HomeNalar PolitikMembedah Kenaikan Cukai Rokok

Membedah Kenaikan Cukai Rokok

Pemerintah akhirnya merealisasikan kenaikan tarif cukai rokok menjadi 23 persen dari tahun sebelumnya yang hanya 10,04 persen. Kebijakan tersebut resmi diberlakukan mulai 1 Januari 2020.


PinterPolitik.com

Keputusan pemeritah tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 152/PMK.010/2019 tentang perubahan kedua atas PMK 146/PMK.010/2017 tentang tarif cukai hasil tembakau.

Sebelum beleid tersebut diputuskan, banyak aliansi pro tembakau Indonesia melayangkan kritik terhadap pemerintah karena menilai kebijakan tersebut merugikan para petani tembakau.

Menurut Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Agus Parmuji, banyak petani merasa keberatan atas kenaikan cukai rokok yang terlalu tinggi. Hal itu dianggap dapat memberikan dampak buruk bagi petani tembakau.

Sementara itu, alasan pemerintah menaikkan cukai rokok tak lain agar tren konsumsi rokok yang terus mengalami peningkatakan, bahkan menyasar ke remaja dan perempuan, dapat ditekan. Selain itu, pemerintah juga beralasan kenaikan tersebut merupakan bagian dari komitmen terhadap penataan industri rokok dalam negeri serta untuk kepentingan negara.

Jika dicermati, sepanjang 5 tahun terakhir, kebijakan tarif cukai rokok sempat mengalami pasang-surut. Sebagai contoh, di 2015, pemerintah menetapkan kenaikan cukai rokok sebesar 8,72 persen. Tarif tersebut melonjak 11,19 persen di 2016. Sempat hanya melonjak 10,54 persen pada 2017 serta 10,04 persen pada 2018 dan 2019. Akhirnya para penikmat rokok harus mewanti-wanti dompetnya saat tarif cukai rokok dinaikkan hingga 23 persen pada 2020.

Kenaikan di tahun 2020 ini memang mencapai 2 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan demikian, bisa dikatakan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru mulai serius mendorong kebijakan cukai rokok di periode kedua masa kepemimpinannya.

Pertanyaannya, apa yang dapat dimaknai di balik kenaikan drastis cukai rokok di tengah smoking culture atau budaya merokok yang sudah cukup mengakar di Indonesia?

Tepatkah Cukai Rokok Dinaikkan?

Jika dibandingkan negara lain, kebijakan tarif cukai rokok di Indonesia masih tergolong rendah. Rendahnya cukai rokok membuat harga rokok di Indonesia menjadi murah. Coba bandingkan dengan Australia, untuk satu bungkus rokok rata-rata harga jualnya berkisar US$20,38 per bungkus atau setara Rp285 ribu.

Tak hanya Australia, negara dengan harga rokok termahal juga dijumpai di Selandia Baru, di mana harga rokok yang dijual umumnya di kisaran US$18,33 per bungkus atau setara Rp256 ribu. Selain itu, Irlandia juga termasuk salah satu negara dengan harga jual rokok termahal di dunia yakni sebesar US$13,32 per bungkusnya atau setara Rp186.500.

Dengan membandingkan harga rokok di ketiga negara tersebut, bisa dikatakan Indonesia termasuk salah satu negara di dunia yang masih mentolerir soal tarif rokok.

Dengan demikian, kenaikan tarif cukai rokok sebesar 23 persen yang ditetapkan pemerintah terbilang cukup akomodatif terhadap pengembangan industri rokok tanah air. Apalagi, kalau dilihat dari dampak yang ditimbulkan akibat konsumsi rokok, penerimaan negara yang diterima dari cukai rokok tidaklah seberapa.

Seperti diungkapkan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Siswanto, bahwa negara menanggung kerugian sebesar Rp 4.200 triliun atau setara sepertiga dari Produk Domestik Bruto (PDB) akibat penyakit yang disebabkan dari rokok. Ongkos kesehatan tersebut tidak sebanding dengan penerimaan cukai rokok.

Seperti terlihat, pemasukan dari cukai rokok pada 2015 sebesar Rp139,5 triliun. Angka itu hanya sedikit mengalami kenaikan pada tahun-tahun berikutnya, di mana pada 2016 sebesar Rp148,1 triliun, kemudian pada 2017, 2018, dan 2019 masing-masing menyumbang Rp149,9 triliun, Rp153 triliun, dan Rp125,02 triliun.

Apabila dikomparasikan antara ongkos yang ditanggung pemerintah akibat konsumsi rokok dengan sumbangan melalui cukai rokok memang sangat memberatkan. Idealnya, biaya kompensasi kesehatan yang diperoleh dari cukai rokok harus lebih besar. Hal itu agar dampak negatif yang ditimbulkan dapat ter-cover tanpa membebani negara.

Sayangnya, hal tersebut justru terbalik. Fungsi cukai yang tadinya dimaksudkan untuk menarik biaya kompensasi kepada para produsen atas barang-barang konsumsi yang dinilai memiliki dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan, justru tanggungan tersebut kembali dibebankan kepada negara.

Jadi, dalam konteks ini bisa dibilang pemerintah merugi dua kali. Pertama, menanggung kerugian akibat kerusakan lingkungan dan beban kesehatan masyarakat, dan yang kedua, harus menyediakan dana besar untuk menutupi dampak negatif tersebut.

Lantas, apakah kebijakan pemerintah menaikkan cukai rokok 23 persen di tahun 2020 termasuk langkah tepat?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tidak cukup hanya sekadar menjawab iya atau tidak. Sepintas, jika yang dilihat adalah perbandingan materiil (ekonomi), maka kebijakan tersebut terbilang masuk akal.

Tapi, apakah mengurai persoalan rokok hanya berhenti di soal tarif cukai? Bagaimana nasib para petani tembakau maupun buruh pabrik rokok yang sudah sekian lama menggantungkan hidupnya dalam mata rantai industri pertembakauan di tanah air?

Pertanyaan lain yang tak kalah penting, bagaimana dengan kultur merokok masyarakat Indonesia yang sukar dihilangkan?

Seperti diketahui, kenaikan cukai rokok otomatis berdampak terhadap harga rokok secara keseluruhan. Dengan mahalnya harga rokok diprediksi akan terjadi penurunan terhadap konsumsi secara nasional.

Masalahnya, ketika terjadi penurunan konsumsi, dampak yang paling dirasakan adalah para petani tembakau di bagian hulu. Bisa dibayangkan, ada kurang lebih 527.688 petani tembakau yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Ini belum termasuk buruh yang bekerja di pabrik rokok. Merujuk pada data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), sebanyak 5,98 juta tenaga kerja yang diserap di Industri Hasil Tembakau.

Melihat jumlah tenaga kerja yang begitu besar diserap dalam industri tembakau, penting bagi pemerintah untuk mempersiapkan alas kebijakan yang tepat dalam rangka mengantisipasi kemungkinan terburuk atas keputusan yang telah dibuat.

John Mugabe dalam Characteristics of Good Public Policy and Policy-Making mengatakan, sebuah kebijakan adalah tentang seperti apa langkah pemerintah dalam membuat sebuah keputusan dan berkaitan dengan apa yang akan dilakukan ataupun yang tak akan dilakukan.

Dalam arti, pemerintah dalam hal ini dituntut agar memiliki desain kebijakan yang tepat dalam rangka  menyiasati kemungkinan terburuk di balik kenaikan tarif cukai rokok. Misalnya, apa yang akan dilakukan pemerintah seandainya jumlah tenaga kerja yang diserap industri tembakau tiba-tiba mengalami PHK besar-besaran, atau para petani tembakau yang merugi akibat penurunan konsumsi yang berdampak pada harga jual tembakau.

Bahwa pemerintah menaikkan tarif cukai memang sudah tepat, sayangnya hal itu tidak disertai analisis maupun solusi terhadap dampak lanjutan yang akan terjadi.

Melawan Budaya?

Faktanya, menekan tingkat konsumsi rokok lewat kenaikan harga akan mendapatkan benturan dari budaya merokok atau smoking culture itu sendiri yang sudah cukup melekat dalam masyarakat Indonesia.

Budaya merokok di Indonesia memiliki tarikan sejarah cukup panjang. Konon katanya, budaya merokok bukan warisan budaya asli Indonesia. Sebelum rokok diperkenalkan oleh pelaut Portugis ke Indonesia sekitar abad XVII hingga XVIII, masyarakat Nusantara memiliki kebiasaan menyirih-pinang sebagai alat pergaulan sosial sekaligus sarana relaksasi di waktu senggang.

Sebelum menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia, merokok adalah kebiasaan para bangsawan dan elite penjajah pada masa penjajahan. Kebiasaan merokok baru mulai menular ke generasi muda, khususnya para pelajar yang kala itu sedang menimba ilmu di Belanda.

Seperti ditulis Monika Arnez dalam Tobacco and Kretek: Indonesian Drugs in Historical Change, bahwa kebiasaan merokok menular kepada kaum bumiputra yang paling awal menerima pendidikan di sekolah Belanda pada pertengahan abad ke-19.

Berawal dari situ, rokok kretek yang merupakan komposisi dari tembakau, cengkeh dan penguat rasa mulai mengambil alih kebiasaan menyirih masyarakat Nusantara, dan untuk pertama kalinya diproduksi secara masal.

Bukti terkait kebiasaan menyirih masyarakat Nusantara ditemukan dalam catatan Ma Huan yang kembali diabadikan oleh W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa, bahwa menyirih adalah kebiasaan yang jamak dijumpai di Jawa. Sirih-pinang juga sebagai hadiah bagi seseorang yang menikah.

Selain itu, Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga jilid I menceritakan kebiasaan di istana Jawa yang mulai meniru kebiasaan orang Eropa dengan cara mengisap buluh panjang gaya Belanda kala menjamu tamu dari Eropa.

Gaya (kebiasaan) itu konon hanya dibuat-buat di kalangan pria elite yang meniru-niru beberapa pedagang Eropa. Selain itu, dikatakan, mengisap tembakau dengan cara ini sudah mulai populer di kalangan pria dan wanita di akhir abad ke-17.

Berangkat dari titik tolak sejarah tersebut, bisa dikatakan, merokok telah melekat dalam kebudayaan masyarakat Nusantara, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Terlepas kebiasaan itu bukan warisan asli nenek moyang masyarakat Indonesia, kini faktanya ia sudah menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat yang sulit dihilangkan.

Istilah “uang rokok” yang kerap digunakan untuk menyebut upah tambahan misalnya, telah menjadi bagian yang lekat dalam budaya tutur masyarakat Indonesia.

Tingginya angka kebiasaan merokok masyarakat Indonesia diperkuat hasil survei yang menyebutkan Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat konsumsi rokok tertinggi di dunia. Disebutkan, pada tahun 2000 terdapat 56 persen pria dewasa maupun para anak muda di Indonesia yang tergolong perokok aktif. Angka itu terus meningkat menjadi 76 persen pada 2015.

Menimbang kebiasaan merokok di kalangan masyarakat Indonesia yang terus menguat dari waktu ke waktu, menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam upaya menekan laju konsumsi rokok di Indonesia.

Untuk itu, tak heran memang banyak yang akan mempertanyakan ulang kebijakan tarif cukai rokok yang salah satu tujuannya untuk mengurangi konsumsi rokok, khususnya di kalangan anak muda dan perempuan yang belakang mengalami peningkatan tajam. Menarik untuk ditunggu seperti apa dampak kenaikan cukai rokok ini terhadap smoking culture di Indonesia di tahun-tahun mendatang. (H57)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Politik Hukum Jokowi dan Sejahtera Hakim
spot_imgspot_img

#Trending Article

Pramono dan Candu Dinasti Politik

Politik dinasti bisa membawa efek candu yang berbahaya. Bagaimana kaitannya dengan Pramono Anung yang kini jadi calon gubernur Jakarta 2024?

Ironi Lumpuhnya Pasukan Perdamaian PBB

Israel yang mengusik dan melukai prajurit TNI dalam misi Pasukan Penjaga Perdamaian PBB di Lebanon seolah menguak hipotesa bahwa terdapat kelumpuhan sistematis di balik eksistensi para serdadu gabungan negara-negara yang sesungguhnya mulia tersebut.

Arti Kesetiaan Politik: Jokowi vs Prabowo

Dalam politik, nilai kesetiaan mempengaruhi manuver politik. Bagaimana kesetiaan politik dalam kaitannya dengan Jokowi dan Prabowo Subianto?

Luhut ke Mana?

Tumben nih Pak Luhut diem ajaa #LuhutBinsarPandjaitan #LuhutPandjaitan #Jokowi #GibranRakabumingRaka #fufufafa #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini  

PDIP Gabung Prabowo, Breeze atau Hurricane? 

Sinyal bergabungnya PDIP ke koalisi pemerintahan baru tampak semakin kuat. Akankah ini melahirkan guncangan baru bagi koalisi tersebut? 

Politik Hukum Jokowi dan Sejahtera Hakim

Para hakim melakukan “mogok” bertajuk cuti bersama. Mereka menuntut pemerintah menaikkan tunjangan dan gaji yang tidak berubah sejak tahun 2012.

Anies Bantu Prabowo Melupakan Jokowi?

Kendati tak saling berkaitan secara langsung, kemungkinan merangkul Anies Baswedan ke jajaran menteri bisa saja menambah kekuatan dan daya tawar Prabowo Subianto andai memiliki intensi melepaskan pengaruh Jokowi di pemerintahannya. Mengapa demikian?

Dharma Pongrekun vs ‘Elite Global’

Dharma Pongrekun singgung soal elite asing terkait pandemi Covid-19 dalam Debat Pilkada) Jakarta 2024. Mengapa konspirasi bisa begitu diyakini?

More Stories

Corona dan Pendekatan Transendental Terawan

Penyebaran virus Corona yang terjadi selama 2 minggu terakhir membuat masyarakat di berbagai belahan dunia cemas dan serba ketakutan. Menariknya, saat di mana hampir...

Saat Yasonna Takluk Pada Pers

Misteri keberadaan tersangka kasus dugaan suap, Harun Masiku akhirnya terkuak. Investigasi Tempo berhasil membongkar disinformasi yang berhembus selama beberapa minggu terakhir yang menyebut Harun...

Sandi, Lawan Anies di 2024?

Baru berselang 3 bulan pelantikan presiden dan wakil presiden, kini sudah bermunculan wacana calon yang akan bertarung di Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 2024 mendatang....