HomeNalar PolitikMampukah Media Jadi Pilar Keempat Demokrasi?

Mampukah Media Jadi Pilar Keempat Demokrasi?

Telah lama media massa disebut sebagai pilar keempat demokrasi. Di tengah era digital, di mana media massa bersaing dengan media sosial untuk menghadirkan berita clickbait, masih tepatkah label pilar keempat demokrasi disematkan?


PinterPolitik.com

“Di tengah belantara informasi ini, beruntunglah kita masih punya sumber informasi yang segar, akurat, dan terpercaya: pers nasional,” tulis Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 9 Februari. Sejak tahun 1985, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985, setiap tanggal 9 diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN).

Pers atau mungkin lebih akrabnya media adalah jendela dunia di abad modern. Media sendiri berasal dari kata Latin medium yang berarti “jalan tengah atau perantara”. Penggunaan kata “media” untuk menggambarkan surat kabar dan radio, yang kemudian kita sebut sebagai media massa dilakukan sejak tahun 1920-an.

Seiring dengan meningkat dan terpusatnya kekuatan politik, muncul kebutuhan untuk menghadirkan transparansi pemerintahan. Atas kebutuhan ini, media massa kemudian mendapatkan tempat khusus karena perannya dalam mendistribusikan berita. Seperti dari istilah Latin-nya medium, media massa adalah jembatan antara elite politik dengan masyarakat umum.

Priya Kumari dan Suhas M.P dalam tulisannya Is Media the Fourth Pillar of Democracy?, menyebut istilah pilar keempat demokrasi pertama kali digunakan oleh sejarawan Skotlandia Thomas Carlyle pada tahun 1840. Media berperan untuk memberi informasi tentang semua kegiatan politik, sosial, dan ekonomi. Media hadir seperti cermin yang memantulkan realitas ke hadapan publik. Media juga memiliki kekuatan penekan untuk mendorong penyelidikan kasus dan menuntut keadilan.

Secara khusus di demokrasi, mengutip artikel berjudul The Role of Media in Democracy: A Strategic Approach, terdapat dua peran media di demokrasi. Pertama, memastikan masyarakat membuat pilihan yang bertanggung jawab dan terinformasi. Media memberikan akses informasi ke masyarakat terkait calon pemimpin mereka. 

Kedua, media menjalankan fungsi pengawasan dan pemeriksaan karena memiliki kekuatan penekan untuk membuat wakil-wakil yang terpilih menjunjung tinggi sumpah jabatannya. Media memberikan informasi ke publik terkait bagaimana kinerja pejabat yang mereka pilih. Apakah mereka menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak.

Mengutip ilmuwan politik Amerika Serikat (AS) Francis Fukuyama, transparansi dan akuntabilitas merupakan ciri khas demokrasi modern. Dengan demikian, mengacu pada peran-peran tersebut, dapat dikatakan media merupakan aspek terpenting dalam demokrasi saat ini.

Baca juga :  Dirangkul Prabowo, Akhir "Menyedihkan" Megawati?

Namun, seperti yang menjadi pertanyaan Endy Bayuni dalam tulisannya Reclaiming the role of the press as the fourth pillar of democracy, apakah saat ini media massa masih memenuhi tugasnya sebagai pilar keempat demokrasi?

Dua Ganjalan Utama

Mantan Executive Editor LensaIndonesia.com, Khairul Fahmi, menyebut empat poin agar media dapat menjalankan perannya sebagai pilar keempat demokrasi, yakni integritas jurnalis, independensi dapur redaksi, intelijensia para jurnalis, dan kedisiplinan dalam tata kelola peliputan dan keredaksian.

Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise memberikan penjelasan penting yang selaras dengan poin-poin Fahmi. Menurut Nichols, saat ini telah terjadi transformasi bentuk berita yang membuat kualitas media menjadi menurun.

Tidak seperti saat ini di mana jumlah media sangat banyak, dulunya jumlah media dapat dihitung jari. Menurut Nichols, ini membuat media dapat fokus dalam menjaga kualitas dari pemberitaan karena tidak memikirkan persaingan seperti sekarang. Ketika media begitu banyak, persaingan tidak lagi berpusat pada kualitas pemberitaan ataupun investigasi, melainkan pada sebesar apa rating dan klik yang didapatkan.

Persoalan ini kemudian membuat media mengaburkan antara berita dengan hiburan agar dapat mendulang klik sebanyak mungkin. Selain perlombaan mencari klik, banyaknya jumlah media juga dilihat telah menurunkan kualitas dari para jurnalis. Menurut Nichols, dahulunya jurnalis merupakan suatu profesi yang menantang, mereka melakukan investigasi panjang dan mendalam. 

Namun sekarang, semua orang dapat menjadi jurnalis. Profesi jurnalis dipandang dapat dilakukan oleh semua orang karena tugasnya hanya menyadur pernyataan pejabat, ataupun mencari isu yang hangat untuk diberitakan.

Dengan tuntutan mendulang klik sebanyak mungkin, adu cepat antar media, serta tuntutan jumlah berita harian, pertanyaannya tentu satu, bagaimana jurnalis dapat membuat berita yang berkualitas?

Selain perubahan bentuk berita, Jane B. Singer dalam tulisannya Are micropayments a viable way to support the news business?, menyebutkan bahwa pendapatan yang turun drastis dalam dua dekade terakhir dan belum adanya model bisnis yang jelas telah membuat media berada dalam krisis eksistensial. 

Atas masalah tersebut, media kemudian mengandalkan investor dan iklan untuk bertahan hidup. Untuk kepentingan itu, mencari rating dan klik sebesar mungkin menjadi tidak bisa dihindari.

Ross Tapsell dalam bukunya Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital, juga menyebutkan bahwa industri media saat ini memberikan ruang yang besar atas masuknya intervensi kapital. Pasalnya, berbeda dengan media tradisional yang hanya memproduksi koran ataupun siaran radio, saat ini industri media membutuhkan berbagai infrastruktur yang mahal. 

Baca juga :  Tiongkok Kolonisasi Bulan, Indonesia Hancur? 

Ini kemudian melahirkan fenomena di mana media menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan para investor dan pemilik media. Secara khusus, Tapsell menyebut fenomena ini sebagai oligarki media.

Dengan demikian, dapat disimpulkan terdapat dua masalah utama yang membuat kualitas pemberitaan menjadi menurun. Pertama adalah kebutuhan dalam mengejar klik dan sensasi. Kedua adalah dilema finansial yang membuat media mengikuti agenda politik sang pemilik kapital.

Masih Jadi Pilar?

Di titik ini, kita kembali pada pertanyaan Endy Bayuni, apakah media masih menjadi pilar keempat demokrasi? Untuk menjawabnya, pertama-tama ada yang perlu digarisbawahi, yakni membedakan peran media secara umum, dengan perannya dalam konteks demokrasi.

Secara umum, kembali mengutip Priya Kumari dan Suhas M.P, media di Indonesia telah menjalankan perannya sebagai cermin realitas dan menjadi kekuatan penekan. Pada kasus terbaru di Desa Wadas, misalnya, media memainkan peran penting dalam menyadarkan masyarakat dan politisi atas masalah yang terjadi.

Namun, apabila membahas perannya sebagai pilar keempat demokrasi, sebagaimana dalam artikel The Role of Media in Democracy: A Strategic Approach, media di Indonesia tampaknya belum menjalankan fungsinya dengan baik.

Menurut Tapsell, oligarki media telah membuat media massa di Indonesia menjadi alat elite politik dalam mempromosikan agenda politiknya. Akhir-akhir ini, misalnya, media menjadi alat untuk memetakan reaksi publik terkait siapa sosok yang akan dimajukan di Pilpres 2024. Secara khusus, fenomena ini disebut sebagai trial balloon.

Linda Vuskane dalam tulisannya The role of the mass media within liberal democracy, juga menyinggung persoalan ini. Menurutnya, poin utama yang membuat media disebut sebagai pilar keempat demokrasi adalah independensi. Namun, dengan media yang merupakan perusahaan komersial, kecenderungan media untuk mendukung partai, politisi, pengusaha, atau bentuk status quo lainnya disebut menjadi tidak bisa dihindari.

Bertolak pada masalah yang dibahas Tapsell dan Vuskane, seberapa mungkin media menjalankan perannya sebagai pilar keempat demokrasi? Alih-alih memberikan informasi rinci terkait kualitas atau kualifikasi calon pemimpin, media lebih kerap memberitakan seputar sensasi yang dihadirkan para politisi. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...