulah yang tampaknya tak dimiliki Presiden Jokowi. Terlepas dari pendapat minor yang menyebut presiden kerap menggunakan cara-cara represif dalam menghalau lawan-lawan politiknya sebagaimana dikemukakan oleh ilmuwan politik Australia, Greg Fealy, namun pada kenyataannya di depan publik, Presiden Jokowi bukanlah sosok yang berapi-api atau meletup-letup.

Hal ini boleh jadi menyebabkan publik tak memandang sosoknya sebagai pemimpin yang kuat sebagaimana masyarakat Filipina memandang Duterte, sehingga membuatnya sulit untuk mempertontonkan ‘patriotisme’ dalam melawan Covid-19.

Pada akhirnya, perlu dicatat bahwa angka kepuasan publik terhadap kinerja presiden dipengaruhi oleh banyak faktor. Fluktuasi dalam hasil survei juga merupakan fenomena lumrah sebagaimana telah diulas sebelumnya.

Namun yang jelas, setidaknya kita dapat menyepakati bahwa survei politik hanyalah salah satu instrumen untuk memetakan persepsi publik yang belum tentu juga sesuai kondisi aslinya. Bagaimana hasil survei tersebut dimaknai, tergantung dari cara masyarakat mempersepsikannya. (F63)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

More Stories

Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali mendapat sorotan. Kali ini draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang tak mencantumkan frasa agama dipersoalkan oleh...

Benci Produk Asing, Anomali Nasionalisme Jokowi?

Pernyataan terbaru Presiden Jokowi soal benci produk asing terus menuai polemik. Banyak pihak menilai Presiden punya standar ganda karena pemerintah sendiri masih melakukan impor...

Puan Sulit Taklukkan Ganjar?

Sejumlah analis dan pengamat memprediksi PDIP akan mengusung Prabowo-Puan dalam Pilpres 2024 mendatang. Namun prospek tersebut kini terancam dengan tingginya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah,...