BerandaNalar PolitikKenapa Semakin Banyak Pemerintah "Otoriter"? 

Kenapa Semakin Banyak Pemerintah “Otoriter”? 

Sejumlah pengamat belakangan ini mulai menyoroti semakin banyak pemerintah di dunia yang mengemban sifat-sifat otoriter. Apa yang kira-kira melatarbelakangi fenomena unik ini? 


PinterPolitik.com 

Untuk yang gemar membaca sejarah, kalian mungkin tidak asing dengan nama-nama pemimpin seperti Joseph Stalin, Fidel Castro, dan Mao Zedong. Wajar saja kalau kalian familiar dengan tokoh-tokoh tersebut, karena mereka adalah orang-orang yang kerap dianggap sebagai simbol dari kepemimpinan sebuah negara yang otoriter dan diktatorial. 

Namun, meskipun kepemimpinan nama-nama besar tadi berlangsung selama masa Perang Dingin, berakhirnya masa ketegangan tersebut tidak berarti gaya kepemimpinan otoriter turut hilang bersamanya. Yap, setelah beberapa dekade, otoritarianisme tampak masih menjadi bagian dalam perpolitikan manusia. 

Sebuah penelitian yang diungkapkan organisasi nirlaba Freedom House pada tahun 2021 mengungkap fakta menarik tentang otoritarianisme. Berdasarkan data yang mereka kumpulkan, disimpulkan bahwa saat ini sedang terjadi percepatan penurunan demokrasi global. alam beberapa tahun terakhir politisi-politisi semakin berani mengemban nilai-nilai otoriter selama tahun 2020. 

Menurut kesimpulan Freedom House, hanya kurang dari seperlima populasi dunia kini tinggal di negara-negara yang bebas secara demokratis. Ini adalah bagian dari tren penurunan demokrasi dan meningkatnya otoritarianisme yang telah berlangsung di seluruh dunia selama 30 tahun terakhir. Saat ini, kata Freedom House, semakin banyak pemimpin dunia yang berani melaksanakan kebijakan-kebijakan yang sifatnya otoriter. 

Dan kalau kita lihat keadaan politik sekarang di Indonesia, temuan yang diungkapkan Freedom House tadi sepertinya mampu membuat kita sedikit merenung. Beberapa waktu lalu misalnya, rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun sempat dituding bersifat otoriter oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), karena menelurkan setidaknya 27 kebijakan yang dinilai menghambat kebebasan sipil. 

Di luar negeri, khususnya di Amerika Serikat (AS), well, berdasarkan laporan Freedom House tadi, Negeri Paman Sam termasuk dari lima negara dengan penurunan nilai demokrasi tertinggi. Sebagian warga di sana bahkan mulai menilai penangkapan Presiden ke-45 AS, Donald Trump sebagai bukti terbaru dari gaya kepemimpinan pemerintah AS yang otoriter.  

Dari fenomena-fenomena ini, rasanya penting bagi kita untuk mempertanyakan, kenapa semakin banyak negara di dunia yang menjalankan sifat-sifat otoritarianisme?

image 16

Akibat Tuntutan Globalisasi dan Kapitalisme? 

Sebuah adagium populer berbunyi: “tidak akan ada asap bila tanpa api”. Layaknya sebuah api yang membara di tengah ladang Afrika, peningkatan otoritarianisme pun bisa kita asumsikan tidak berkembang secara tiba-tiba tanpa adanya pemicu.  

Dari perkembangannya yang sekilas tampak tidak bersalah, sepertinya ada satu hal yang membuat kenapa semakin banyak pemimpin dunia merasa berani dan perlu menjalankan kebijakan-kebijakan yang bersifat otoriter. Dan untuk mengetahui alasan tersebut, tampaknya kita perlu sedikit berdiskusi dengan salah satu filsuf modern ternama yang berasal dari Slovenia, Slavoj Žižek. 

Baca juga :  Anies: Pilu di Balik Konoha-Wakanda

Dalam sebuah video eksplainernya bersama Big Think, yang berjudul Democracy and Capitalism Are Destined to Split Up, Žižek berpendapat bahwa sistem pemerintahan yang demokratis memang lambat laun akan semakin ditinggalkan karena negara-negara di dunia merasa lebih perlu mengejar tuntutan sistem kapitalistik yang teramplifikasi oleh adanya globalisasi. 

Mengapa bisa demikian? Well, sederhananya, ini karena sistem kapitalisme global menuntut negara untuk dapat menggunakan segala sumber dayanya seefektif dan secepat mungkin agar bisa menghasilkan keuntungan dan mengalahkan kecepatan para kompetitornya. Sebagai akibatnya, hal itu membuat negara tersebut berfungsi layaknya perusahaan. Dampaknya? Demokrasi akan dipandang sebagai sesuatu yang menghambat keperluan mengejar tuntutan industri. 

Bagaimana tidak? Ibaratnya begini, bila sebuah pemerintahan yang kapitalistik memegang teguh nilai-nilai demokratisnya, maka mereka perlu menunggu waktu yang lama untuk meloloskan sebuah izin investasi asing karena harus mendapatkan persetujuan dari para perwakilan rakyat.  

Hal tersebut tentu berbeda dengan sebuah negara yang otoriter, kalau negara otoriter merasa sebuah investasi asing akan sangat menguntungkan ekonominya, maka mereka tidak perlu menghabiskan banyak tenaga dan waktu hanya untuk memperdebatkan izin, mereka hanya perlu meloloskannya secara sepihak.  

Mindset yang demikian tentu tidak hanya berlaku pada urusan investasi saja. Dalam konteks politik, kapitalisme mampu membuat seorang pemimpin bersifat lebih otoriter karena ia harus menjamin kemampuan negaranya mengejar tuntutan industri tidak terganggu oleh kepentingan politik oposisi yang ingin menggulingkannya. Akibatnya, pemimpin yang berpikir seperti itu akan melihat kebijakan-kebijakan yang sifatnya mengambat kebebasan berpendapat sebagai solusi. 

Lantas, apakah kapitalisme bisa kita jadikan sebagai antagonis utama? Sejujurnya tidak juga, karena bagaimanapun peran kapitalisme adalah untuk meningkatkan kapabilitas ekonomi, baik secara individu maupun negara. Kalau kata Žižek, fenomena ini hanya membuktikan bahwa kapitalisme dan demokrasi, secara esensinya, tidak cocok untuk satu sama lain. Dalam kata lain, meskipun kapitalisme mampu membuat sebuah negara menjadi otoriter, tidak masalah bila negara tersebut bisa menjamin kesejahteraan para penduduknya.  

Hal ini kemudian membawa kita pada pertanyaan selanjutnya. Bagaimana sebuah negara dengan sistem demokrasi bisa belajar dari fenomena sosial politik modern ini? 

image 17

Otoritarianisme yang Penuh Kebajikan? 

Penting untuk kita sadari bahwa demokrasi sesungguhnya tidak hanya tentang kebebasan berpendapat saja. Pengamat politik Duke University, Michael Munger dalam artikelnya Democracy is a Means, Not an End, menjelaskan bahwa demokrasi sejatinya bukan diciptakan sebagai tujuan akhir dari sistem pemerintahan, tetapi hanya cara untuk mewujudkan pemerintahan yang sistematis dan terstruktur. 

Baca juga :  Cengkraman Tiongkok di Rempang?

Munger merefleksikan demokrasi dengan analogi nahkoda kapal yang disampaikan sejarawan Yunani, Polybius, dalam tulisannya The Histories, pada abad ke-2 SM. Di dalamnya, Polybius mengartikan negara demokrasi layaknya kapal di laut yang sedang menghadapi ancaman badai.  

Jika seluruh awak memiliki kepercayaan pada nahkodanya tentang langkah terbaik yang perlu dilakukan, sebuah badai yang menyerang kapal kemungkinan tidak akan menjadi bahaya yang lebih besar, karena seorang nahkoda yang kompeten tentunya akan tahu bagaimana caranya menghadapi bahaya-bahaya di laut.  

Namun, jika seluruh awak kapal diberikan kesempatan untuk menentukan apa yang dilakukan, maka bisa dipastikan kapal tersebut akan karam dengan cepat akibat tidak ada persiapan menghadapi terpaan badai. Akan ada awak yang ingin pulang, ada juga yang ingin mengarungi badai, dan ada juga yang ingin semuanya meninggalkan kapal dan naik sekoci.  

Dari analogi itu, Munger mengambil kesimpulan bahwa demokrasi yang efektif bukanlah demokrasi yang menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk mendengar semua aspirasi publik. Karena menurutnya, peran utama demokrasi bukanlah untuk menghilangkan perbedaan pendapat, melainkan untuk mencegah perselisihan politik berkembang menjadi konflik yang lebih berbahaya dan untuk menjaga keselamatan masyarakatnya bisa terjamin.  

Dengan demikian, penciptaan trust (kepercayaan) pada sistem pemerintahan menjadi satu hal esensial yang perlu dijaga dalam sistem yang demokratik (patut diingat, bukan sistem demokrasi).  

Oleh karena itu, kita bisa merenungkan, mungkin ini adalah momen demokrasi berevolusi menjadi sebuah hal yang baru. Kalau kita merenungkan apa yang dikatakan Niccolo Machiavelli, sebenarnya mungkin tidak ada salahnya bila suatu pemerintahan menjalankan sifat-sifat yang otoriter, dengan catatan mereka tetap memegang teguh nilai-nilai demokratik dan memastikan tingkat kepuasan publik tetap tercapai. 

Ini barangkali jadi satu hal yang kerap luput diperhatikan oleh negara-negara yang secara malu-malu mulai menjadi otoriter. Persoalan kebebasan sipil bisa jadi perdebatannya sendiri, akan tetapi di samping itu, kepuasan masyarakat tetap jadi satu hal yang sama sekali tidak boleh diabaikan segenting apapun kondisinya.  

Pada akhirnya, tentu semua yang diungkapkan dalam tulisan ini hanyalah interpretasi belaka. Yang jelas, tidak dipungkiri bahwa globalisasi telah menjadi kekuatan yang mampu menggoyang prinsip-prinsip demokrasi sebuah negara. Semoga saja, apapun yang terjadi, kepuasan dan keselamatan publik tetap jadi hal pertama yang dipikirkan oleh para pemimpin kita. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kaesang Gabung PSI, PDIP Ambruk? 

Isu bergabungnya Kaesang Pangarep ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI) memantik satu telaah menarik mengenai dampak turunannya, serta gonjang-ganjing nasib trah Presiden Joko Widodo (Jokowi)...

Kok Xi Jinping “Modifikasi” Al-Qur’an?

Pemerintahan Xi Jinping di Tiongkok dikabarkan ingin "modifikasi" Al-Qur'an dengan padukan Konfusianisme. Mengapa Xi ingin demikian?

Kaesang Jadi Ketua Umum PSI?

Putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep resmi bergabung ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Mungkinkah Kaesang akan menjadi Ketua Umum PSI? PinterPolitik.com Putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang...

Akan Seperti Apa Nasib AHY?

Partai Demokrat resmi mendeklarasikan dukungannya pada Prabowo Subianto untuk menjadi calon presiden (capres) di Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024). Namun, akan seperti apa nasib politik Ketua Umum Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam koalisi ini? Apakah cawapres tetap masuk akal untuk dikejar, atau mungkin ada jabatan lain yang menunggu untuk AHY?

SBY Harus Keluar Dari Partai Demokrat?

Sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) justru tidak menjadi pusat perhatian utama atas langkah-langkah politik Partai Demokrat. Pemberitaan media terlihat masih...

Megawati Kritik Jokowi Melalui BRIN?

Kritik yang dilontarkan oleh BRIN kepada Presiden Jokowi terkait pernyataannya soal data intelijen kondisi dan agenda parpol menjelang 2024 dinilai bermuatan politis. PinterPolitik.com Pernyataan Presiden Joko...

Mengapa AS-Tiongkok Masih Terus Berselisih? 

Sudah lebih dari dua dekade Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok berselisih. Kira-kira apa yang melatarbelakangi tensi yang semakin tidak menentu ini?  PinterPolitik.com  Selama ribuan tahun perkembangan...

Jokowi dan Politik “Game of Thrones”

Menjelang Pilpres , trah-trah politik makin berada dalam pertarungan, mulai dari trah Soekarno hingga trah Jokowi. Game of Thrones ala Pilpres 2024?

More Stories

Cengkraman Tiongkok di Rempang?

Bisnis Tiongkok mulai disebut berada dalam pusaran polemik Rempang EcoCity. Bila memang benar, mengapa ini bisa terjadi? PinterPolitik.com Niatan pemerintah untuk menjadikan Pulau Rempang sebagai EcoCity...

Cyberpunk 2077: Game yang Bangkit dari Kubur 

socioloop.co  Video game bergenre role-playing game terbitan tahun 2020, yang bernama Cyberpunk 2077, baru saja mendapat update, sekaligus konten unduhan (DLC) yang besar. Yap, selain menyuguhkan...

Mengapa Playstation Lebih Populer dari Xbox? 

Socioloop.co  Dunia selalu dipenuhi dengan persaingan. Dalam politik internasional, ada rivalitas antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Dalam teknologi, ada Apple vs Microsoft. Menariknya, di...