HomeNalar PolitikErick Thohir, Capres yang Ditumbalkan?

Erick Thohir, Capres yang Ditumbalkan?

“Politics requires sacrifice. The sacrifice of others, of course.” – Michael Dobbs, Politisi Inggris

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir merupakan salah satu calon presiden (capres) potensial 2024 yang berasal dari lingkar dalam kekuasaan. Mungkinkah sejumlah isu BUMN yang belakangan bermain – seperti kenaikan harga BBM dan wacana kompor listrik – berkaitan dengan prospek Erick di 2024 nanti?


PinterPolitik.com

Siapa yang tidak setuju Indonesia belakangan ini tampak semakin banyak dilanda permasalahan? Banyak isu di pemerintahan dan pengambilan kebijakan menjadi sorotan publik – mulai dari kasus Ferdy Sambo yang belum kunjung tuntas, peretasan data pejabat-pejabat, hingga kenaikan sejumlah harga jasa dan barang-barang penting.

Terkhusus poin yang terakhir, sepertinya itu layak mendapatkan sorotannya tersendiri karena dampaknya yang langsung dan sangat terasa oleh masyarakat. Di media sosial, kita bisa lihat sendiri banyaknya komentar pesimis dari warganet akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi, yakni Pertalite dan Solar. Selain karena membuat mereka perlu lebih mengeluarkan banyak uang untuk aktivitas sehari-hari, kenaikan harga BBM juga berdampak pada naiknya sejumlah harga sembilan bahan pokok (sembako).

Terbaru, kini desas-desus soal BBM juga mulai merambah ke hal yang konspiratif. Belakangan, banyak yang percaya bahwa setelah harga BBM naik, bensin yang mereka gunakan terasa seperti semakin boros. Terlepas dari benar atau tidaknya, yang jelas berita seperti ini membuat sentimen negatif terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertugas menjual BBM, PT Pertamina, semakin meningkat.

Akan tetapi, obrolan negatif tentang produk-produk BUMN tidak hanya soal BBM dan Pertamina saja. Dalam beberapa minggu terakhir ini, perbincangan tentang daya listrik juga sempat buah bibir masyarakat – terkhususnya setelah ada wacana penghapusan listrik 450VA dan dorongan penggunaan kompor listrik.

Dan kembali lagi, walau pada akhirnya wacana pemerataan kompor listrik dibatalkan oleh PLN, Menteri BUMN Erick Thohir telah mengklarifikasi tidak ada niat pemerintah menghapus listrik beraliran 450VA. Kita tidak bisa pungkiri bahwa tekanan opini publik beberapa bulan terakhir sepertinya cukup keras pada perusahaan-perusahaan pelat merah Indonesia.

Sebagai menteri yang berhubungan langsung dalam urusan-urusan BUMN, maka wajar bila kita pertanyakan dampak yang bisa terjadi pada karier politik eks-bos klub sepakbola Inter Milan tersebut. Terlebih lagi, Erick adalah salah satu kandidat calon presiden (capres) potensial yang belakangan cukup sering dibicarakan orang-orang dan lembaga-lembaga survei.

Lantas, bagaimana kacamata politik bisa menerjemahkan berbagai polemik yang terjadi pada BUMN beberapa waktu terakhir dengan nasib Erick sebagai capres di 2024 nanti?

image 5

Ada yang Didorong, Ada yang Ditumbalkan?

Dalam perpolitikan Indonesia, ada beberapa hal yang dianggap dapat menentukan sukses atau tidaknya seorang capres dalam pemilihan umum (Pemilu). Seperti yang sudah disebutkan dalam artikel PinterPolitik.com berjudul Dua Langkah Lagi Andika Jadi Presiden?, selain elektabilitas dan kekuatan kapital, seorang capres yang kuat juga perlu mengamankan dukungan dari partai politik (parpol) besar, massa Islam, dan militer.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Nah, kalau melihat keadaannya sekarang, cukup relevan bila kita mengatakan bahwa tiga hal tersebut kini berada di dalam lingkar dalam kekuasaan (pemerintah). PDIP – partai dengan kursi terbesar di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) – memiliki kedekatan personal dengan beberapa pemegang jabatan penting, seperti Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri dan beberapa pejabat instansi penting.

Kemudian, untuk massa Islam, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pun sangat dekat dengan lingkar dalam kekuasaan, contohnya melalui Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Lalu, untuk militer, sesuai dengan yang sudah dijelaskan dalam artikel PinterPolitik.com berjudulMengapa PDIP Amankan Andika?, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Andika Perkasa juga disebutkan memiliki kedekatan dengan partai berlambang banteng dengan moncong putih tersebut.

Oleh karena itu, peran lingkar dalam kekuasaan dalam menyambut Pilpres 2024 nanti sesungguhnya sangat besar. Dengan demikian, bisa kita nalarkan bahwa apa yang sedang dinarasikan pemerintah, tinggi kemungkinannya sangat berkaitan dengan Pilpres, termasuk dalam memunculkan masalah negara dan masyarakat.

Fenomena ini bisa dijelaskan melalui tulisan Leopoldo Fergusson berjudul The Need for Enemies. Di dalamnya, Fergusson mengatakan bahwa pemerintah tidak hanya seringkali menciptakan musuh politiknya sendiri, tetapi besar dugaannya mereka juga mengelola suatu permasalahan besar di negaranya. Pengelolaan ini dilakukan agar mereka tidak menjadi masalah yang lebih besar tetapi, di saat yang bersamaan, juga dikelola agar masalahnya tidak pernah selesai.

Fergusson menilai bahwa beberapa permasalahan besar negara memang sengaja tidak dicarikan solusinya. Ini tujuannya adalah agar masalah tersebut bisa dikapitalisasi secara politik untuk kepentingan para capres yang dipersiapkan.

Di Amerika Serikat (AS), contoh-contoh masalah yang selalu muncul di tiap pemilu adalah tentang sistem perumahan yang adil, dan permasalahan rasial. Nah, mirisnya, agar masalah tersebut bisa terus ada, maka sejumlah pemegang jabatan dalam pemerintahan perlu jadi korbannya.

Kalau permasalahan soal sistem perumahan di AS mungkin akan menumbalkan Departemen Perumahan dan Pembangunan Perkotaan, maka kalau di Indonesia, dengan isu BBM yang selalu terus ada, sepertinya Kementerian BUMN yang jadi sasarannya.

Jika dugaan ini benar, maka kita bisa mengorelasikannya dengan apa yang dikatakan Ketua Umum (Ketum) Application and Cyber Watch Adli Bahrun dalam kutipan artikel PinterPolitik.com yang berjudul Mengapa Belakangan Banyak “Pengalihan Isu”?.

Di dalamnya, telah dijelaskan bahwa lingkar dalam kekuasaan sepertinya memiliki tiga jenis kandidat capres. Pertama, adalah kandidat yang secara eksplisit telah dipersiapkan; kedua, adalah kandidat alternatif yang bisa diuntungkan dengan isu yang sedang dimainkan; ketiga, adalah kandidat yang ditumbalkan karena isu yang sedang terjadi.

Kalau melihat dari tiga jenis kandidat tersebut, maka bisa dinalarkan bahwa Erick Thohir selaku Menteri BUMN sepertinya hampir menjadi kandidat yang ditumbalkan. Narasi tentang BBM dan listrik bisa dengan sangat brutal dipermainkan, karena kedua hal ini sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Namun untungnya, sepertinya “bola liar” BBM dan listrik sudah dihentikan sebelum berkembang menjadi lebih besar dan menyakiti karier politik Erick Thohir.

Baca juga :  “Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Dari penjelasan ini, mungkin ada yang masih bertanya-tanya. Sebenarnya, seberapa lumrah politik tumbal suatu pemerintahan, untuk tujuan politik praktis?

image 4

Politik Menentukan Hidup dan Mati

Dinamika dalam politik terjadi dengan cepat dan sering kali tidak terduga. Dan karena subjek utama dalam suatu eksperimen politik adalah manusia itu sendiri, maka tampaknya “penumbalan” politik adalah sesuatu yang bisa diperkirakan akan terjadi.

Achille Mbembe dalam bukunya Necropolitics, bahkan menjelaskan penumbalan politik dengan lebih mendalam. Mbembe menilai bahwa sejumlah kebijakan pemerintah memang selalu melalui pertimbangan menentukan siapa yang berhak hidup dengan sejahtera dan siapa yang harus mati atau sengsara. Terkait rasisme ketika era perbudakan, misalnya, jelas bahwa nilai hidup seseorang kulit putih saat itu dianggap lebih berharga jika dibandingkan dengan hidup orang yang berkulit hitam.

Konsep dasar necropolitics, kata Mbembe, masih hidup dengan subur dalam perpolitikan hari ini, bahkan ia juga menilai hal tersebut sekarang mungkin dijalankan dengan lebih “sadis” dibandingkan dengan zaman dahulu. Hal ini karena di zaman sekarang orang yang disebut “mati” secara politik tidak hanya berarti orang itu dilukai secara fisik, tetapi juga dimatikan karier politiknya.

Sekarang ini, dengan semakin terbukanya informasi, pihak yang berkuasa bisa dengan sangat mudah membunuh kehidupan politik dan sosial seseorang. Dan yang membuatnya lebih mengerikan dari hukuman mati adalah orang yang dibunuh secara politik akan terus mendapatkan sentimen negatif sehingga akhirnya ia meninggal secara fisik nantinya. Mbembe menyebut hal ini dengan istilah “living dead”, di mana ada seseorang sudah mati secara politik dan sosial, tetapi fisiknya masih terus hidup.

Penjabaran Mbembe tentang necropolitics juga mengajarkan pada kita bahwa prinsip siapa yang perlu dipertahankan agar tetap hidup dan siapa yang bisa “dibuang” begitu kental dalam suatu pemerintahan. Kekuatan politik mampu memberikan seseorang kapasitas untuk menentukan siapa yang bisa dikorbankan dan siapa yang tidak, tentunya dengan pertimbangan bahwa keputusan tersebut dapat menguntungkan sebuah agenda politik besar.

Oleh karena itu, dengan adanya logika seperti ini, untuk membayangkan bahwa Erick Thohir adalah seorang capres yang berpotensi dikorbankan untuk agenda politik yang besar sepertinya bukanlah hal yang terlalu imajinatif. Terlebih lagi, Erick juga sempat mendapat sentilan personal PDIP – khususnya dari kader Junimart Girsang – karena terlihat terlalu “nakal” bermain narasi capres.

Well, pada akhirnya tentu ini semua hanyalah interpretasi belaka. Terlepas dari benar atau tidaknya dugaan ini, kita hanya bisa berharap segala permainan politik besar yang sedang dimainkan tidak merugikan kehidupan masyarakat Indonesia. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?

More Stories

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Hasil tidak memuaskan yang diperoleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) dalam versi quick count Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 (Pilgub Jakarta 2024) menjadi pertanyaan besar. Mengapa calon yang didukung koalisi besar tidak tampil dominan?