HomeNalar PolitikMenyibak Rasisme terhadap Natalius Pigai

Menyibak Rasisme terhadap Natalius Pigai

Baru-baru ini, politikus Partai Hanura sekaligus Ketua Umum PROJAMIN (Pro Jokowi Ma’ruf Amin) Ambroncius Nababan membuat status di media sosial yang berisi narasi rasis terhadap aktivis HAM Natalius Pigai. Lantas, mengapa rasisme ini terjadi dan terus berulang? Apakah rasisme adalah sesuatu yang alamiah?


PinterPolitik.com

At root, racism is ‘an ideology of racial domination’” – Matthew Clair dan Jeffrey S. Denis, dalam Sociology of Racism

Pada 2 Januari 2021, Permadi Arya atau yang lebih dikenal sebagai Abu Janda menulis cuitan rasis terhadap aktivis HAM Natalius Pigai. Saat itu, Abu Janda merespons silang pendapat antara Pigai dengan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Abdullah Mahmud Hendropriyono. Tidak  berhenti membandingkan kapasitas keduanya, Abu Janda juga mempertanyakan apakah Pigai sudah selesai evolusi atau tidak.

Saat itu, berbagai pihak merespons pernyataan rasis Abu Janda. Salah satunya adalah pengamat politik Rocky Gerung yang menyebut Abu Janda sebagai sosok yang tidak mampu berpikir dan tidak mengetahui evolusi pikiran.

Tidak berhenti di Abu Janda, baru-baru ini Pigai kembali menerima pernyataan rasis dari Ketua Umum PROJAMIN (Pro Jokowi Ma’ruf Amin) Ambroncius Nababan. Dalam unggahannya di media sosial, Ambroncius membandingkan foto Pigai dengan foto gorila dan disisipi narasi bahwa vaksin Pigai bukanlah Sinovac atau Pfizer melainkan vaksin rabies.

Baca Juga: Perang Vaksin AS-Tiongkok Bayangi Jokowi?

Tidak seperti kasus Abu Janda yang seolah berlalu begitu saja, pernyataan Ambroncius tersebut berbuah laporan yang dilakukan oleh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Papua Barat ke Polda Papua Barat. Terbaru, politisi Partai Hanura tersebut juga telah menyampaikan permintaan maafnya secara terbuka kepada Pigai dan masyarakat Papua. 

Di luar persoalan hukum yang akan bergulir terkait unggahan Ambroncius tersebut, menjadi penting untuk dipertanyakan mengapa kasus rasisme ini terus berulang?

Mengapa Rasisme Terjadi?

Benjamin P. Bowser dalam tulisannya Racism: Origin and Theory menjelaskan rasisme terjadi di tiga level, yaitu kultural, institusional, dan individual. Di level kultural, rasisme karena konstruksi budaya yang ada menciptakan kondisi tersebut. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, berhentinya perbudakan pada tahun 1865 yang melahirkan Black Codes menempatkan Black (kulit hitam) sebagai subordinat.

Sejak saat itu, rasisme terhadap kulit hitam diturunkan ke generasi berikutnya. Sampai saat ini kita mengenal White Supremacy (supremasi kulit putih). Aksi Black Lives Matter di AS beberapa waktu lalu adalah bukti konkretnya.

Di level institusional, rasisme juga ditunjang oleh institusi melalui sederet aturan hukum ataupun privilese tertentu yang hanya didapatkan oleh orang kulit putih atau ras tertentu. Di AS, misalnya, dulunya bahkan terdapat pemisahan antara toilet orang kulit hitam dengan kulit putih.

Peliknya, pada ranah yang paling radikal (dalam), yakni bahasa, kata ‘hitam’ atau ‘gelap’ kerap kali digunakan secara peyoratif. Contohnya, kita mengenal black magic (sihir hitam), kegelapan hati, ataupun black campaign (kampanye hitam).

Seperti yang diketahui, istilah-istilah tersebut dibakukan oleh institusi. Ini disebut dengan binary systems (sistem biner), yakni ‘putih’ diposisikan diametral dengan ‘hitam’.

Baca juga :  Biden ‘Setengah Hati’ Selamati Prabowo?

Sementara di level individual, rasisme terjadi karena setiap individu selalu memiliki prasangka (prejudices) dan stereotip yang didapatkannya melalui sosial.

Menariknya, Nathalia Gjersoe dalam tulisannya How Young Children Can Develop Racial Biases – And What That Means, mencoba membantah anggapan yang menyebutkan bayi tidak memiliki stereotip rasial. Menurutnya, pada usia tiga bulan, bayi lebih suka melihat gambar wajah dari ras mereka sendiri. Dan pada usia sembilan bulan, bayi mengenali lebih baik wajah dari ras mereka sendiri.

Pada perkembangannya, itu kemudian melahirkan bias yang disebut dengan ‘in-group’ dan ‘out-group’ dalam psikologi. Bias tersebut yang melahirkan perasaan menjadi bagian dari kelompok tertentu dan mampu membuat penilaian terdapat pihak yang tidak termasuk dalam kelompoknya.

Ketiga level tersebut tidak dimaksudkan Benjamin P. Bowser sebagai ihwal yang terjadi secara terpisah, melainkan terjadi secara bersamaan. Level individual misalnya, seperti dalam penekanan Nathalia Gjersoe, adalah buah dari kondisi sosial.

Dalam skala global, rasisme dapat dipahami sebagai buah dari kolonialisme bangsa Eropa. Saat itu, ketika mereka bertemu orang kulit hitam, seperti di Afrika, terdapat pertanyaan apakah orang Afrika merupakan manusia. Para penjajah Eropa kemudian menyebutnya sebagai sub-human, atau makhluk yang berada di antara hewan dan manusia. Mereka bukan hewan, tapi juga bukan manusia.

Human Zoo atau kebun binatang manusia yang sempat populer di AS pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 adalah bukti empiris asumsi sub-human tersebut. Saat itu, suku asli dari Afrika, Asia, dan Amerika Selatan dipamerkan dalam sebuah kandang.

Menurut antropolog Shoshi Parks, fenomena itu berasal dari pertunjukan sirkus di London, Inggris pada tahun 1770-an yang memiliki pertunjukan menampilkan ‘orang-orang aneh’. Tidak hanya menampilkan orang yang lahir dengan kecacatan fisik, melainkan juga suku-suku asli di luar Eropa.

Sejak saat itu, secara global terbentuk semacam hierarki, di mana Barat lebih baik dari Timur, dan kulit hitam berada di bawah kulit putih. Menariknya, supremasi kulit putih juga terjadi dalam cara kita memahami kecantikan, di mana ini umum kita temui di Indonesia.

Baca Juga: Di Balik Deportasi Kristen Gray

Roro Retno Wulan dalam tulisannya The Myth of White Skin: A Postcolonial Review of Cosmetics Ads in Indonesia secara spesifik merujuk pada industri kosmetik yang telah menciptakan mitos bahwa cantik itu harus berkulit putih. Ini disebut dengan East Asian beauty myth atau mitos kecantikan Asia Timur.

Menurutnya, konsep tersebut pada dasarnya berasal dari warisan kolonial yang dibawa sejak masa penjajahan Belanda. Menariknya, mitos kecantikan ini tidak hanya menciptakan stereotip bahwa putih itu lebih baik, melainkan juga Barat lebih baik dari Timur.

Rasisme Itu Alamiah?

Menariknya, terkait kemampuan bayi yang sedari awal mampu mengenali dan membedakan ras, Nathalia Gjersoe menyebutnya bukan sebagai rasisme, melainkan semata-mata sebagai proses perkembangan kemampuan kognitif dalam mengenali sesuatu.

Tidak seperti individu yang telah mampu memberikan prasangka atau penilaian negatif terhadap ras lain, bayi tidak memiliki kemampuan seperti itu. Konteks tersebut dapat lebih kita pahami melalui teori fenomenologi.

Baca juga :  Mayor Teddy, Regenerasi Jenderal Berprestasi?

Donny Gahral Adian dalam bukunya Pengantar Fenomenologi, dengan mengutip gagasan filsuf Jerman Edmund Husserl, menyebutkan bahwa apa yang membuat objek dapat kita berikan nilai adalah intensionalitas, yakni proses mengarahkan data yang telah kita miliki kepada objek. Tanpa adanya intensionalitas, kita hanya melihat objek sebagai ihwal kosong semata. Pada bayi, perkembangan kognitifnya belum sampai level mampu melakukan intensionalitas.  

Namun, pada tataran individu yang telah memiliki perkembangan kognisi yang cukup untuk melakukan intensionalitas, tidak serta merta membuatnya melakukan tindakan atau ujaran rasis ketika melakukan pembedaan. Pasalnya, dalam studi neurosains, mengenali perbedaan, seperti warna atau bentuk wajah, adalah konsekuensi logis dari fungsi bagian otak yang disebut lobus temporal, spesifiknya hippokampus.        

Kemudian, dari studi psikologi kognitif, kemampuan mengenali perbedaan disebut dengan contrast effect. Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly menyebutkan bahwa contrast effect adalah konsekuensi psikologis yang membuat individu bisa melakukan penilaian (judgement) karena perbedaan dapat dikenali.

Menurut Dobelli, tanpa contrast effect, trik marketing seperti diskon tidak mungkin dapat bekerja. Pasalnya, kita tidak dapat menilai apa bedanya benda sebelum dan setelah diberikan diskon. Oleh karenanya, persepsi atau penilaian bahwa barang menjadi lebih murah tidak akan terbentuk.

Mengacu pada penjelasan tersebut, Nathalia Gjersoe memberikan penekanan penting. Menurutnya, apa yang disebut sebagai rasisme adalah pembedaan yang diikuti oleh prasangka negatif. Misalnya, kita menyebut kulit putih sebagai orang malas.

Di sini, tulisan Matthew Clair dan Jeffrey S. Denis yang berjudul Sociology of Racism menjadi penting. Menurut mereka, akar rasisme adalah ideologi dominasi ras (an ideology of racial domination), di mana terdapat prasangka bahwa secara biologis dan kultural lebih superior dari ras lainnya. Kasus Nazi dengan narasi ras Arya-nya adalah contohnya.

Menurut Clair dan Denis, ras tidak hanya berkutat pada persoalan fisik, melainkan juga konstruksi sosial. Definisi tersebut menjelaskan mengapa kelompok dari ras biologis yang sama dapat tetap melakukan rasisme. Misalnya prasangka negatif terhadap suku lain di Indonesia.

Pada kasus terulangnya rasisme terhadap Natalius Pigai, kemungkinan besar terjadi prasangka superioritas ras tersebut. Pasalnya, berbeda dengan Indonesia bagian Barat yang merupakan Ras Melayu, Indonesia bagian Timur, khususnya Papua berasal dari Ras Melanesia.

Menariknya, pada 27 November 2020 lalu, Perdana Menteri Vanuatu Bob Loughman menggunakan argumentasi berbasis ras untuk mendukung kemerdekaan Papua. Tegasnya, Vanuatu sama dengan Papua yang berasal dari Ras Melanesia.

Baca Juga: Manuver Tiongkok di Balik Vanuatu?

Suka atau tidak, meskipun Ambroncius telah meminta maaf dan menyebut tidak ada niatan untuk menyakiti, unggahannya yang menyandingkan Pigai dengan Gorila jelas menunjukkan terdapat intensi superioritas ras, yang kemungkinan besar mengarah pada warna kulit dan bentuk wajah.

Pada akhirnya, tentu kita berharap bahwa kasus rasisme seperti ini tidak terulang. Kita perlu bijak untuk tidak menunjukkan supremasi ras di media sosial ataupun di tempat terbuka. (R53)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...