HomeNalar PolitikJudi, Budi Arie dan Sambo

Judi, Budi Arie dan Sambo

Kecil Besar

Persoalan praktik judi di Indonesia sudah lama menjadi penyakit yang sulit disembuhkan. Mengapa bisa demikian?


PinterPolitik.com

Melalui film-film Hollywood, kita kerap dikenalkan pada sebuah kota “surga dunia” di Amerika Serikat (AS), bernama Las Vegas. Indahnya kota tersebut selalu digambarkan melalui terangnya lampu-lampu yang dipijarkan gedung-gedung kasino megah. Yess, gedung-gedung yang diisi serangkai permainan judi bertaruhkan hadiah bernilai jutaan dan bahkan miliaran dollar.

Meskipun judi adalah permainan yang diizinkan dan sangat digemari dalam beberapa negara di dunia, di negara kita judi menjadi hal yang ilegal sekaligus dipandang begitu negatif melalui pandangan sosial. Kendati demikian, ironisnya tindak perjudian justru sangat sering terjadi di negara kita.

Maraknya tindak perjudian itu sampai disoroti oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Budi Arie Setiadi, yang menyebut upaya untuk memberantasnya ibarat sebuah perjuangan melawan hantu: selalu dieksekusi tapi juga selalu muncul yang baru. Spesifiknya, walaupun sudah ada 846.047 konten judi online yang ditutup aksesnya sejak 2018, situs-situs judi online tetap saja bermunculan dan dimainkan oleh sejumlah warga Indonesia.

Tidak hanya itu, kekhawatiran akan normalisasi tindak perjudian belakangan juga disoroti setelah viralnya tangkapan media terhadap Cinta Mega, anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDIP yang diduga bermain aplikasi slot judi saat menghadiri sebuah rapat. 

Fenomena-fenomena ini lantas memancing pertanyaan yang begitu besar di tengah masyarakat. Kenapa tindakan yang katanya ilegal dan taboo tersebut bisa dimainkan dengan begitu marak oleh orang-orang Indonesia? 

Ini juga menarik untuk kita telusuri, utamanya karena beberapa waktu sebelumnya, sempat ramai pergunjingan kasus Ferdi Sambo dan isu “Konsorsium 303” yang disebut berkaitan dengan para bandar judi. Kaitan dunia judi dengan aparat penegak hukum ini lagi-lagi membuat pelik persoalan ini. 

Tentu pertanyaannya adalah bagaimana kaitannya dengan ambisi Budi Arie sebagai Menkominfo untuk memberantas judi itu sendiri secara keseluruhan? Mungkinkah ia berhasil melakukannya?

image 25

Sebuah Kebiasan Lama?

Sepertinya aman untuk diasumsikan bahwa sejak kita lahir kita sudah diajari orang tua dan lingkungan sekitar bahwa judi adalah praktik yang sangat tidak terpuji dan harus dihindari. Tentunya, ada percampuran antara nilai dan norma sosial, serta pengaruh agama dalam penciptaan stigma yang seperti itu.

Namun, persoalan kebiasaan judi dalam masyarakat tampaknya berusia lebih tua dari terbentuknya negara Indonesia itu sendiri. 

Sebuah kitab naskah Sastra Jawa Pertengahan yang berjudul Pararaton, dari abad ke-13 mampu menjadi testimoni bahwa kebiasaan berjudi adalah sesuatu yang sudah terjadi sejak ratusan tahun di Nusantara. Dalam naskah tersebut, dikisahkan bahwa Ken Arok, pendiri Dinasti Rajasa, awalnya menjalani kehidupan yang penuh dengan lika-liku perjudian.

Baca juga :  Tsunami PHK Incoming?

Selain kisah Ken Arok dalam Pararaton, kisah tentang perjudian di masa kuno juga diceritakan melalui cerita Mahabharata melalui relief Parthayajna di dinding-dinding Candi Jago di daerah Malang. Relief-relief tersebut menceritakan perjudian besar antara Duryodana dari Kurawa dan Yudhistira, yang mewakili Pandawa. Cerita tersebut diduga berasal dari abad ke-13 awal.

Menariknya, cerita-cerita judi dalam masa Jawa kuno seperti di atas membuat para arkeolog berpandangan bahwa judi adalah sesuatu yang lumrah dan bahkan dibolehkan oleh pemerintah kerajaan-kerajaan kuno Indonesia.

Namun, normalisasi judi tidak berhenti di masa kuno. Indonesia pun ketika zaman Orde Baru sebetulnya “melumrahkan” aktivitas perjudian.

Melansir dari Tirto, pada tahun 1979, pemerintah sempat mengeluarkan Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB) yang dijalankan oleh Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS). Program tersebut dijalankan dengan menjual kartu-kartu sumbangan seharga Rp200. Setelah itu, pembelinya akan memilih nomor undian. Jika beruntung, nomor yang didapatkannya bisa ditukar untuk mendapat uang yang jauh lebih besar. Bahkan, ada kemungkinan bisa menjadi puluhan juta.

Tidak hanya TSSB, pemerintah Orde Baru juga pernah menerbitkan Kupon Berhadiah Porkas Sepakbola (KPBS) pada Desember 1985. Dengan klaim untuk “sumbangan”, KPBS dijual ke publik untuk mengisi prediksi mereka tentang tim sepakbola Indonesia mana yang akan menang, kalah, atau seri, dalam suatu pertandingan. Dan layaknya TSSB, jika kita bisa menebak secara benar, maka akan ada hadiah uang jutaan rupiah.

Dari hal-hal tersebut, kita bisa asumsikan bahwa judi di Indonesia, dalam waktu yang sangat lama, sebetulnya dipandang sebagai sesuatu yang wajar. Bahkan, bisa katakan judi mungkin adalah sesuatu yang justru didorong oleh pemerintah. 

Well, bila kita meminjam pandangan studi tentang Romawi kuno, ada kemungkinan hal tersebut sebenarnya merupakan bagian propaganda yang disebut bread and games, atau roti dan permainan. Teknik ini berangkat dari kebiasaan kaisar Romawi yang menilai bahwa rakyat sebetulnya tidak perlu diberikan kebebasan berpolitik, karena mereka bisa dipuaskan hanya dengan diberikan makanan dan permainan.

Nah, sebuah pemerintah yang menerapkan taktik bread and games melihat bahwa kesenangan yang ditawarkan melalui permainan seperti perjudian mampu menjadi distraksi publik atas isu-isu lain. Oleh karena itu, probabilitas permainan seperti judi yang begitu adiktif sebagai sesuatu yang dijaga pemerintah sebetulnya sangat tinggi. Tentu, ini hanya interpretasi belaka, tapi tetap saja ini adalah hal yang menarik untuk kita jadikan perenungan.

Dengan pandangan yang demikian, pertanyaan besar kita adalah, apakah hal ini sebenarnya masih terjadi hingga sekarang? Well, melihat bagaimana judi mampu menawarkan profit yang tinggi serta manipulasi sosial yang besar, dugaan ini masih layak melayang-layang di benak pikiran kita.

Baca juga :  IHSG Down, 9 Naga to the Rescue?

Lantas, dengan fakta bahwa judi adalah kebiasaan yang sudah begitu mengakar di Indonesia, mampukah Budi Arie menyelesaikan permasalahan judi di Indonesia?

image 26

Too Big to Fall?

Satu fenomena menarik yang muncul setelah Menkominfo Budi membahas tentang maraknya judi di Indonesia adalah ia terkesan melempar beban perjudian ke negara-negara tetangga kita di Asia Tenggara. 

Ia bahkan menyebutkan bahwa besar dugaannya situs-situs judi online yang ramai dimainkan warga Indonesia merupakan situs buatan negara asing yang melegalkan praktik judi, bukan dari Indonesia, karena negara kita sudah tegas melarang perjudian. Tidak heran bila publik kemudian mengkritisi pernyataan Budi ini, karena ia terkesan terlalu menyederhanakan persoalan judi yang sedari dulu sudah marak di negara kita.

Well, sebelum Budi muncul, persoalan judi yang begitu masif di Indonesia sudah dicoba diselesaikan oleh pihak kepolisian melalui kasus Konsorsium 303, di mana nama mantan perwira tinggi Polri, yakni Ferdy Sambo, disebut menjadi pemimpinnya. 

Namun, sesuai perkembangannya, meskipun misi besar tersebut terlihat mulia dan ambisius, keseriusan aparat dalam mengusut tuntas “gembong judi” Indonesia itu dihujani kritik lantaran dinilai hanya meringkus bandar-bandar judi kelas teri, seperti yang diungkap Ketua Indonesia Police Watch, Sugeng Teguh Santoso. Sementara itu, bandar-bandar kelas kakap disebut sudah lari duluan, dan beberapa bahkan “tidak tersentuh”.

Hal ini tentu membawa kita kembali ke niatan Menkominfo Budi yang menyebut akan menyelesaikan persoalan judi di Indonesia. Kalau pihak kepolisian saja tampak terkendala untuk menuntaskan hal ini, bagaimana kemudian dengan seorang Menkominfo? Bisa jadi, misi itu adalah hal yang terlalu sulit untuk diselesaikan hanya oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) semata.

Tidak heran bila kemudian Budi melempar persoalan judi di Indonesia kepada negara-negara asing, karena bisa jadi ia pun menyadari bahwa masalah judi di Indonesia saat ini terlalu besar untuk ditaklukkan.

Sebagai perenungan akhir, mungkin kita bisa kembali berkaca pada kasus Cinta Mega yang tertuduh bermain judi online saat rapat. Kalau memang ia bisa dibuktikan berjudi, maka itu menjadi pesan kuat bahwa perjudian adalah sesuatu yang bisa dilumrahkan bila yang memainkannya memiliki kekuasaan.

Masalahnya, Cinta hanyalah seorang anggota DPRD, tentu pertanyaan kita adalah bagaimana dengan orang-orang lain yang lebih besar. Kembali lagi ke persoalan bread and games, bisa saja judi selama ini masih dianggap sebagai hiburan yang lumrah bagi mereka.

Pada akhirnya, besar harapannya wabah judi di Indonesia bisa benar-benar teratasi. Mungkin, di masa mendatang kita membutuhkan seorang pemimpin yang betul-betul punya solusi jelas untuk mengatasi persoalan ini. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Jokowi & UGM Political Lab?

Gaduh ijazah UGM Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang selalu timbul-tenggelam membuka interpretasi bahwa isu tersebut adalah "kuncian" tertentu dalam sebuah setting manajemen isu. Akan tetapi, variabel UGM sendiri juga sangat menarik, mengingat sebuah kampus nyatanya dapat menjadi inkubator bagi aktor politik di masa depan mengaktualisasikan idenya mengenai negara.

Nadir Pariwisata: Kita Butuh IShowSpeed

Kondisi sektor pariwisata Indonesia kini berada di titik nadir. Di balik layar kebijakan dan pernyataan resmi pemerintah, para pelaku industri perhotelan sedang berjuang bertahan dari badai krisis.

Prabowo dan Lahirnya Gerakan Non-Blok 2.0?

Dengan Perang Dagang yang memanas antara AS dan Tiongkok, mungkinkah Presiden Prabowo Subianto bidani kelahiran Gerakan Non-Blok 2.0?

Kongres, Mengapa Megawati Diam Saja?

Dengarkan artikel ini. Audio ini dibuat dengan teknologi AI. Kongres ke-6 PDIP disinyalir kembali tertunda setelah sebelumnya direncanakan akan digelar Bulan April. Mungkinkah ada strategi...

Di Balik Kisah Jokowi dan Hercules?

Tamu istimewa Joko Widodo (Jokowi) itu bernama Rosario de Marshall atau yang biasa dikenal dengan Hercules. Saat menyambangi kediaman Jokowi di Solo, kiranya terdapat beberapa makna yang cukup menarik untuk dikuak dan mungkin saja menjadi variabel dinamika sosial, politik, dan pemerintahan.

Prabowo dan Strategi “Cari Musuh”

Presiden Prabowo bertemu dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri pada Senin (7/4) kemarin. Mengapa Prabowo juga perlu "cari musuh"?

Hegemoni Dunia dan Misteri “Three Kingdoms” 

Di dalam studi politik internasional, perdebatan soal sistem seperti unipolarisme, bipolarisme, dan multipolarisme jadi topik yang memicu perbincangan tanpa akhir. Namun, jika melihat sejarah, sistem hegemoni seperti apa yang umumnya dibentuk manusia? 

The Game: PDIP Shakes the Cabinet?

Pertemuan Prabowo dan Megawati menyisakan tanda tanya dan sejuta spekulasi, utamanya terkait peluang partai banteng PDIP diajak bergabung ke koalisi pemerintah.

More Stories

Kongres, Mengapa Megawati Diam Saja?

Dengarkan artikel ini. Audio ini dibuat dengan teknologi AI. Kongres ke-6 PDIP disinyalir kembali tertunda setelah sebelumnya direncanakan akan digelar Bulan April. Mungkinkah ada strategi...

Hegemoni Dunia dan Misteri “Three Kingdoms” 

Di dalam studi politik internasional, perdebatan soal sistem seperti unipolarisme, bipolarisme, dan multipolarisme jadi topik yang memicu perbincangan tanpa akhir. Namun, jika melihat sejarah, sistem hegemoni seperti apa yang umumnya dibentuk manusia? 

PHK Indonesia, Waspada Sindrom Katak Rebus? 

Bahaya PHK masih terus mengancam Indonesia. Bagaimana kita bisa mengambil pelajaran besar dari permasalahan ini?