HomeNalar PolitikMadam Bansos, Mungkinkah PDIP Dibubarkan?

Madam Bansos, Mungkinkah PDIP Dibubarkan?

Setelah mengungkap politisi PDIP yang terlibat korupsi bansos Covid-19, Tempo kembali merilis Madam Bansos yang diduga adalah petinggi partai banteng tersebut. Menimbang korupsi dilakukan di tengah bencana nasional, mungkinkah itu membuat PDIP dibubarkan, atau setidaknya mengalami kejatuhan?


PinterPolitik.com

Entah dirundung kesialan atau apa, PDIP seperti dihujani hantaman bertubi-tubi. Ini bermula sejak politisi PDIP Harun Masiku (HM) terlibat kasus suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR yang melibatkan mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan. 

Seperti yang diketahui, sampai saat ini masih misteri mengapa HM menghilang? Mengapa ia begitu penting sehingga sulit dilacak? Mungkinkah kasusnya akan membuka kotak pandora yang menyeret PDIP ke dalam jurang kejatuhan? Entahlah.  

Yang jelas, sejak saat itu deretan isu terus mendera partai banteng. Yang terbaru tentunya adalah korupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19 yang melibatkan mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara.

Dalam perkembangannya, Juliari ternyata bukan satu-satu politisi PDIP yang terlibat. Selain lulusan Chapman University, Amerika Serikat (AS) ini, ada pula nama Ketua Komisi III DPR Herman Herry dan anggota Komisi II DPR Ihsan Yunus.

Dalam penelusuran Tempo bahkan disebut istilah Madam Bansos yang digambarkan sebagai perempuan berkepala banteng yang menduduki singgasana. Siapa Madam Bansos? Entahlah, banyak pihak menduga-duga, namun yang jelas ia adalah petinggi PDIP dan berjenis kelamin perempuan.

Menariknya, setelah terkuaknya korupsi bansos Covid-19 yang diduga melibatkan berbagai politisi PDIP, terdapat celetukan dari warganet agar partai yang diketuai oleh Megawati Soekarnoputri tersebut dibubarkan.

Konteksnya tentu cukup beralasan, yakni korupsi dilakukan di tengah situasi bencana nasional dan ada dugaan dilakukan secara terstruktur. Lantas, mungkinkah celetukan tersebut terealisasi?

Persepsi yang Mungkin?

Pada 4 Desember 2020, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango memang pernah menekankan bahwa tindakan korupsi di tengah pandemi Covid-19 dapat dijerat dengan Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi alias dijatuhi hukuman mati.

Akan tetapi, pada kasus Juliari, sampai saat ini ia masih dijerat menggunakan pasal suap, yakni Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Baca Juga: Memahami Logika Juliari Korupsi Bansos Covid-19

Di luar perdebatan soal hukum tersebut, menarik sekiranya untuk memahami mengapa celetukan pembubaran tersebut mengemuka. Jika mengkajinya menggunakan ilmu logika, simpulan tersebut  tampaknya berakar pada kesalahan penalaran yang disebut dengan ‘kuantifikasi tersembunyi’.

Yohanes Pande Hayon dalam bukunya Logika: Prinsip-prinsip Bernalar Tepat, Lurus, dan Teratur menyebutkan kuantifikasi tersembunyi adalah bentuk proposisi atau simpulan yang tidak tegas menunjuk jumlah atau kuantitas objeknya. Kuantifikasi tersembunyi dibagi ke dalam dua jenis, yakni ‘komposisi’ dan ‘divisi’.

Baca juga :  Gibran Game Changer Pilpres 2024? 

Komposisi terjadi ketika seseorang menilai anggapan yang berlaku pada individu atau sebagian kelompok (parsial), pasti berlaku pada seluruh kelompok secara kolektif. Sementara divisi terjadi ketika seseorang menilai anggapan pada suatu kelompok pasti terjadi pada semua individu dalam kelompok tersebut.

Pada kasus sentimen terkait pembubaran PDIP, jenis komposisi yang lebih mungkin terjadi, yakni beberapa kasus korupsi yang terjadi dapat disimpulkan untuk menyebutkan PDIP adalah partai korup.

Korupsi adalah Tindakan Sistematis?

Akan tetapi, jika mengacu pada studi ilmu politik ataupun psikologi, simpulan semacam itu sebenarnya memiliki pembenarannya tersendiri. Heather Marquette dan Caryn Peiffer dalam tulisannya Collective Action and Systemic Corruption menunjukkan korupsi adalah tindakan sistematis.

Menggunakan principal-agent theory, korupsi disebut sebagai kalkulasi rasional yang dibuat oleh individu pada momen tertentu dalam struktur hierarki tertentu. Sementara collective action theory melihat korupsi sebagai tindakan kolektif, di mana individu dipengaruhi oleh kelompok tempat individu terkait berada.

Kendati memiliki perbedaan, kedua teori tersebut sepakat untuk menyebutkan bahwa korupsi adalah konsekuensi dari sistem atau kondisi yang memungkinkannya terjadi, seperti minimnya transparansi dan pengawasan, hingga kondisi masyarakat yang memang sudah lumrah dengan praktik korupsi.

Simpulan tersebut dapat kita pahami melalui broken windows theory. Malcolm Gladwell dalam bukunya The Tipping Point: Bagaimana Hal-hal Kecil Berhasil Membuat Perbedaan Besar menyebutkan broken windows theory adalah teori yang dipopulerkan oleh kriminolog James Q. Wilson dan George Kelling. Mereka berpendapat bahwa kriminalitas adalah akibat yang tidak terelakkan dari ketidakteraturan.

Contoh, kaca rumah yang dibiarkan pecah akan menciptakan persepsi bahwa rumah tersebut tidak terurus. Dalam skala yang luas, vandalisme yang meluas di berbagai sudut kota akan menciptakan persepsi bahwa aparat tidak begitu peduli, sehingga mendorong orang untuk melakukan tindakan kriminal.

Menariknya pada kasus korupsi, tindakan korupsi yang berulang terjadi dapat dimaknai sebagai buah dari persepsi lumrah atas grantifikasi, seperti dalam proses pembuatan SIM, menghindari tilang, dan lain sebagainya. Praktik-praktik kecil tersebut kemudian berkembang menjadi persepsi lumrah yang kolektif karena melihat orang lain juga berprilaku demikian.

Mengacu pada simpulan bahwa korupsi adalah tindakan sistematis, baik secara langsung (direncanakan) maupun tidak langsung (dipengaruhi sosial), tidak heran terdapat persepsi yang menyebutkan bahwa PDIP adalah partai korup. Dengan demikian, mungkinkah PDIP dibubarkan jika nantinya terbukti melakukan tindakan korupsi secara terstruktur?

Mengacu pada Pasal 2 huruf a dan b Peraturan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pembubaran Partai Politik, MK dapat membubarkan partai politik apabila ideologi, asas, tujuan, program partai politik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan/atau kegiatan partai politik bertentangan dengan UUD 1945 atau akibat yang ditimbulkannya bertentangan dengan UUD 1945.

Baca juga :  Siasat Rahasia NasDem Soal Hak Angket? 

Di sini persoalannya menjadi sulit. Pasalnya, terkait kegiatan yang melanggar UUD 1945 sangat multi tafsir. Apakah tindakan korupsi terstruktur oleh partai politik termasuk ke dalam kategori melanggar UUD 1945? Selain itu, mengacu pada Pasal 3 Ayat 1, “pemohon pembubaran adalah pemerintah yang dapat diwakili oleh Jaksa Agung dan/atau Menteri yang ditugasi oleh Presiden untuk itu”.   

Baca Juga: Mungkinkah Juliari Batubara Dihukum Mati?

Nah pertanyaannya, katakanlah terbentuk konsensus bahwa UUD 1945 telah dilanggar, apakah mungkin pemerintah, Jaksa Agung, atau Menteri melakukan permohonan pembubaran? Rasa-rasanya itu sulit dibayangkan terjadi menimbang pada PDIP adalah partai politik dominan saat ini.

Oleh karenanya, dampak politik yang mungkin atas kasus korupsi tersebut adalah, apakah itu dapat menjadi preseden kejatuhan PDIP di Pemilu 2024 nanti?  

Sindrom Kejatuhan?

Melihat sindrom atau gejalanya, terdapat persamaan antara apa yang terjadi dengan PDIP dan Partai Demokrat di periode kedua kekuasaannya.

Seperti yang diketahui, di periode keduanya, Partai Demokrat dihadapkan oleh hantaman kasus korupsi yang menjerat berbagai kader, bahkan kader utamanya. Jemmy Setiawan dalam Pemberantasan Korupsi di era SBY Tercatat Paling Progresif di Dunia yang menyebutkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu telah meminum ‘pil pahit’ terkait komitmennya dalam mendukung penindakan terhadap kasus korupsi.

Menurutnya, SBY justru tidak memberikan perlindungan hukum kendati banyak kader partainya satu per satu diseret oleh KPK. Menguaknya kasus-kasus korupsi tersebut kemudian membuat elektabilitas Partai Demokrat mencapai titik terendah.  Besarnya nama SBY juga membuat kaderisasi pemimpin selanjutnya menjadi sulit terjadi. pada akhirnya, Partai Demokrat gagal mencalonkan kandidat di Pilpres 2014.

Lalu, terkait merosotnya suara Partai Demokrat di Pemilu 2014 (dari 20,85% menjadi 9,43%), disebut oleh pemerhati politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bakti sebagai imbas dari beralihnya massa Nahdliyin untuk kembali mendukung PKB.

Bagaimana dengan PDIP? Sindromnya sepertinya sama. Ada berbagai kader partai yang terjerat kasus rasuah. Kaderisasi juga sepertinya masih sulit terjadi karena sosok Megawati dinilai belum dapat digantikan.

Kemudian narasi PDIP yang menyebut diri sebagai partai wong cilik dan penegak marhaenisme tampaknya mulai tercoreng dengan disahkannya berbagai produk hukum seperti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) 

Kendati demikian, ada perbedaan mencolok yang terlihat dari PDIP. Pertama, dengan masih hilangnya Harun Masiku, terdapat dugaan yang menyebutkan ada usaha ‘melindungi’. Kedua, PDIP telah menyiapkan kandidat untuk berlaga di Pilpres 2024, seperti Puan Maharani, Tri Rismaharini dan Ganjar Pranowo.

Kita lihat saja di Pemilu 2024 nanti, apakah PDIP akan mengikuti jejak Partai Demokrat yang tenggelam di periode kedua kekuasaannya atau tidak? (R53)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...