HomeNalar PolitikMengapa Jokowi Caper ke Biden?

Mengapa Jokowi Caper ke Biden?

Seri Pemikiran John Mearsheimer

Perhatian besar pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) terhadap Myanmar melalui upaya diplomasi bolak-balik (shuttle diplomacy) ditengarai bertujuan untuk mencari perhatian (caper) pemerintahan Biden. Mengapa Indonesia merasa perlu melakukan pendekatan serupa?


PinterPolitik.com

“I’ma leave the door open, hopin’ that you feel the way I feel and you want me like I want you tonight, baby” – Bruno Mars, penyanyi asal Amerika Serikat (AS)

Perasaan kasmaran merupakan perasaan yang biasa muncul ketika afeksi terhadap seseorang mulai tumbuh. Biasanya, berbagai upaya pun dilakukan untuk mendapatkan perhatian orang tersebut.

Mungkin, upaya-upaya seperti memberikan perhatian lebih, menyukai apa yang orang tersebut gemari, meluangkan waktu untuknya, dan sebagainya akan dilakukan guna mendapat perhatian orang tersebut. Upaya ini pada umumnya disebut sebagai upaya cari perhatian (caper).

Namun, upaya caper seperti ini tampaknya tidak hanya berlaku ketika perasaan kasmaran tumbuh di antara jiwa-jiwa muda, melainkan juga berlaku untuk hubungan antarnegara. Bagaimana tidak? Indonesia kini disebut tengah berusaha caper kepada pemerintahan Joe Biden di Amerika Serikat (AS).

Baca Juga: Jokowi dan Ancaman McCarthyism Joe Biden

Jokowi Caper ke Biden

Upaya ini disebut sejumlah ahli dilakukan melalui upaya diplomasi bolak-balik (shuttle diplomacy) yang tengah dijalankan oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi. Seperti yang diketahui bersama, Retno sejak bulan lalu mulai mengunjungi dan bertemu dengan sejumlah petinggi negara-negara Asia Tenggara, seperti Brunei, Singapura, Thailand, dan Myanmar sendiri.

Dengan sejumlah langkah diplomasi ini, seorang peneliti di International Institute for Strategic Studies – Aaron Connelly – menilai bahwa pemerintahan Jokowi tengah berusaha untuk memberikan kesan bahwa Indonesia turut mendukung penegakan nilai-nilai yang demokratis. Selain untuk menunjukkan citra serupa, Indonesia juga dinilai memiliki kepentingan strategis yang diharapkan dapat diakomodasi oleh AS.

Upaya pemerintah untuk menarik perhatian Biden ini mungkin juga terlihat dari bagaimana Jokowi beberapa kali mengucapkan selamat kepada mantan Wakil Presiden (Wapres) AS tersebut melalui akun-akun media sosialnya, yakni ketika Biden diumumkan menang berdasarkan perhitungan cepat pada Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2020 dan ketika dilantik pada Januari 2021 lalu.

Tentu saja, berbagai upaya caper ini bisa jadi menimbulkan sejumlah pertanyaan – mengingat selama ini pemerintahan Jokowi disebut-sebut lebih condong mendekat ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Lantas, mengapa kini pemerintahan Jokowi dianggap berusaha menciptakan citra tertentu di hadapan pemerintahan Biden di AS? Apakah sebenarnya kepentingan yang ingin dicapai oleh Indonesia?

Demi Tatanan Liberal?

Bukan tidak mungkin, adanya sedikit perubahan pada kebijakan luar negeri Indonesia akhir-akhir ini juga berkaitan dengan terpilihnya Biden sebagai presiden AS ke-46. Pasalnya, dengan sejumlah tim kebijakan luar negeri yang baru, mantan Wapres tersebut disinyalir akan menjalankan arah kebijakan yang berbeda dengan presiden sebelumnya, Donald Trump.

Dalam beberapa pidato, Biden menyebutkan bahwa, di bawah pemerintahannya, AS akan kembali mengambil peran penting dalam panggung politik internasional. Bahkan, mantan Wapres AS tersebut juga menekankan akan pentingnya nilai-nilai demokrasi untuk dijaga.

Bukan tidak mungkin, arah politik luar negeri Biden ini kembali mencerminkan apa yang disebut oleh John J. Mearsheimer – profesor politik di University of Chicago, AS – dalam tulisannya yang berjudul Bound to Fail sebagai tatanan dunia liberal (liberal international order). Tatanan dunia seperti ini biasa dibangun oleh negara hegemon untuk mengatur jalannya hubungan antarnegara di sekitarnya – apalagi di tengah anarki politik dunia yang membuat negara-negara merasa insecure terhadap kemungkinan-kemungkinan masa depan.

Baca juga :  Di Balik Operasi Semi Rahasia Kaesang?

Berbeda dengan tatanan dunia agnostik yang tengah dibangun oleh Tiongkok, tatanan dunia AS merupakan tatanan yang didasarkan pada nilai dan norma liberal – di mana prinsip seperti demokrasi, hak asasi manusia (HAM), dan kebebasan dijunjung tinggi. Salah satu contoh pengamalan dari tatanan dunia liberal ala AS ini bisa dilihat ketika AS di era pemerintahan George W. Bush dan Barack Obama menekankan penerapan demokrasi bagi negara-negara di kawasan Timur Tengah – seperti Libya dan Suriah.

Baca Juga: Diplomatic Game, Menlu Retno Butuh Biden?

Bukan tidak mungkin, prinsip dan nilai ini menjadi salah satu penentu bagi AS dalam menentukan arah hubungannya dengan negara-negara lain. Mungkin, akan muncul sebuah pembedaan antara kelompok negara demokrasi dan kelompok negara otokrasi dalam dinamika politik luar negeri ke depan.

Hal ini mulai terlihat dari bagaimana pemerintahan Biden dengan negara-negara Asia dan Pasifik yang didasarkan pada prinsip demokrasi itu. Beberapa waktu lalu, misalnya, Menlu AS Anthony Blinken dan Menteri Pertahanan (Menhan) Lloyd Austin melakukan kunjungan ke negara-negara Asia yang menganut demokrasi – seperti Korea Selatan (Korsel) dan Jepang.

Bisa jadi, inilah alasannya mengapa pemerintahan Jokowi mulai mencari perhatian dan menciptakan kesan tersebut terhadap pemerintahan Biden. Dengan mencitrakan diri sebagai negara demokratis, pemerintah Indonesia bisa jadi berusaha memiliki kekuatan lunak (soft power) terhadap AS.

Seperti yang apa yang dijelaskan oleh Joseph S. Nye Jr. dalam bukunya yang berjudul Soft Power, konsep kekuatan lunak ini bisa didefinisikan sebagai kemampuan untuk membuat negara lain memiliki kemauan yang sama dengan negara pemilik kemampuan terssebut. Biasanya, soft power ini bersumber pada budaya, nilai, dan corak kebijakan.

Bisa jadi, dengan mendorong Myanmar untuk menyelesaikan persoalan tanpa menggunakan kekerasan, Indonesia berharap agar pemerintahan Biden mau menjadikan negara kepulauan terbesar di dunia itu untuk menjadi salah satu negara yang dianggap berada dalam tatanan dunia liberal. Apalagi, ini bisa juga sejalan dengan kepentingan strategis Indonesia yang harus menghadapi Tiongkok yang mulai merongrong zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang berlokasi di Laut Natuna Utara – atau Laut China Selatan (LCS).

Guna mewujudkannya, bisa jadi Jokowi membutuhkan suara seluruh negara ASEAN. Upaya untuk menyatukan ASEAN ini boleh jadi juga menjadi cara untuk membuktikan kepada pemerintahan Biden bahwa Indonesia lah yang layak untuk menjadi hegemon kawasan yang disokong oleh AS yang bisa berperan sebagai penjaga malam (night watchman).

Konsep penjaga malam ini juga sempat dijelaskan oleh Mearsheimer. Profesor yang terkenal dengan konsep neorealisme ofensif itu menjelaskan bahwa penjaga malam merupakan sebuah negara dengan pengaruh yang besar secara global sehingga bisa memengaruhi dinamika di kawasan yang bukan tempatnya. Dalam hal ini, AS kerap disebut sebagai penjaga malam bagi kawasan Eropa Barat.

Baca juga :  Djarot Jadi the Next Hasto?

Namun, benarkah demikian? Apakah Jokowi akan dengan mudah membawa Indonesia mengarah pada kepentingan AS yang kini tengah berada dalam suatu Perang Dingin baru dengan Tiongkok?

Strategi Jokowi Sebenarnya?

Meski begitu, bukan tidak mungkin Jokowi akan mempertimbangkan kembali bila membiarkan pengaruh AS masuk sepenuhnya ke Indonesia. Pasalnya, kemungkinan tersebut bisa jadi justru tidak sejalan dengan corak politik luar negeri yang biasa dijalankan oleh pemerintahan Jokowi.

Seperti apa yang dijelaskan oleh banyak ahli dan pengamat – seperti Ben Bland dan Ralf Emmers, Jokowi memiliki arah politik luar negeri yang pragmatis. Mantan Wali Kota Solo tersebut justru dinilai lebih menjadikan kebijakan luar negeri sebagai instrumen untuk memenuhi kepentingan domestiknya – dalam hal ini adalah pembangunan infrastruktur dan peningkatan ekonomi.

Baca Juga: Menelisik Ekuivalensi Jokowi dan Joe Biden

Xi Biden Mau Rujuk

Bisa jadi, dengan kehadiran Tiongkok di Indonesia yang cukup dalam di bidang perdagangan dan investasi, kepentingan ini pun terpenuhi. Meski begitu, dimensi dalam politik luar negeri bukanlah hanya soal ekonomi, melainkan juga terkait dengan pertahanan dan keamanan. Di sinilah peran AS mungkin dapat sejalan dengan kepentingan Indonesia.

Meski begitu, dengan membiarkan AS masuk sepenuhnya dan “mendikte”, bisa juga membuat banyak kepentingan Indonesia lainnya terancam. Justru, jalan keluar yang akan dipilih oleh Jokowi adalah dengan menyeimbangkan pengaruh AS dan Tiongkok.

Seperti apa yang biasa diasumsikan oleh tradisi realis, balance of power (keseimbangan kekuatan) akan menciptakan kompetisi antarnegara yang membuat perdamaian lebih memungkinkan. Mungkin, dengan keseimbangan kekuatan antara AS dan Tiongkok di ASEAN, Jokowi bisa sekaligus mendapatkan dua manfaat, yakni manfaat ekonomi dari Tiongkok dan manfaat keamanan dari AS.

Walaupun upaya untuk menyeimbangkan kekuatan antara AS dan Tiongkok ini terdengar seperti mimpi yang indah, kemungkinan ini bukan tidak mungkin akan menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintahan Jokowi. Pasalnya, bagaimana pun, Indonesia bisa saja kewalahan menjaga keseimbangan ini.

Bila salah satu pihak membuat timbangan kekuatan berat sebelah, bukan tidak mungkin instabilitas kawasan akan terjadi kembali. Padahal, stabilitas kawasan ASEAN adalah hal yang selama ini menjaga pertumbuhan ekonomi dan perdagangan bagi negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Dalam persoalan perdagangan, misalnya, Indonesia mendapatkan manfaat yang cukup besar berupa surplus neraca perdagangan dengan AS, yakni sebesar USD 12,4 miliar (sekitar Rp 173,6 triliun). AS bisa saja suatu saat menekan pemerintahan Jokowi dengan menghapuskan manfaat Generalized System of Preferences (GSP) yang selama ini diberikan kepada Indonesia.

Bukan tidak mungkin, dengan berbagai risiko kemungkinan terjadinya berat sebelah keseimbangan kekuatan tersebut, masih sulit untuk menebak bagaimana Jokowi akan benar-benar mendekati pemerintahan Biden di AS. Yang jelas, isu Myanmar ini menjadi momentum yang tepat bagi pemerintahan Jokowi untuk membawa Tiongkok dan AS kepada isu yang sama guna menyamakan persepsi soal geopolitik kawasan di Asia dan Pasifik. (A43)

Baca Juga: Bisakah Biden “Bujuk” Jokowi?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Tarung 3 Parpol Raksasa di Pilkada

Pilkada Serentak 2024 menjadi medan pertarungan sengit bagi tiga partai politik besar di Indonesia: PDIP, Golkar, dan Gerindra.

RK Effect Bikin Jabar ‘Skakmat’?�

Hingga kini belum ada yang tahu secara pasti apakah Ridwan Kamil (RK) akan dimajukan sebagai calon gubernur (cagub) Jakarta atau Jawa Barat (Jabar). Kira-kira...

Kamala Harris, Pion dari Biden?

Presiden ke-46 Amerika Serikat (AS) Joe Biden telah memutuskan mundur dari Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2024 dan memutuskan untuk mendukung Kamala Harris sebagai calon...

Siasat Demokrat Pepet Gerindra di Pilkada?

Partai Demokrat tampak memainkan manuver unik di Pilkada 2024, khususnya di wilayah-wilayah kunci dengan intrik tarik-menarik kepentingan parpol di kubu pemenang Pilpres, Koalisi Indonesia Maju (KIM). Lantas, mengapa Partai Demokrat melakukan itu dan bagaimana manuver mereka dapat mewarnai dinamika politik daerah yang berpotensi merambah hingga nasional serta Pilpres 2029 nantinya?

Puan-Kaesang, ‘Rekonsiliasi’ Jokowi-Megawati?

Ketua Umum (Ketum) PSI Kaesang Pangarep diwacanakan untuk segera bertemu dengan Ketua DPP PDIP Puan Maharani. Mungkinkah akan ada rekonsiliasi antara Presiden Joko Widodo...

Alasan Banyaknya Populasi Asia

Dengarkan artikel berikut Negara-negara Asia memiliki populasi manusia yang begitu banyak. Beberapa orang bahkan mengatakan proyeksi populasi negara Asia yang begitu besar di masa depan...

Rasuah, Mustahil PDIP Jadi “Medioker”?

Setelah Wali Kota Semarang yang juga politisi PDIP, Hevearita Gunaryanti Rahayu ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), plus, Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto yang masih menjalani proses hukum sebagai saksi di KPK dan Polda Metro Jaya, PDIP agaknya akan mengulangi apa yang terjadi ke Partai Demokrat setelah tak lagi berkuasa. Benarkah demikian?

Trump dan Bayangan Kelam Kaisar Palpatine�

Percobaan penembakan yang melibatkan kandidat Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump (13/7/2024), masih menyisakan beberapa pertanyaan besar. Salah satunya analisis dampaknya ke pemerintahan Trump jika nantinya ia terpilih jadi presiden. Analogi Kaisar Palpatine dari seri film Star Wars masuk jadi salah satu hipotesisnya.�

More Stories

Kamala Harris, Pion dari Biden?

Presiden ke-46 Amerika Serikat (AS) Joe Biden telah memutuskan mundur dari Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2024 dan memutuskan untuk mendukung Kamala Harris sebagai calon...

Puan-Kaesang, ‘Rekonsiliasi’ Jokowi-Megawati?

Ketua Umum (Ketum) PSI Kaesang Pangarep diwacanakan untuk segera bertemu dengan Ketua DPP PDIP Puan Maharani. Mungkinkah akan ada rekonsiliasi antara Presiden Joko Widodo...

Trump Ditembak, Ngefek ke Prabowo?

Upaya penembakan Donald Trump bisa berujung pada tumbangnya Joe Biden? Apa efeknya ke pemerintahan Prabowo Subianto ke depannya?