HomeNalar PolitikKanjuruhan, Mengapa Jokowi Butuh FIFA?

Kanjuruhan, Mengapa Jokowi Butuh FIFA?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan akan merobohkan Stadion Kanjuruhan dan membangun ulang berdasarkan standar FIFA. Ini dilihat sebagai cara pemerintah memperbaiki sistem persepak bolaan Indonesia yang telah merenggut ratusan korban jiwa. Sudah tepatkah solusi tersebut?


PinterPolitik.com

Tragedi berdarah yang terjadi di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober silam mungkin menjadi peristiwa paling mengerikan yang menimpa Indonesia pada tahun 2022. Per 24 Oktober, total korban meninggal sudah mencapai 135 orang.

Terlepas dari seberapa banyak orang yang meninggal di tragedi itu, tragedi tetaplah tragedi, oleh karena itu, sudah sepantasnya pemerintah sebagai pihak yang wajib melindungi setiap warga negaranya mengusut kasus mengerikan ini sampai tuntas.

Sebagai gestur niatan pemerintah membenahi persepak bolaan Indonesia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 18 Oktober bertemu dengan Presiden Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA), Gianni Infantino. Sebagai salah satu hasil pertemuannya yang paling menarik, Jokowi memutuskan akan hancurkan stadion yang telah membunuh ratusan orang tersebut, kemudian membangun ulang berdasarkan standar stadion sepak bola yang diterapkan FIFA.

Dari sisi FIFA, Gianni juga mengatakan akan berkomitmen membantu Indonesia membangun kembali dunia sepak bolanya karena ia berpandangan ratusan juta masyarakat Indonesia berhak mendapatkan kualitas sepak bola sekaligus jaminan keamanan yang lebih baik.

Dengan lebih mengutamakan manajemen keamanan dan manajemen sekuriti, Jokowi menyebut Kanjuruhan yang baru akan jadi contoh bagi stadion-stadion lain, Jokowi menyebut ini adalah bagian dari perombakan sistem pengelolaan olahraga di Indonesia.

Keputusan Jokowi tersebut bahkan mendapatkan sorotan internasional. Media-media asing seperti CNN, Channel News Asia, dan The Strait Times turut memberitakannya.

Di dalam negeri, apa yang disampaikan Jokowi menuai sejumlah perdebatan, ada yang setuju karena melihat secara infrastruktur Stadion Kanjuruhan memang perlu dirombak, tapi banyak juga yang lempar kritik karena hal itu tampak tidak terlalu solutif.

Lantas, apakah keputusan Jokowi untuk menghancurkan Kanjuruhan bisa dibenarkan, atau ini ternyata adalah sebuah kesalahan?

image 116

Penghancuran, Pengalihan Kesalahan?

Ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan bahwa keputusan Jokowi untuk menghancurkan Kanjuruhan – sebagai bagian dari pembenahan sepak bola Indonesia- adalah sesuatu yang salah.

Pertama, Jokowi tampak telah melakukan sebuah kesalahan bernalar yang disebut straw man atau manusia jerami. Dijelaskan oleh Kenneth McMahon dan kawan-kawan dalam buku Introduction to Logic, kesalahan bernalar ini terjadi ketika kita berusaha menyerang atau membantah sesuatu.

Padahal, subjek yang sebenarnya tidak disentuh atau disangkal sama sekali. Singkatnya, seperti namanya, alih-alih memukul musuh dalam pertempuran, kita justru memukul manusia jerami atau orang-orangan sawah.

Baca juga :  Maruarar Sirait Resmi Gabung Gerindra?

Dari analogi manusia jerami ini, bisa kita nalarkan bahwa Jokowi tampak sangat yakin bahwa biang keladi dari tragedi Kanjuruhan adalah gedung stadionnya, padahal, seperti yang sudah diungkapkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), peran aparat dan penggunaan gas air mata juga sangat besar dalam kejadian tersebut. Dengan demikian, Stadion Kanjuruhan ibaratnya sudah dijadikan manusia jerami oleh Jokowi.

Tidak hanya itu, kekeliruan ini juga bisa menjadi indikasi dari apa yang disebut sebagai perangkap false cause. Bertha Alvarez Manninen dalam buku Bad Arguments: 100 of the Most Important Fallacies in Western Philosophy menjelaskan false cause adalah salah satu kekeliruan berpikir yang terjadi akibat kesalahan dalam mendeteksi akar masalah. Akibatnya, kekeliruan ini terjadi secara sistematis dalam melihat hubungan sebab-akibat dari suatu tragedi.

Terkait keputusan Jokowi soal tragedi Kanjuruhan, kembali lagi, sudah diketahui secara umum bahwa human factor atau faktor manusia berpengaruh besar. Infrastruktur gedung mungkin memang turut memperparah keadaan tetapi masalah yang sebenarnya bukanlah soal bentuk tangga atau pintu, melainkan lebih pada kenapa gas air mata ditembakkan dalam keadaan banyak pintu keluar yang tertutup. Dari penalaran yang sederhana saja orang-orang akan sadar bahwa tragedi ini bisa jadi begitu parah karena memang ada peran manusianya.

Keputusan Jokowi untuk menyalahkan infrastruktur hanya bisa sebagian dibenarkan bila pintu-pintu Stadion Kanjuruhan dijalankan secara digital, tanpa perlu dioperasikan manusia, karena itu bisa berarti ada malfungsi hardware atau korsleting-nya sejumlah alat teknologi.

Akan tetapi, kenyataannya tidak seperti itu. Kanjuruhan adalah stadion sederhana yang segala fungsionalitasnya langsung diakibatkan oleh orang-orang yang mengoperasikannya. Ini artinya Jokowi telah keliru memetakan sebab-akibat dalam tragedi Kanjuruhan.

Dan, bahayanya, keputusan Jokowi ini berpotensi berdampak besar secara sosial. R. Kent Weaver dalam tulisannya The Politics of Blame Avoidance menjelaskan bahwa pemerintah selalu memiliki kewenangan besar dalam menentukan siapa yang salah dan siapa yang tidak dalam suatu krisis. Karena itu, ketika pemerintah mulai menjalankan narasi tertentu dalam krisis tersebut tanpa turut menyoroti variabel lain yang terjadi di lapangan, maka keberlanjutan investigasi krisis tersebut juga berpotensi akan ikut terdorong narasi yang dimainkan.

Terkait kasus Kanjuruhan, dengan melibatkan FIFA dalam proses penanggulangannya, maka terbuka kemungkinan bahwa keberlanjutan penanganan kasus bisa saja akan digiring ke persoalan teknis infrastruktur, bukannya menitikberatkan human factor, yang kemungkinan besar justru jadi error terbesar dalam tragedi sepak bola yang begitu berdarah ini.

Lantas, bagaimana kita bisa merefleksikan wacana penghancuran stadion ini terhadap proses keseluruhan penelusuran tragedi Kanjuruhan?

Baca juga :  “Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?
image 117

Kanjuruhan Jadi Scapegoat?

Di dalam kehidupan, bukan hanya politik, ketika ada suatu tragedi yang terjadi tentu langkah pertama yang ingin diketahui seorang manusia adalah siapa yang paling bertanggung jawab. Selain menjadi jawaban, seseorang atau sesuatu yang bersalah juga dapat memberikan rasa puas atas rasa penasaran dan ketidakpastian orang yang terganggu akibat tragedi tersebut.

Namun sayang, terkadang justru ada yang disalahkan meskipun sebenarnya ia tidak berkaitan sama sekali, hanya karena dibutuhkan sesuatu atau seseorang untuk dijadikan tumbal agar gejolak politik atau sosial yang diakibatkan tragedi tersebut tidak berkembang secara liar. Fenomena seperti ini umumnya disebut sebagai scapegoat atau peng-kambing-hitam-an.

Rakibul Alam dalam tulisannya The Politics of Scapegoating menyebutkan bahwa ketika ada kebenaran yang tidak bisa diterima seseorang, maka mereka akan terdorong menciptakan kambing hitam, atau sesuatu yang bisa disalahkan. Seorang individu atau kelompok dapat menyalahkan, mengucilkan, atau membasmi kambing hitam tersebut untuk kemudian dijadikan sebagai klaim bahwa sumber dari semua masalah yang tengah dihadapi telah ditemukan dan pantas dilupakan secara bersama-sama.

Rakibul juga menekankan bahwa orang-orang yang terlibat dalam penentuan siapa atau apa yang perlu jadi kambing hitam akan merasakan “kelegaan dan penyembuhan” setelahnya. Singkatnya, peng-kambing-hitam-an adalah strategi yang tepat untuk menyelamatkan diri dari tanggung jawab menanggung penderitaan akibat sumber masalah yang sebenarnya.

Terkait konteks Kanjuruhan, jika memang penghancuran Stadion Kanjuruhan dianggap sebagai kambing hitam, hanya karena itu dianggap sebagai jawaban singkat yang paling aman risiko, maka sesungguhnya ini adalah sebuah blunder politik yang cukup besar. Pertama, keputusan Jokowi untuk merobohkan Kanjuruhan menyiratkan pesan pada publik bahwa Jokowi lebih khawatir dengan permasalahan teknis gedung daripada permasalahan human factor.

Kedua, karena dalam proses pengambilan keputusan perobohan dan pembangunan ulang Kanjuruhan Jokowi melibatkan FIFA, ini juga akan menjadi sebuah preseden buruk bagi anggapan publik tentang penanganan perombakan sepak bola Indonesia ke depannya, karena alih-alih menyelesaikan masalah kemanusiaan, pemerintah malah terkesan menjadikan tragedi ini sebagai peluang untuk menjalin hubungan bisnis yang lebih dekat dengan FIFA, apalagi di saat yang bersamaan organisasi sepak bola itu pun mengumumkan bahwa mereka akan membuka kantor cabang di Indonesia.

Akhir kata, tentu ini semua hanya interpretasi belaka yang semoga saja tidak sepenuhnya benar. Untuk ke depannya, besar harapannya pemerintah tidak mencari jalan pintas dalam penanganan tragedi Kanjuruhan karena, sepahit apapun kenyataannya, masyarakat Indonesia tetap berhak mendapatkan kebenaran dan keadilan. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

More Stories

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian?