HomeNalar PolitikGanjar “Habis” Sebelum Berperang?

Ganjar “Habis” Sebelum Berperang?

Dengarkan artikel ini :

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 elektabilitas calon presiden (capres) nomor urut 3 Ganjar Pranowo terus mengalami penurunan. Jika ini terus terjadi bukan tidak mungkin Pilpres 2024 hanya akan berlangsung satu putaran saja. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang semakin dekat para pasangan calon (paslon) akan terus berlomba-lomba untuk merebut hati para pemilih.

Gambaran berhasil atau tidaknya strategi para paslon dalam merebut hati pemilih pun dapat di lihat dari hasil survei elektabilitas yang dilakukan beberapa lembaga.

Dalam survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada periode 30 Desember 2023-6 Januari 2024, misalnya, menunjukkan ketiga paslon memiliki tren elektabilitas yang berbeda-beda.

Posisi teratas tetap ditempati oleh paslon nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dengan angka 45,79 persen. Namun, meski berada di posisi paling atas, elektabilitas Prabowo-Gibran cenderung stagnan.

pdip aneh ragukan ganjar

Sementara itu, elektabilitas paslon nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar tercatat alami kenaikan dari 22,8 persen pada periode survei 23 November-1 Desember 2023 menjadi 25,47 persen di perioden 30 Desember 2023-6 Januari 2024.

Menariknya, paslon nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD terus mengalami penurunan dari 30 persen pada periode survei 27 Oktober-1 November 2023 menjadi 22,96 persen pada 30 Desember 2023-6 Januari 2024.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menilai jika paslon nomor urut 3 terus mengalami penurunan elektabilitas hingga di bawah angka 20 persen, bukan tidak mungkin Pilpres 2024 hanya akan berlangsung satu putaran.

Lantas, apa yang menyebabkan turunnya elektabilitas Ganjar-Mahfud?

Eksodus Dukungan?

Penurunan elektabilitas yang dialami oleh paslon nomor urut 3 tampaknya akan berdampak pada jalannya Pilpres 2024 secara keseluruhan.

Dampak elektoral penurunan dukungan terhadap paslon capres-cawapres dapat dikaji dengan berbagai teori politik. Salah satu teori yang relevan adalah teori realignment atau pergeseran politik.

Teori ini menyatakan bahwa perubahan signifikan dalam dukungan pemilih dapat mengarah pada restrukturisasi politik jangka panjang.

Baca juga :  Airin “Kawin Lari” dengan PDIP

Penurunan dukungan terhadap paslon capres-cawapres dapat menjadi sinyal perubahan politik yang lebih luas di masyarakat. Misalnya, pergeseran nilai-nilai politik, perubahan demografis, atau isu-isu penting yang mendominasi pemikiran publik.

Dalam konteks ini, pemilih mungkin beralih dukungan paslon lain yang lebih mencerminkan pandangan atau kepentingan baru.

Walter Dean Burnham dalam Critical Elections and the Mainsprings of American Politics memperkenalkan konsep pemilihan kritis yang menjadi bagian dari teori realignment.

Burnham menambahkan jika pemilihan kritis adalah pemilihan yang mengakibatkan perubahan signifikan dalam dukungan politik.

Penurunan elektabilitas Ganjar-Mahfud menunjukkan adanya pergeseran politik yang dapat berdampak signifikan pada jalannya Pilpres 2024 mendatang.

Hal ini kiranya dikarenakan mereka yang sebelumnya memilih Ganjar dapat beralih ke paslon lain, yakni Prabowo-Gibran.

Kemungkinan itu tampaknya bisa dipahami ketika melihat adanya fenomena politisi PDIP yang terkenal sebagai loyalis Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang melakukan eksodus ke Prabowo-Gibran.

Mereka diantaranya adalah Budiman Sudjatmiko, Efendi Simbolon, dan kemungkinan yang terbaru adalah Maruarar Sirait.

Dengan berpindahnya mereka ke kubu Prabowo-Gibran sedikit banyak kiranya juga akan memengaruhi para pemilih Jokowi di pilpres sebelumnya.

Selain itu, faktor lain yang tampaknya memengaruhi adalah sikap Prabowo-Gibran yang secara konsisten mengatakan akan melanjutkan program-program Presiden Jokowi.

Melihat tingkat approval rating Presiden Jokowi yang tinggi dan berada di angka 70 persen pada masa akhir jabatannya kiranya juga membuat para pemilih akan memilih paslon yang dinilai merepresentasikan Jokowi.

Sementara, pasangan Ganjar-Mahfud dinilai tidak konsisten merepresentasikan Jokowi yang sejatinya adalah kader dari PDIP yang juga partai pengusung Ganjar-Mahfud.

Dengan begitu, bukan tidak mungkin Pilpres 2024 kali memang bisa saja hanya berlangsung satu putaran.

Lalu, mengapa menurunnya elektabilitas Ganjar-Mahfud dapat berdampak terhadap kemungkinan Pilpres 2024 yang hanya akan berlangsung satu putaran saja?

kolaborasi 0103terbuka kembali wacana

Sebuah Efek Domino

Dengan adanya pergeseran dukungan dari pemilih Ganjar-Mahfud, hal ini kiranya akan menguntungkan paslon lain.

Baca juga :  Ini Aktor di Balik “Fufufafa” Gibran?

Teori kecocokan nilai atau value matching theory menjelaskan jika pemilih cenderung mendukung partai atau kandidat yang nilainya sejalan dengan nilai-nilai pribadi mereka.

Jika pemilih menganggap bahwa partai atau calon yang sebelumnya mereka dukung tidak lagi mencerminkan nilai-nilai mereka, mereka dapat beralih ke pilihan politik yang dianggap lebih konsisten dengan nilai-nilai tersebut.

Pasangan Ganjar-Mahfud tampaknya dinilai tidak lagi konsisten untuk mencerminkan sosok Jokowi hingga membuat pemilih yang sebelumnya menilai Ganjar adalah calon yang paling mencerminkan Jokowi merubah pilihannya.

Hal ini kiranya memperlihatkan jika pemilih yang awalnya setia dapat terdorong untuk mencari opsi lain, memicu perubahan signifikan dalam dinamika politik.

Dalam konteks turunnya elektabilitas Ganjar-Mahfud para pemilih tampaknya melihat Prabowo-Gibran sebagai opsi yang paling rasional untuk di dukung dengan berbagai alasan yang sudah disebutkan sebelumnya.

Dengan begitu, jika elektabilitas Ganjar menyentuh angka di bawah 20 persen, secara hitung-hitungan akan menguntungkan kubu Prabowo.

Menurut Burhanuddin Muhtadi, jika elektabilitas Ganjar 20 persen ditambah Anies 28 persen, maka totalnya 48 persen. Hal tersebut dapat memperlebar potensi Pilpres 2024 satu putaran yang mana dimenangkan Prabowo.

Namun, kubu Prabowo juga tetap harus mewaspadai peningkatan elektabilitas Anies yang terus meningkat, serta juga wacana kolaborasi kubu Anies dan Ganjar jika pilpres berlangsung dua putaran.

Avi Savar dalam tulisannya Nothing Brings A Team Together Like A Common Enemy, menjelaskan bahwa musuh bersama (common enemy) memiliki efek kuat dalam membentuk solidaritas dan memberikan motivasi.

Dengan adanya wacana kolaborasi, kubu Ganjar dan Anies kiranya akan melihat Prabowo sebagai musuh bersama yang harus dikalahkan.

Jika benar itu yang terjadi, maka mereka akan memiliki motivasi dan kekuatan yang lebih untuk melawan kubu Prabowo.

Dengan melihat segala skenario yang akan terjadi setelah adanya tren penurunan elektabilitas Ganjar-Mahfud menarik untuk menunggu kemungkinan yang terjadi jelang Pilpres 2024 nanti. (S83)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Mungkinkah Jokowi-Megawati CLBK?

PDIP dirumorkan akan segera bergabung dengan koalisi Prabowo. Mungkinkah ini bentuk CLBK antara Jokowi dan Megawati Soekarnoputri?

KADIN dan Kemenangan Tertunda Anin?

Terpilihnya Anindya Bakrie sebagai Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia menggantikan Arsjad Rasjid meninggalkan ruang tafsir atas adanya intervensi serta deal politik tertentu. Namun, benarkah demikian? Dan mengapa intrik ini bisa terjadi?

Ini Aktor di Balik “Fufufafa” Gibran?

Media sosial dibuat ramai oleh posting-an lama akun bernama Fufufafa. Sejumlah posts bahkan menjelekkan Prabowo Subianto dan keluarganya.

Digerogoti Kasus, Jokowi Seperti Pompey?

Mendekati akhir jabatannya, sejumlah masalah mulai menggerogoti Presiden Joko Widodo (Jokowi). Apakah ini artinya dukungan elite kepadanya mulai melemah?

Titip Salam dari Mega ke Prabowo: Menuju Koalisi?

Seiring dengan “audisi” menteri yang dilakukan oleh Prabowo Subianto untuk kementerian di pemerintahannya, muncul narasi bahwa komunikasi tengah terjalin antara ketum Gerindra itu dengan Megawati Soekarnoputri.

Menuju Dual Power Jokowi vs Prabowo

Relasi Jokowi dan Prabowo diprediksi akan menjadi warna utama politik dalam beberapa bulan ke depan, setidaknya di sisa masa jabatan periode ini.

Jokowi Dukung Pramono?

Impresi ketertinggalan narasi dan start Ridwan Kamil-Suswono meski didukung oleh koalisi raksasa KIM Plus menimbulkan tanya tersendiri. Salah satu yang menarik adalah interpretasi bahwa di balik tarik menarik kepentingan yang eksis, Pramono Anung boleh jadi berperan sebagai “Nokia”-nya Jokowi dan PDIP.

Trump atau Kamala, Siapa Teman Prabowo?

Antara Donald Trump dan Kamala Harris, siapa lebih untungkan Prabowo dalam menentukan arah kebijakan luar negeri Indonesia di masa depan?

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?