BerandaNalar PolitikErick Thohir, PLN, dan Monopoli Inheren

Erick Thohir, PLN, dan Monopoli Inheren

Sejumlah masyarakat di tanah air mengalami lonjakan tagihan listrik yang dirasa tak lazim. Lantas dengan kejadian yang bukanlah pertama kali terjadi ini, apa yang menyebabkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai satu-satunya penyedia energi listrik di Indonesia, dianggap acapkali mengecewakan pelanggannya?


PinterPolitik.com

Teguh Wuryanto, pemilik bengkel las asal Malang, pasti tak pernah bermimpi “disatroni” tagihan listrik puluhan juta rupiah. Nominal itu bahkan dua puluh kali lipat dari jumlah yang biasanya ia tunaikan kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Meskipun terjadi kejanggalan yang hakiki dan bahkan membuat geger linimasa, ironisnya Teguh tetap diwajibkan membayar tagihan yang mencapai Rp 20 juta tersebut. Realita ini terasa semakin menjengkelkan atau bahkan membuat publik geram, terutama mereka yang bukan pertama kalinya merasakan lonjakan tagihan yang tidak lazim seperti saat ini.

Justifikasi PLN yang kemudian dibela Istana bahwa dampak penggunaan listrik lebih dari biasanya dikarenakan lebih banyak aktivitas di rumah saat pandemi dinilai tidak sepenuhnya relevan dan tidak dapat digeneralisir.

Bayangkan saja, dari 70,4 juta pelanggan, tercatat sejumlah 34,5 juta pelanggan rumah tangga mengalami lonjakan tagihan mulai dari 20 hingga 200 persen.

Hal tersebut kemudian membuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti transparansi dan akuntabilitas PLN sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Wakil rakyat di Senayan berharap jangan sampai kecurigaan masyarakat akibat lonjakan tagihan dan ketidakterbukaan PLN menjadi tafsir yang semakin liar.

Pada faktanya, sentimen negatif yang tertuju kepada PLN tak hanya soal lonjakan tagihan listrik saat pandemi Covid-19 ini saja. Beberapa waktu silam, sejarawan J.J. Rizal sempat terpaksa membayar denda sebesar Rp 28 juta dikarenakan tudingan soal permainan meteran listrik yang sama sekali tidak dilakukan oleh yang bersangkutan.

Sejak saat itu, problematika ketidakberdayaan masyarakat ketika PLN telah bersabda dengan kiriman berbagai bentuk tagihan tak logis semakin mengemuka. Dengan sistem yang ada, entitas ini dinilai memiliki kecenderungan lebih untuk “disalahgunakan” atau “tersalahgunakan” yang ironisnya mengorbankan hajat hidup orang banyak.

Terlebih ketika informasi mengemuka mengenai keuangan PLN terkait utang sebesar Rp 35 triliun yang akan jatuh tempo pada tahun ini. Dalam konteks ini, apakah perusahaan BUMN tersebut memanfaatkan celah dan fleksibilitas kewenangannya demi kepentingan tertentu?

Natural Monopoly

Di sebagian besar negara, energi listrik memang menjadi domain dari perusahaan yang dikelola negara. Hal ini membuat hampir tidak ada opsi lain bagi masyarakat dalam pemenuhan energi yang telah menjadi kebutuhan dasar penunjang aktivitas manusia tersebut.

Konteks tersebut juga menjadi fokus George Springstein dalam tulisannya yang berjudul Government Regulation and Monopoly Power in the Electric Utility Industry. Springstein menyatakan bahwa utilitas terkait pemenuhan energi listrik di sebuah negara memiliki karakteristik natural monopoly atau monopoli alamiah.

Springstein menyoroti perusahaan listrik di Amerika Serikat (AS) yang memiliki kecenderungan monopoli yang tak bisa dihindari. Dampak negatif konteks monopoli ini menurut Springstein masih dapat terkendali dengan fundamental sistem dan regulasi yang kuat.

Namun demikian, apa yang menjadi pokok tulisan Springstein agaknya hanya tepat untuk merefleksikan karakteristik inheren natural monopoly ketika ditarik pada konteks PLN. Tendensi minor atau dampak negatif dari karakteristik monopoli yang belum dan telah mengemuka belakangan ini masih menjadi problematika tersendiri.

Lonjakan tagihan listrik tak logis serta beberapa kasus denda yang tak dapat terverifikasi dengan jelas penyebabnya masih jamak terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Pokok persoalannya ialah ketika permasalahan seperti yang telah disebutkan tersebut terjadi, hampir tidak ada transparansi dan akuntabilitas dari PLN di mana bermuara pada kerugian pelanggan yang pada semua kasus akhirnya terpaksa tunduk merugi karena tidak memiliki alternatif lain.

Dua kasus berbeda yang dialami Teguh Wuryanto dan J.J. Rizal seperti yang telah dijelaskan di awal merupakan sampel konkret dan tidak menutup kemungkinan kasus-kasus serupa yang dialami masyarakat yang mengarah pada indikasi adanya dampak negatif dari karakteristik inheren natural monopoly PLN yang tidak dikelola dengan baik.

Indikasi tersebut seolah menguat dengan informasi yang menjadi variabel lain yang silih berganti melengkapi persepsi publik. Kabar utang PLN sebesar Rp 35 triliun yang akan jatuh tempo pada tahun ini serta munculnya pasukan buzzer masif dalam #TagihanPLNOkSaja di linimasa twitter semakin menguatkan indikasi yang mengarah pada praduga minor tersendiri.

Lantas, apakah pada titik ini masyarakat harus terus pasrah ketika didatangi tagihan tak logis PLN? Dan apakah upaya konkret yang dapat pemerintah, dalam hal ini Menteri BUMN Erick Thohir, untuk mengatasi polemik yang membebani masyarakat tersebut?

Berharap pada Erick Thohir

Dalam rangka melindungi konsumen dari dampak negatif dari karakteristik inheren natural monopoly serta monopoly power perusahaan listrik negara itu sendiri, Springstein kemudian menaruh perhatian pada pembenahan sistem dan regulasi terutama terkait dengan antitrust policy atau kebijakan “antipakat”.

Di Amerika Serikat, karakteristik monopolistik dapat dihindari dengan penciptaan sistem yang baik dan penguatan regulasi yang komprehensif sehingga tercipta transparansi dan keterbukaan dalam mekanisme hubungan antara perusahaan penyedia layanan tunggal dengan konsumen. Mulai dari keberadaan Sherman Act Antittrust 1890 hingga adanya Federal Trade Commission Act (FTCA) yang dapat memaksa perusahaan tersebut menetapkan tingkat harga yang adil dan masuk akal.

 

Lalu, Kevin Ridder dalam The Problem with Monopoly Utilities berkesimpulan bahwa ketika energi alternatif atau opsi lain belum maksimal tercipta, satu-satunya jalan bagi kemaslahatan di sektor energi listrik ialah kebijakan antitrust yang kuat untuk mengiringi berbagai mekanisme perusahaan penyedianya.

Intisari tulisan Ridder pada konteks PLN merefleksikan fakta bahwa kebijakan dan regulasi antitrust memang telah ada di Indonesia dan memungkinkan untuk dirasionalisasi pada kasus-kasus terkait kerugian konsumen yang mengemuka belakangan ini.

Paling tidak instrumen relevan itu terdapat pada Undang-Undang (UU) No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Namun demikian, ketika sampai pada dinamika persoalan yang mengemuka sekarang, regulasi ini tampaknya belum maksimal sebagai “garansi” agar PLN seratus persen dapat memuaskan konsumennya, bahkan minimal tak mengecewakan.

Pada kulminasi inilah harapan publik terpatri di pundak Menteri BUMN Erick Thohir yang memang sedang gencar melakukan reformasi berbagai perusahaan plat merah.

Ketimbang menunggu proses panjang dari munculnya regulasi lain yang lebih kuat dalam menghindari karakteristik inheren natural monopoly PLN, manuver Erick dengan kewenangannya dinilai dapat menjadi jalan pintas konstruktif bagi perbaikan dan kemaslahatan bersama di tengah tantangan pandemi Covid-19 saat ini.

Bahkan dengan kewenangannya saat ini, Erick dapat menerbitkan senjata ampuh berupa Peraturan Menteri yang dinilai dapat segera membelenggu potensi berbagai bentuk kerugian konsumen PLN kemudian hari, serta memperbaiki citra PLN, BUMN, bahkan pemerintah sendiri secara umum.

Di tengah pandemi Covid-19 ini semestinya polemik tagihan listrik PLN yang jamak membebani rakyat tidak terjadi. Keseriusan pemerintah untuk segera membenahi ini tentu dinantikan dan dinilai akan sekaligus menjadi pertaruhan tersendiri.

Komitmen pemerintah dalam melakukan reformasi birokrasi pada berbagai sektor diharapkan dapat segera terasa pula pada sektor penunjang kemaslahatan rakyat Indonesia seperti ketersediaan energi listrik yang berkeadilan. Keadilan itulah yang diimpikan seluruh rakyat Indonesia saat ini. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Kemana Langkah Erick Selanjutnya?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Gemoy Effect Prabowo Seperti Bongbong Marcos di Filipina?

Kata “gemoy” menjadi istilah yang tengah naik daun dalam beberapa waktu terakhir, utamanya dikaitkan dengan kampanye Prabowo Subianto. Demam gemoy membuat citra Prabowo menjadi...

Siapa Capres Dukungan CIA di 2024?

Isu tentang kepentingan Amerika Serikat di sekitaran Pilpres 2024 memang menjadi salah satu perdebatan yang menarik di Indonesia. Secara spesifik, poin perbincangannya membawa-bawa nama...

Kritik Megawati, Bumerang Hantam PDIP?

Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri seolah mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) seperti era Orde Baru (Orba). Namun, kritik ini tampaknya justru menjadi...

Anies ‘Perubahan’, Prabowo ‘Keberlanjutan’, Ganjar?

Masing-masing capres telah usung temanya masing-masing. Anies bawa Perubahan. Prabowo bawa Keberlanjutan. Bagaimana dengan Ganjar?

Pemilih Bimbang Perlu Belajar Machiavellianisme?

Swing dan undecided voters masih menghantui Pemilu 2024. Tidak sedikit di antara mereka yang bingung memilih karena melihat semua kandidat “sama buruknya”. Bagaimana kita bisa merubah pola pikir yang seperti ini? 

Tetap Pede, Jokowi’s Anomaly?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) unggah foto artikel koran berjudul "Indonesia Builds Superpower Dreams". Menjelang 2024, Jokowi tetap pede?

AS Sudah Tidak Mampu “Jaga” Dunia?

Di era yang awalnya disebut sebagai era perdamaian, kita kini sekarang berhadapan dengan tensi-tensi geopolitik yang semakin berbahaya. Apakah ini merupakan pertanda buruk akan datangnya sebuah mala-bahaya geopolitik global? 

Pilpres 2024 Hampir Pasti Ganjar vs Prabowo?

Salah satu pendiri CSIS Jusuf Wanandi menyebut Pilpres 2024 akan diisi oleh dua paslon. Dengan PDIP secara terang-terangan menginginkan dua paslon, apakah pernyataan Jusuf...

More Stories

“Gorengan” Isu HAM Anies-Ganjar Tak Laku?

Isu pelanggaran HAM dan visi-misi terkait selalu muncul, setidaknya di tiga edisi Pilpres terakhir. Kali ini, kubu Prabowo Subianto yang kerap disudutkan kiranya bisa...

“Politik Dinasti” Sebenarnya Formula Terbaik? 

Jika dilihat secara komprehensif, praktik politik dinasti nyatanya terjadi hampir di tiap daerah di Indonesia. Suka atau tidak, hal itu tampaknya juga menjadi formula...

“Manipulasi Impresi” Anies-Imin Berhasil? 

Komposisi Timnas Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar tampak cukup moderat dan mewakili semua kalangan serta latar belakang. Namun, postur tim pemenangan yang begitu besar agaknya akan...