HomeHeadlineBenarkah Erick "Musuh Dalam Selimut"?

Benarkah Erick “Musuh Dalam Selimut”?

Karena urung menjadi cawapres Prabowo Subianto, Erick Thohir mendapat tudingan cukup serius karena manuver para loyalisnya dinilai terus berupaya mendiskreditkan pencawapresan Gibran Rakabuming Raka dan duetnya dengan Prabowo Subianto.  Benarkah demikian? 


PinterPolitik.com 

Adalah akun @PartaiSocmed yang mengungkap bahwa manuver loyalis Menteri BUMN Erick Thohir terdeteksi cukup “berbahaya” bagi Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024. 

“Peluang terbesar menang pilpres 2024 ini ada di Prabowo, tapi manuver2 ET yg menyerang Gibran akan berpotensi membuatnya kalah utk ketiga kalinya! Saran kami pak @prabowo, @Gerindra dan @gibran_tweet untuk segera melakukan operasi amputasi!” begitu cuit akun tersebut di X/Twitter pada 3 November 2023 kemarin lusa. 

Sebagai informasi, spill yang dibeberkan akun #PartaiSocmed sendiri kerap menjadi rujukan informasi intelijen terbuka (open source intelligence) para netizen. 

Terlepas siapa di baliknya dan apa kepentingannya, yang jelas, akun pegiat media sosial itu tercatat pernah membongkar sejumlah kasus kelas kakap dan cukup menggegerkan jagat maya, utamanya Twitter. Mulai dari kekayaan dan manuver tak wajar pejabat negara pasca kasus Rafael Alun Trisambodo. 

PartaiSocmed juga pernah membeberkan kasus korupsi beras bansos di awal tahun 2023 ini serta turut menguak informasi mengenai sengketa Pulau Rempang beberapa waktu lalu. 

Kembali ke konteks Erick yang dibeberkan akun tersebut, nama staf khusus (stafsus) yang kemungkinan merujuk pada sosok Arya Sinulingga juga ikut disebutkan. 

gibran resmi jadi wapres prabowo

Arya, yang merupakan Staf Khusus III Menteri BUMN bidang komunikasi publik, bahkan disebut sebagai musuh dalam selimut. 

Terdapat manuver dari Erick dan Arya melalui akun-akun media sosial di bawah koordinasinya yang dikatakan kontraproduktif terhadap duet Prabowo-Gibran menuju Pilpres 2024. 

Lalu, benarkah terdapat manuver itu? Dan seperti apa proyeksi konesekuensinya bagi Erick? 

Logis, Namun Manuver Dipertanyakan? 

Secara kasat mata, memang cukup sulit untuk mendeteksi dan menebak keberpihakan akun-akun pegiat media sosial yang anonim, termasuk para buzzer, di ruang digital yang begitu luas. 

Itu termasuk apakah mereka benar-benar terafiliasi dengan aktor tertentu dengan tujuan tertentu pula. 

Namun, secara teknis, hal itu bukan tidak mungkin ditelusuri dan ditemukan benang merahnya kepada siapa para penggaung itu “mengabdi”. 

Baca juga :  Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Satu hal yang membuat manuver mereka logis dan sah-sah saja untuk dilakukan adalah ruang digital yang begitu luas dan cukup sulit meregulasi keberpihakan dan kepentingan, utamanya yang bertendensi politis. 

Apalagi, saat telah bersentuhan dengan narasi politik dalam demokrasi yang begitu deras dan saling memengaruhi satu sama lain. 

Di titik ini, eksistensi manuver mereka tak ubahnya seperti penjaja narasi, terlepas dari baik dan buruknya, dalam “pasar” ruang digital yang begitu luas. 

Hal itu senada dengan apa yang dikemukakan cendekiawan politik asal Amerika Serikat (AS) Francis Fukuyama. 

Fukuyama menilai kebebasan berpendapat di ruang digital tidak bisa lagi dilihat hanya sebagai tujuan mulia demokrasi, tetapi juga telah berubah bentuk menjadi pasar ide politik. 

Di sana, para akun-akun media sosial “binaan” aktor tertentu bergerak layaknya pedagang yang menjual dan “bising” dengan “promosi” hingga “rayuan” ide. 

Di sisi lain, masyarakat yang menjadi “calon pelanggan” akan melihat, menilai, dan pada akhirnya menentukan keputusan apakah akan mempercayai dan “membeli” agenda politik tertentu. Tentu yang sesuai dengan preferensi personalnya yang telah disusupi oleh informasi dari para penjaja ide tadi. 

Berkaca pada ruang digital yang tak teregulasi denga baik, kemungkinan akan selalu ada ide maupun informasi negatif, propaganda, dan disinformasi yang sengaja dikeluarkan untuk memengaruhi narasi politik. 

Kini tinggal pertanyaannya, kepentingan apa yang membuat aktor politik tertentu bergerak untuk mengerahkan para pasukan digitalnya untuk memengaruhi narasi dan preferensi politik, termasuk yang berpotensi berdampak konkret seperti demonstrasi hingga menggunakan instrumen hukum. 

Pertanyaan yang sama kiranya relevan untuk menguji sejauh mana probabilitas Erick dan Arya sebagai musuh dalam selimut kubu Prabowo-Gibran? 

erick di php

Erick Sebaiknya Meredam? 

Secara terpisah, Prabowo dan Gibran sendiri sebelumnya telah bertemu dengan Erick pada 31 Oktober lalu. Khusus dalam pertemuannya dengan Prabowo, Erick menyebut akan mendukung Pangkostrad ke-22 itu. 

Akan tetapi, tensi di belakang pangung (backstage) politik tak serta merta redam begitu saja. Apalagi, setelah spill yang dilakukan akun PartaiSocmed seperti yang dijelaskan di atas. 

Untuk itu, penting untuk mengurai dan menelusuri kepentingan seperti apa jika memang benar terdapat manuver dari Erick, Arya, dan para aktor digital binaan mereka yang berlawanan dengan arah politik Prabowo-Gibran. 

Baca juga :  The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pertama, dari sisi Erick secara personal. Pencawapresan Gibran disebut-sebut membuatnya kecewa karena selama ini dirinya-lah yang selalu berada di urutan teratas survei elektabilitas dan kapabilitas untuk mendampingi Prabowo. 

Selain itu, tidak – atau belum – diikutsertakannya Erick dalam tim pemenangan Prabowo-Gibran juga bisa saja membuatnya semakin kecewa. Sebagai catatan, di 2019 lalu, Erick adalah sosok yang sukses saat menjadi ketua tim pemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin. 

Namun, justifikasi dan kepentingan personal ini agaknya memiliki porsi yang tak terlampau signifikan. Terutama saat berkaca pada proyeksi “konsesi” ekonomi-politik bagi Erick dan momentum untuk memperkaya reputasi jika setia untuk menyokong Prabowo hingga menang nantinya. 

Kedua, manuver itu kemungkian berawal dari para loyalisnya yang kemungkinan kecewa, reputasinya tercoreng, dan ingin melakukan revenge politik karena “gagal” mengantarkan Erick menjadi cawapres. 

Selain itu, dengan gagalnya Erick menjadi cawapres Prabowo, “upgrade” portofolio dan keuntungan yang mereka dapat saat naik kelas ke Istana, seketika tertutup rapat dengan pencawapresan Gibran. 

Ketiga, terdapat pula kemungkiann penunggang eksternal dalam elemen loyalis Erick, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang ingin mengacaukan duet Prabowo-Gibran dari dalam. 

Yang jelas, PartaiSocmed menyebut bahwa manuver Erick, Arya, dan para aktor maupun loyalis binaan mereka telah terdeteksi dan diketahui, bahkan oleh Presiden Jokowi. 

Ihwal inilah yang membuat esensi menahan diri dan mengubah sikap penting untuk dilakukan Erick, Arya, dan para loyalisnya. 

Selain karena secara ideal dapat mengurangi potensi gesekan sosiopolitik, memberikan sikap yang jelas dan tak menjadi musuh dalam selimut juga lebih menguntungkan bagi Erick. 

Saat menang, dukungan elegan yang bisa dilakukan Erick, baik di dalam maupun di luar tim pemenangan bisa saja membuat kepentingannya dapat tetap terakomodasi di periode pemerintahan ke depan. 

Kendatipun kalah, Erick yang tak terafiliasi politik secara langsung dengan parpol bisa saja mengalihkan dukungan dan mendapat porsi tertentu dari kekuasaan. 

Oleh karena itu, akan sangat menarik untuk menantikan keberpihakan pasti Erick di Pilpres 2024 dan pergerakan para loyalisnya, baik di ruang digital maupun ruang politik konkret Indonesia. (J61) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

More Stories

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?