Belakangan ini semakin banyak isu besar yang bermain. Agenda politik apa sebenarnya yang tersirat di balik isu-isu tersebut?
Siapa yang tidak setuju belakangan ini media semakin diramaikan oleh banyaknya isu besar? Belum juga sampai pada konklusi akhir kasus Ferdy Sambo, tiba-tiba saja kita disuguhkan kabar menghebohkan lain, yakni kenaikan harga BBM jenis Pertalite, Solar, dan Pertamax.
Kenaikan BBM pun bukan isu besar yang terbaru karena, tidak lama setelahnya, publik juga dikagetkan oleh berita sejumlah peretasan yang dilakukan sebuah entitas digital bernama Bjorka.
Perbincangan soal Bjorka tersendiri menjadi sangat menarik karena serangan yang tadinya hanya berupa peretasan saja telah berubah menjadi aksi politik karena peretasan semakin diarahkan pada tokoh-tokoh politik besar. Karena itu, tidak heran bila saat ini banyak orang yang memberi perhatian pada perkembangan berita Bjorka.
Di balik itu, kita juga tidak boleh melupakan sejumlah isu besar lain yang bermain di belakang layar. Contohnya adalah kenaikan harga telur ayam, wacana tambahan anggaran Ibu Kota Negara (IKN), dan keprihatinan terhadap ancaman inflasi.
Sebagian orang yang mulai menyadari bahwa sudah terlalu banyak isu yang bergulir saat ini akan mengatakan bahwa berita-berita besar yang beredar adalah pengalihan isu. Well, terlepas dari benar atau tidaknya dugaan seperti ini, kita memang tidak bisa pungkiri bahwa perhatian publik berhasil terpecah – bahkan ketika suatu isu belum mencapai kesimpulan akhirnya.
Tapi pertanyaan besarnya adalah, jika masing-masing isu besar yang beredar dianggap sebagai pengalihan isu, mengapa pengalihan tersebut datang secara bertubi-tubi. Kira-kira, apa sebenarnya motif tersembunyi di balik pengalihan-pengalihan isu tersebut?
Masalah Negara Adalah Komoditas Politik?
Sebelum kita bahas lebih lanjut, perlu ada sebuah penyelarasan kesepahaman terlebih dahulu tentang bagaimana sebenarnya sebuah pengalihan isu bekerja.
Artikel PinterPolitik.com berjudul Kok Bisa Ade Armando Digebukin?, pernah membahas bahwa, di dalam dunia politik, ada sebuah tindakan yang disebut manajemen isu dan seringkali sifat manajemen isu yang terjadi di masyarakat didasarkan pada sebuah metode yang disebut noise-cancelling technique.
Teknik ini terinspirasi dari sebuah teknologi dalam dunia sains bernama Active Noise Control (ANC), yakni sebuah metode yang digunakan untuk mengurangi kebisingan suara yang tidak diinginkan dengan menambahkan suara tandingan yang dirancang khusus untuk membatalkan suara pertama.
Nah, di dalam politik, metode tersebut hampir serupa. Ketika sebuah isu sudah mendapatkan perhatian yang begitu besar, maka untuk mencegahnya mengristalisasi menjadi isu yang lebih berbahaya maka suatu pihak melempar isu lain dengan tujuan agar dapat memecah perhatian publik.
Konteks peralihan isu ini pun tidak selalu tentang perekayasaan isu, tetapi juga bisa saja ada aksi penunggangan isu. Dalam artian, mungkin sebenarnya isu yang terjadi sifatnya tidak terlalu menghebohkan, tetapi setelah di-manage sekian rupa isu tersebut berubah jadi besar dan mampu menarik perhatian rakyat.
Terkait Ferdy Sambo, misalnya, seperti yang sudah dibahas dalam artikel PinterPolitik.com berjudul Kasus Ferdy Sambo Sengaja Ditumpangi?, ada dugaan bahwa kasus tersebut tengah dieksploitasi untuk mengalihkan perhatian publik dari sejumlah isu besar yang bisa mengkristal dengan berbahaya, contohnya seperti perbincangan tentang kenaikan BBM dan inflasi.
Namun, karena belakangan semakin banyak isu besar yang bermain, maka tampaknya kerangka manajemen isu yang terjadi saat ini jauh lebih kompleks dari hanya sekedar melempar isu besar untuk menutupi isu besar lain. Maka dari itu, maka mungkin kita perlu merefleksikannya dengan sesuatu yang disebut Huxleyan Dystopia.
Istilah Huxleyan Dystopia diambil dari dunia dystopia (dunia kelam) yang dibayangkan penulis Aldous Huxley dalam bukunya yang berjudul Brave New World. Di dalam buku itu, Huxley mengimajinasikan sebuah pemerintahan di masa depan yang mengontrol masyarakatnya dengan membanjiri informasi.
Melalui tumpahan informasi dan isu, akan tercipta kondisi disinformasi yang begitu masif, yang mampu membuat masyarakat tidak bisa membedakan mana informasi yang semestinya dipercaya dan mana yang tidak. Konsekuensinya, metode pembanjiran informasi ini melahirkan kondisi masyarakat yang justru tak acuh terhadap informasi karena rakyat menjadi pasif dan apatis.
Nah, terkait konteks fenomena yang terjadi saat ini, tampaknya cukup masuk akal bila kita membayangkan bahwa tengah ada upaya menjadikan Huxleyan Dystopia sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi di Indonesia. Di kolom komentar postingan-postingan akun Instagram milik PinterPolitik (@pinterpolitik) sendiri bahkan sudah mulai ada yang mengeluh saat ini sudah terlalu banyak isu yang perlu mereka perhatikan, sehingga akhirnya mereka merasa malas mengejar update dari isu tersebut.
Lantas, jika upaya pendengungan isu yang berlebihan kini memang sedang terjadi, untuk apa hal tersebut dilakukan? Apakah murni hanya untuk mencegah kristalisasi isu?
Well, dugaan besarnya tidak. Leopoldo Fergusson dalam tulisannya The Need for Enemies menjelaskan bahwa ada dugaan tinggi isu-isu besar yang terjadi dalam suatu negara sebenarnya bermakna sebagai sebuah komoditas politik.
Di Amerika Serikat (AS), misalnya, di dalam setiap pemilihan umum (pemilu) para politisi di sana hampir selalu berbicara tentang hak perumahan yang adil, kesetaraan hak asasi manusia (HAM), dan kesetaraan gender. Namun, sejak puluhan tahun yang lalu, isu-isu ini belum pernah menemukan solusi yang pas. Karena itu, Fergusson menduga bahwa sepertinya memang ada sebuah manajemen isu yang sengaja membuat suatu permasalahan tetap terjadi agar bisa terus digunakan sebagai komoditas politik.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Karena di mana pun politik selalu berputar tentang strategi mencapai dan menjaga kekuasaan, maka sebenarnya apa yang disampaikan Fergusson sangat mungkin terjadi.
Yang menariknya, Fergusson juga menyebut bahwa ada kemungkinan pemerintah sebenarnya sudah mengetahui solusi dari suatu permasalahan yang terjadi, namun dengan sengaja tidak mengeluarkan solusi tersebut karena menunggu momen yang tepat. Terkait Bjorka, bisa saja Badan Intelijen Negara (BIN) memang sudah mengetahui identitas aslinya. Lalu, terkait BBM, bisa saja sebenarnya solusinya ada di pengurangan sejumlah anggaran sektor lain.
Lantas, jika interpretasi ini benar, maka kira-kira momen tepat seperti apa yang menunggu di balik semua isu besar yang terjadi saat ini?
What’s the endgame?
Isu Sebagai Jembatan Kandidat?
Everett Rogers dan James W. Dearing dalam buku Agenda-setting, menyebutkan bahwa media, audiens, dan para pembuat kebijakan selalu memiliki keterikatan antara satu sama lain dalam menentukan sukses atau tidaknya suatu agenda politik.
Isu-isu yang dimunculkan dalam media memiliki tujuan untuk mempersiapkan persepsi publik dalam menyambut sebuah agenda politik, dan agenda tersebut tentunya sudah disesuaikan dengan kepentingan praktis yang ingin dicapai oleh para pemegang kepentingan. Lalu, kepentingan praktis besar apa yang sekiranya sedang ingin dicapai para politisi belakangan ini?
Well, salah satu jawabannya adalah persiapan kandidat calon presiden (capres) 2024. Kalau kita perhatikan, isu-isu besar yang saat ini bermain menyentuh setidaknya empat permasalahan besar, yakni ekonomi, hukum, pertahanan, dan kesiapan ekosistem digital.
Maka dari itu, jika agenda-setting ala Rogers dan Dearing memang sedang dilakukan, bisa saja isu-isu yang terjadi saat ini memang dipelihara agar nantinya dapat diselesaikan oleh seorang kandidat yang memang memiliki keahlian dalam bidang tersebut.
Anggapan demikian juga disampaikan oleh Adli Bahrun, Ketua Umum (Ketum) Application and Cyber Watch. Ia bahkan menyebutkan bahwa di balik isu-isu yang digodok belakangan ini, sepertinya ada tiga jenis kandidat yang tengah dipersiapkan Istana. Pertama, adalah kandidat yang memang secara eksplisit sudah disiapkan; kedua, adalah kandidat alternatif namun cukup berkaitan dengan isu yang sedang dimainkan; ketiga, adalah kandidat yang ditumbalkan karena isu yang sedang terjadi.
Terkait kandidat tipe pertama, mungkin kita perlu mulai melihat korelasi antara isu-isu besar yang terjadi dengan kandidat relevan yang memang umumnya masuk radar capres. Isu soliditas TNI dan pertahanan mungkin bisa ke Prabowo Subianto dan Andika Perkasa. Kemudian, kesiapan ekonomi serta ekosistem digital mungkin bisa ke Sandiaga Uno.
Kemudian untuk kandidat tipe kedua, ini mungkin lebih sulit, tapi setidaknya kita bisa mulai meraba-raba. Terkait permasalahan ekonomi, Sri Mulyani bisa jadi pilihan menarik yang tak diduga banyak orang, kemudian untuk pertahanan, mungkin bisa digunakan oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Lalu, untuk persoalan ekosistem digital beserta ekonomi, bisa juga ini sebenarnya diarahkan kepada Nadiem Makarim, sebagai pendiri big tech besar Indonesia, Gojek.
Lalu, untuk kandidat ketiga, yakni yang ditumbalkan, dari isu yang sekarang beredar sepertinya kita bisa simpulkan gelar tersebut jatuh kepada Erick Thohir selaku Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), khususnya setelah harga BBM Pertamina melonjak.
Pada akhirnya, ini tentu hanyalah interpretasi belaka. Seperti apapun agenda di balik isu yang sedang bermain di Indonesia, kita harap saja permasalahan yang kini terjadi bisa diselesaikan dengan akurat, tepat, dan cepat. (D74)