HomeNalar PolitikMungkinkah “Mengeringkan Lahan Basah” Kemenkeu?

Mungkinkah “Mengeringkan Lahan Basah” Kemenkeu?

Suara minor kembali tersorot pada jajaran “lahan basah” di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Salah satunya adalah kisah tentang Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang diperlakukan buruk bahkan dipalak oleh oknum petugas di bandara. Lalu, mungkinkah “lahan basah” itu “dikeringkan”? 


PinterPolitik.com 

Jajaran di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bertubi-tubi dilanda sentimen minor. Terbaru dan yang cukup ironis, isu perlakuan buruk terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) termasuk tenaga kerja wanita (TKW) – kini disebut Pekerja Migran Indonesia (PMI) – bermunculan. 

Semua berawal dari Twitter saat akun Rudi Valinka (@kurawa) mengomentari viralnya kasus Fatimah Zahratunnisa sepulang dari Jepang dan memenangkan lomba. Diketahui, piala hasil menang perlombaannya itu kemudian dikenai pajak sebesar Rp4 juta di bandara. 

Tweet itu kemudian memantik respons dari akun Edward Lukito (@Edwardlukito) yang menyebut pernah menyaksikan rombongan PMI dipalak oknum di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta). 

Menariknya, Alissa Wahid, putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur turut menceritakan pengalaman relate serupa. 

Sepulang konferensi di Taiwan, Alissa menyebut dirinya sempat dikira PMI oleh petugas bandara dan mendapat perlakuan intimidatif. Dirinya mengaku dicecar pertanyaan seperti “kamu pulang kerja ya di Taiwan?, “Bawa apa aja?”, hingga kopernya dibuka dengan gestur kurang baik. 

Hingga Rabu (29/3) siang, cuitan Alissa telah dilihat 4,7 juta kali dengan respons cerita berbagai macam perlakuan buruk terhadap PMI, termasuk aksi pungutan liar (pungli) atau “pemalakan” dari para oknum petugas di bandara. 

lagi lagi sri mulyani

Memang, case perlakuan tak menyenangkan kepada PMI di bandara maupun pelabuhan tidak hanya melibatkan jajaran di bawah Kemenkeu saja. 

Selain Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai, terdapat Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), hingga pihak Aviation Security (Avsec) yang turut menjadi sorotan. 

Akan tetapi, momentum sorotan tajam pasca viralnya harta pegawai Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo membuat dugaan maupun rahasia umum soal eksistensi “lahan basah” lain di jajaran Kemenkeu, khususnya yang terkait PMI mengemuka. 

Berkaca dari kontribusi PMI sebagai salah satu penyumbang devisa negara, menjadi logis kiranya untuk memberikan tinjauan kritis atas berbagai kasus dan “rahasia umum” yang kembali mengemuka. 

Sebagai catatan, PMI menjadi penyumbang devisa terbesar kedua setelah sektor minyak dan gas (migas), yakni sebesar Rp149,5 triliun pada tahun 2022 lalu. 

Lalu pertanyaannya, mengapa terjadi fenomena serta stigma tertentu dari oknum petugas bahwa PMI bisa “dipalak” atau diberikan perlakuan buruk? Serta, lebih jauh lagi, mungkinkah rahasia umum serta “lahan basah” itu “dikeringkan”? 

Baca juga :  Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Patologi Relasi Kuasa? 

Pada tahun 2014 silam, terkuaknya kasus pungli kepada para PMI di Bandara Soetta pernah mengemuka. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat itu Bambang Widjojanto mengatakan para oknum yang melakukan pemalakan bahkan bisa menikmati Rp 325 miliar per tahunnya. 

Selain pungli, bentuk pemerasan yang dilakukan oknum antara lain dengan memaksa para PMI untuk menukarkan mata uang asing dengan harga yang murah, biaya transportasi, hingga tambahan biaya-biaya lain yang tak masuk aturan seperti pengeluaran barang dari pesawat. 

Praktisi dan pengamat hukum Prasetyo Singgih turut menaruh perhatian besar atas kisah kasus kurang menyenangkan terhadap para PMI yang muncul pasca kesaksian Alissa Wahid. 

infografis siapa oknum palak pekerja migran 2

Menurut Pras, sapaan akrab Prasetyo, jika semua cerita itu benar, pungli kepada para PMI merupakan hal yang sangat memalukan. Dirinya juga mengatakan bahwa reformasi hukum, reformasi institusional, dan kebijakan di bidang ketenagakerjaan terbukti belum efektif. 

Pras yang menempuh pendidikan di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) pada tahun 2010 itu juga melihat secara komprehensif apa yang terjadi di balik fenomena pemalakan kepada para PMI, yang mana penyebabnya dapat dipicu hal yang bisa saling terkait. 

Mulai dari ketidakpastian hukum dan tidak konsistennya pelayanan publik selama ini, lemahnya sistem pengawasan, faktor kultural atau budaya organisasi, aspek keserakahan akibat faktor sosial, hingga penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. 

Poin terakhir dilihat Pras sebagai ketimpangan relasi kuasa di balik fenomena jamaknya cerita dan kasus pungli kepada PMI oleh oknum petugas bandara. 

Kecenderungan itu selaras dengan apa yang dikemukakan Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan dalam buku berjudul Power and Society yang mengatakan kekuasaan adalah suatu hubungan dimana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain. 

Sayangnya, selain dapat memiliki arti positif dalam konteks kepatuhan institusional terhadap aturan tertentu, ketimpangan relasi kuasa di antara satu aktor dengan aktor lain juga dapat terjadi, utamanya ketika disalahgunakan demi kepentingan tertentu. 

Ketimpangan relasi kuasa sendiri terjadi ketika “pelaku” merasa memiliki posisi yang lebih dominan daripada “korban”. Inilah yang kiranya terjadi dari dugaan kasus pungli kepada para PMI oleh oknum petugas yang memiliki “kuasa”. 

Baca juga :  Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

Menurut Pras, secara institusi, Kemenkeu, Kemenkumham, hingga stakeholder pengelola bandara kiranya harus tegas mengambil tindakan untuk menyudahi praktik buruk semacam itu. 

Dengan kata lain, “lahan basah” yang selama ini digarap para oknum petugas dan pejabat agaknya memang harus “dikeringkan”. 

Lantas, mungkinkah hal itu dilakukan? 

infografis melacak harta rafael alun trisambodo

Sangat Mungkin “Dikeringkan”? 

Dalam analisis Prasetyo Singgih, pembenahan berdasarkan pendekatan dari hulu ke hilir secara komprehensif wajib dilakukan untuk menghentikan praktik pungli atau pemalakan kepada para PMI sebagai salah satu “lahan basah” bagi para oknum. 

Istilah “lahan basah” di Indonesia sendiri menjadi ungkapan satir yang merujuk pada ekosistem lembaga dan institusi dengan celah bagi para pegawainya untuk melakukan praktik penyalahgunaan wewenang demi keuntungan finansial. 

Tak hanya jajaran di bawah Kemenkeu seperti Bea dan Cukai – termasuk Pajak yang tengah menjadi sorotan – reformasi institusional dinilai wajib pula dilakukan pihak Imigrasi, pihak pengelola bandara, hingga stakeholder lainnya seperti para aparat. 

Lalu, bagaimana cara mengeringkan “lahan basah” itu? 

Tak bisa dipungkiri, perubahan 100 persen praktik bersih di ekosistem birokrasi dan pelayanan di mana terdapat celah pungli, suap sebagai “pelicin”, maupun “pemalakan” di dalamnya cukup sulit untuk terjadi secara instan. 

Mencegah pungli yang merupakan bagian dari praktik rasuah tampaknya dapat dilakukan dengan menelusuri dan berkaca dari pemantiknya. 

Mengacu Donald R. Cressey dalam Fraud Triangle Theory, yang dilengkapi dengan GONE Theory dari Jack Bologne, faktor seperti pressure (tekanan), opportunity (peluang), rationalization (pembenaran), greed (keserakahan), opportunity (peluang), need (kebutuhan), dan exposes (hukuman yang rendah) harus ditutup. 

Intinya, diperlukan aktualisasi konkret dari semua pihak yang berwenang dan berkepentingan untuk membalikkan faktor pemantik pungli kepada para PMI. 

Di hulu, pungli kepada para PMI, misalnya, harus dikategorikan kejahatan serius dan tak sekadar diberi predikat sebagai kejahatan jabatan atau occupational crime maupun maladministrasi semata. 

Mulai dari menjamin kepastian hukum dan pelayanan yang tak diskriminatif, membangun kesadaran dan kultur moral pegawai serta institusi, pengawasan internal lembaga maupun institusi yang ketat dan konsisten, dan membuka saluran pengaduan yang menjamin hak korban. 

Menindak secara tegas pelaku pungli seperti langsung diganjar pemecatan dengan tidak hormat juga kiranya dapat menjadi upaya preventif sekaligus sampel untuk mencegah praktik kotor itu terus berulang atau bahkan dinormalisasi. (J61) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Jebakan di Balik Upaya Prabowo Tambah Kursi Menteri Jadi 40

Narasi revisi Undang-Undang Kementerian Negara jadi salah satu yang dibahas beberapa waktu terakhir.

Rekonsiliasi Terjadi Hanya Bila Megawati Diganti? 

Wacana rekonsiliasi Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto dan Joko Widodo (Jokowi) mulai melempem. Akankah rekonsiliasi terjadi di era Megawati? 

Mengapa TikTok Penting untuk Palestina?

Dari platform media sosial (medsos) yang hanya dikenal sebagai wadah video joget, kini TikTok punya peran krusial terkait konflik Palestina-Israel.

Alasan Sebenarnya Amerika Sulit Ditaklukkan

Sudah hampir seratus tahun Amerika Serikat (AS) menjadi negara terkuat di dunia. Mengapa sangat sulit bagi negara-negara lain untuk saingi AS? 

Rahasia Besar Presidential Club Prabowo?

Presiden ke-8 RI Prabowo Subianto disebut menggagas wadah komunikasi presiden terdahulu dengan tajuk “Presidential Club”. Kendati menuai kontra karena dianggap elitis dan hanya gimik semata, wadah itu disebut sebagai aktualisasi simbol persatuan dan keberlanjutan. Saat ditelaah, kiranya memang terdapat skenario tertentu yang eksis di balik kemunculan wacana tersebut.

Apa Siasat Luhut di Kewarganegaran Ganda?

Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengusulkan agar kewarganegaraan ganda untuk diaspora Indonesia diperbolehkan. Apa rugi dan untungnya?

Budi Gunawan Menuju Menteri Prabowo?

Dengarkan artikel ini: Nama Kepala BIN Budi Gunawan disebut-sebut sebagai salah satu kandidat calon menteri yang “dititipkan” Presiden Jokowi kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Hal...

Bukan Teruskan Jokowi, Prabowo Perlu Beda?

Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto selalu sebut akan lanjutkan program-program Presiden Jokowi, Namun, haruskah demikian? Perlukah beda?

More Stories

Rahasia Besar Presidential Club Prabowo?

Presiden ke-8 RI Prabowo Subianto disebut menggagas wadah komunikasi presiden terdahulu dengan tajuk “Presidential Club”. Kendati menuai kontra karena dianggap elitis dan hanya gimik semata, wadah itu disebut sebagai aktualisasi simbol persatuan dan keberlanjutan. Saat ditelaah, kiranya memang terdapat skenario tertentu yang eksis di balik kemunculan wacana tersebut.

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?