HomeNalar PolitikMungkinkah Jokowi-Prabowo Ubah UUD 1945?

Mungkinkah Jokowi-Prabowo Ubah UUD 1945?

Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari menyebut adanya skenario Jokowi-Prabowo untuk maju di Pilpres 2024. Untuk mewujudkan skenario ini, maka amendemen UUD 1945 diperlukan. Apakah Jokowi dan Prabowo memiliki modal politik yang cukup untuk melakukan amendemen? Jika tidak, mengapa isu ini bergulir?


PinterPolitik.com

Ada yang menarik di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di periode kedua ini. Sejak tahun pertama pemerintahannya, berbagai kandidat yang akan maju di Pilpres 2024 sudah hilir mudik mencuat di berbagai pemberitaan media.

Dari kubu partai politik (parpol) petahana, yakni PDIP, misalnya, ada nama Ketua DPR Puan Maharani, Gubenur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, hingga Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.

Lalu, ada pula nama Sandiaga Uno dan Prabowo Subianto dari Partai Gerindra, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari Partai Demokrat, dan Airlangga Hartarto dari Partai Golkar. Sementara dari kubu non-parpol alias independen, ada dua nama besar, yakni Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK).

Nah menariknya, baru-baru ini Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari memberikan pernyataan menarik. Menurutnya, terdapat dua kemungkinan luar biasa (ekstrem) di Pilpres 2024. Kemungkinan pertama, Jokowi dapat maju untuk yang ketiga kalinya dengan didampingi Prabowo.

Skenario itu disebut untuk menciptakan stabilitas politik, khususnya menghindari polarisasi ekstrem cebong-kampret seperti di Pilpres 2019. Jokowi dan Prabowo disebut sebagai representasi dari dua kelompok tersebut.

Konteksnya menjadi menarik karena skenario ini memerlukan amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 agar Jokowi yang telah menjabat dua kali dapat maju kembali di gelaran Pilpres.

Baca Juga: Di Balik Wacana Jokowi Tiga Periode

Sementara kemungkinan kedua, Prabowo akan maju dengan wakil yang berasal dari PDIP. Mengenai yang keduanya, sekiranya itu tidak mengejutkan karena isu Prabowo-Puan sudah telah lama berembus.

Namun, beda halnya dengan skenario pertama. Katakanlah skenario itu benar-benar dijalankan, mungkinkah itu dapat terwujud? Cukupkah modal politik Jokowi dan Prabowo untuk melakukan amendemen UUD 1945?

Kisah Xi dan Erdoğan

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu menengok kasus pemimpin negara yang memiliki modal politik besar sehingga mampu mengubah konstitusi negaranya. Setidaknya kita dapat melihat dua contoh, yakni Xi Jinping di Tiongkok dan Recep Tayyip Erdoğan di Turki.

Tidak seperti amendemen di Indonesia yang dimotori atas dasar kesepakatan parpol dan lembaga negara, amendemen di Tiongkok dan Turki disebut-sebut terjadi karena besarnya pengaruh kedua pemimpin tersebut.

Konteks tersebut misalnya disorot oleh BBC News ketika membahas apa yang dilakukan Xi di Tiongkok.Mengutip analisis Stephen McDonell, Xi disebut telah mengumpulkan kekuatan politik besar yang sebelumnya belum pernah terlihat sejak era Mao Zedong. Menariknya, kendati merupakan negara otoriter, konstitusi Tiongkok nyatanya telah mengatur pembatasan jabatan Presiden hanya dua periode sejak tahun 1990-an.

Sebelum berhasil mengubah konstitusi untuk menghapus aturan batasan jabatan Presiden pada 2018 lalu, Xi juga telah berhasil memasukkan nama dan pemikirannya (Xi Jinping Thought) ke dalam konstitusi, yang mana ini menempatkannya setara dengan pendiri Tiongkok, Mao Zedong.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Jika Xi berhasil mengubah konstitusi bersama dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT), di Turki terdapat kisah sukses Erdoğan bersama dengan Justice and Development Party atau Adalet ve Kalkınma Partisi  (AKP).

Namun terdapat perbedaan mendasar terkait apa yang dilakukan oleh Xi dan Erdoğan. Jika Xi menghapus batasan masa jabatan, yang dilakukan Erdoğan adalah mengubah sistem pemerintahan dari parlementer menjadi presidensial.

Seperti yang diketahui, sebelumnya Erdoğan menjadi kepala pemerintahan Turki sebagai Perdana Menteri (PM) selama tiga periode pada 2003 hingga 2014. Dalam konstitusi Turki, PM hanya dapat dijabat sebanyak tiga periode. Artinya, itu membuat Erdoğan tidak dapat lagi maju sebagai PM, dan alhasil menjadi Presiden Turki pada 2014.

Baca Juga: Megawati Putar Kembali Demokrasi?

Namun pada 2017, Erdoğan bersama dengan AKP berhasil mengubah konstitusi dengan mengubah sistem pemerintahan menjadi presidensial dan kemudian menghapus posisi PM. Praktis, ini membuat Erdoğan kembali menjadi kepala pemerintahan Turki.

Dominique Soguel dalam tulisannya Turkey Constitutional Changes: What are They, How Did They Come about and How are They Different? menyebutkan keberhasilan Erdoğan mengubah konstitusi ini tidak terlepas dari momentum upaya kudeta pada 2016 dan adanya berbagai isu keamanan nasional. Kedua peristiwa tersebut kemudian memperkuat argumentasi agar Turki seharusnya memiliki presiden yang kuat dan lebih berpengaruh.

Bagaimana dengan Jokowi-Prabowo?

Nah sekarang pertanyaannya, apakah Jokowi dan Prabowo memiliki modal politik sebesar Xi dan Erdoğan sehingga mampu mengubah konstitusi?

Pertama-tama, kita perlu memetakan mengapa Xi dan Erdoğan berhasil melakukannya. Di sini, faktornya sekiranya jelas, yakni keduanya berkuasa atas parpol yang memiliki pengaruh dominan. Terlebih pada kasus Xi, PKT adalah partai penguasa tunggal di Tiongkok.

Sekarang, apakah Jokowi dan Prabowo memiliki itu? Pada kasus Prabowo, mungkin sedikit mendekati karena Ia merupakan Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra. Namun masalahnya, partai kepala garuda bukanlah partai dominan.

Pun begitu dengan Jokowi. Kendati PDIP saat ini merupakan partai dominan, Ia bukanlah Ketum parpol seperti halnya Prabowo. Selain itu, PDIP juga tidak memiliki pengaruh sebesar PKT dan AKP.

Faktor yang lebih penting lagi adalah, beda dengan Xi dan Erdoğan yang terang-terangan berambisi untuk mengganti konstitusi, Jokowi secara terbuka membantah bahwa dirinya ingin menjabat untuk yang ketiga kalinya.  Apalagi, Jokowi bahkan menyebut wacana amendemen seperti membuka “kotak pandora”.

Prabowo juga sekiranya sama. Selaku saksi hidup pemerintahan Orde Baru, mantan Danjen Kopassus tersebut tentu begitu paham urgensi dari pembatasan masa jabatan Presiden.

Lalu, sekalipun katakanlah Jokowi dan Prabowo berkeinginan untuk mengubah konstitusi, mereka perlu untuk mencari dukungan parpol-parpol besar lainnya. Itu tentunya adalah pekerjaan yang sulit. Parpol-parpol tersebut tentunya ingin mengusung calon lain, baik untuk melakukan regenerasi kepemimpinan, maupun sebagai upaya menjaga semangat reformasi.

Baca juga :  Rahasia Rotasi Para Jenderal Prabowo

Hanya Angin Lalu?

Jika fakta politik menyebutkan kemungkinan amendemen seperti itu tidak mungkin, lantas mengapa narasi itu mencuat?

Menariknya, bukan kali ini saja isu periode ketiga menimpa Jokowi. Pada November tahun lalu, pengamat intelijen Suhendra Hadikuntono juga mengeluarkan wacana amendemen untuk mengubah Pasal 7 agar Jokowi dapat dipilih kembali pada Pilpres 2024.

Sebelumnya, Sekjen Partai Nasdem, Johnny G. Plate juga disebut memberikan usul agar pembahasan masa jabatan presiden semestinya menjadi salah satu isu yang dibahas MPR dalam rangka melakukan amendemen terhadap UUD 1945.

Baca Juga: Siasat Nasdem di Balik Jokowi 3 Periode?

Namun, setelah adanya berbagai penolakan, partai besutan Surya Paloh ini memberi klarifikasi bahwa usulan tersebut tidak berasal dari mereka dan juga membantah usulan ditujukan kepada Jokowi.

Sekarang pertanyaannya, mengapa usulan tiga periode ini terus naik ke permukaan, meskipun Jokowi sendiri telah memberi bantahan keras?

Ada beberapa kemungkinan yang dapat dipikirkan. Pertama, seperti yang disebutkan oleh politikus PKS, Muhammad Nasir Djamil ketika mengomentari isu ini tahun lalu, isu ini tampaknya adalah testing the water alias “cek ombak”. Ini semata-mata ditujukan untuk melihat dan memetakan reaksi publik.

Kedua, ini mungkin ditujukan untuk menaikkan popularitas Jokowi dan Prabowo. Sebagaimana diketahui, sejak tahun lalu kandidat-kandidat yang akan diusung di Pilpres 2024 sudah mulai dihembuskan ke publik. Sedikit tidaknya, ini membuat publik untuk menggeser perhatiannya kepada kandidat-kandidat tersebut.

Ketiga, mungkin terdapat usaha untuk mendiskreditkan Jokowi. Konteksnya dapat kita lihat pada kasus wacana yang dikeluarkan Nasdem, meskipun belakangan dibantahnya. Pada saat itu kita mengetahui hubungan Jokowi dengan Nasdem tengah mengalami turbulensi.

Bagaimana tidak? Nasdem justru bertemu dengan PKS, mendekati Anies Baswedan, hingga berujar dapat menjadi oposisi pemerintahan. Ini disebut-sebut karena Nasdem tidak begitu setuju dengan kebijakan Jokowi yang memasukkan Prabowo ke kabinet, maupun adanya jatah kursi yang tidak sesuai dengan keinginan.

Apalagi, Jokowi juga berkomentar keras atas isu periode ketiga waktu itu. Mantan Wali Kota Solo ini bahkan menyebut isu tersebut seperti ingin menampar mukanya hingga menyebut terdapat pihak tertentu yang sedang mencari muka ataupun ingin menjerumuskannya. 

Singkatnya, isu ini dapat dimainkan untuk melabeli Jokowi bahwa dirinya kontra dengan semangat reformasi. Ini tentu adalah kemungkinan ekstrem.

Keempat, mungkin saja ini hanyalah efek samping dari pemberitaan media. Seperti yang diketahui, pernyataan itu dikeluarkan Qodari dalam suatu webinar. Ia mungkin saja tidak memaksudkan pernyataannya untuk menjadi headline pemberitaan media. Dengan kata lain, Ini mungkin hanyalah kejelian dari rekan-rekan media dalam membuat berita.

Kemungkinan manakah yang paling mungkin? Itu tergantung dari cara kita melihatnya. Namun, kemungkinan-kemungkinan lainnya tentu sangat terbuka untuk dimasukkan. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...