HomeNalar PolitikDi Balik Puan-Moeldoko vs JK-AHY

Di Balik Puan-Moeldoko vs JK-AHY

Baru-baru ini beredar poster deklarasi dukungan Puan-Moeldoko sebagai Capres-Cawapres. Tidak berselang lama, poster serupa yang memasangkan Jusuf Kalla (JK) dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) juga mencuat. Ada apa di balik kemunculan kedua poster tersebut?


PinterPolitik.com

“Berbagai macam ancaman yang muncul sebaiknya dihadapi dengan suatu political will yang proporsional yang terukur dan tidak over dosis, agar bisa efektif dan tidak menimbulkan dampak negatif atau kontra-produktif.” – Irawan Sukarno, dalam buku Aku “Tiada” Aku Niscaya: Menyingkap Lapis Kabut Intelijen

Kisruh kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan kubu Moeldoko terus memanas. Belakangan ini AHY terlihat melakukan safari politik, yang mudah ditebak, ditujukan untuk mendulang dukungan. Safari paling menarik adalah ketika mengunjungi Jusuf Kalla (JK).

Poin menariknya bukan karena ketokohan JK, melainkan sosoknya yang dipercaya masih memiliki pengaruh kuat dalam percaturan politik nasional. Konteks ini dapat ditarik dari pengakuan JK pada Desember tahun lalu.

Ketika diwawancarai oleh Pemimpin Redaksi Berita Satu, JK mengaku berperan dalam pencalonan Anies Baswedan pada Pilgub DKI Jakarta 2017. Bayangkan saja, 12 jam sebelum penutupan pendaftaran, mantan Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar ini menelepon Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketum PKS, serta berhasil meyakinkan mereka untuk mendukung Anies.

Tidak heran kemudian, terdapat analisis yang menyebutkan AHY tengah berusaha meminta bantuan JK dalam perkara yang kini tengah dihadapinya.

Baca Juga: JK, Juru Selamat AHY?

Tidak hanya AHY, Moeldoko juga disinyalir tengah melakukan operasi serupa. Pada 15 Maret, koran Tempo bahkan menyebutkan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) tersebut telah bertemu dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Kabar ini langsung ditepis oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto.

Yang lebih menarik adalah, baru-baru ini beredar poster dukungan deklarasi Capres-Cawapres. Tertulis dilaksanakan di JW Marriott Hotel, Surabaya, pada 29 Maret, Puan Maharani dan Moeldoko akan dideklarasikan menjadi Capres dan Cawapres. Kubu Moeldoko dan PDIP kompak menampik poster ini.

Tidak berselang lama, poster serupa juga menyandingkan JK dan AHY sebagai Capres-Cawapres. Mudah ditebak, kubu AHY membantah keras serta menyebut sedang ada pihak yang menebar fitnah dan kabar bohong.

Lantas, intrik politik apa yang sekiranya terjadi di balik kedua poster tersebut?

Tes Ombak?

Sekilas, seperti yang dicetuskan oleh berbagai pengamat politik, mudah untuk menyimpulkan bahwa itu adalah “tes ombak” atau strategi trial balloon yang ditujukan untuk memetakan reaksi publik ataupun reaksi PDIP dan JK.

Jika PDIP dan JK merespons positif, itu dapat dimanfaatkan untuk penjajakan koalisi. Mengutip Andri Wang dalam bukunya The Art of War: Menelusuri Strategi dan Taktik Perang ala Sun Zi, strategi tersebut dapat kita lihat dari nasihat perang Sun Tzu berikut, “Jadi, jenderal dan komandan lapangan yang berbakat harus mampu mengambil persediaan pangan dan makanan kuda yang bersumber dari musuh setempat.”  

Maksudnya adalah, daripada menambah logistik dari negara sendiri yang dapat membuat negara miskin, jauh lebih bijak menambah logistik dengan mengambil logistik negara lain, khususnya negara musuh. Dalam konteks poster deklarasi, itu adalah upaya untuk mendapatkan logistik kekuatan politik dari PDIP atau JK.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Namun pertanyaannya, mungkinkah poster-poster tersebut hanyalah strategi trial balloon semata?

Dalam tulisan PinterPolitik sebelumnya, Operasi Intelijen di Balik Kudeta Demokrat dan AHY Hanyalah Mangsa Pertama?, telah diuraikan operasi intelijen yang sedang dilakukan dalam upaya mengkudeta kepemimpinan AHY di Partai Demokrat.

Sampai saat ini, tahap operasi intelijennya sudah mencapai tahap “percerai-beraian” dengan cara membuat Kongres Luar Biasa (KLB) dan sedang menjajaki tahap “pengingkaran” dengan usaha mendaftarkan hasil KLB di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

Operasi Intelijen Ganda?

Menyikapi perkembangan perseteruan kubu AHY dengan kubu Meoldoko yang sampai mencuatkan poster-poster deklarasi, komentar menarik datang dari pakar isu militer dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi.

Menurut Fahmi, operasi intelijen sejatinya tidak tunggal. Secara garis besar, terdapat “operasi prosedur” dan “operasi pengamanan prosedur”. Operasi prosedur adalah operasi yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan operasi pengamanan prosedur adalah operasi yang dilakukan untuk memastikan mulusnya operasi prosedur, khususnya untuk menghilangkan rintangan-rintangan yang mungkin.

Baca Juga: Benarkah Moeldoko Titisan Moertopo?

Hal tersebut juga dikemukakan oleh Irawan Sukarno dalam bukunya Aku “Tiada” Aku Niscaya: Menyingkap Lapis Kabut Intelijen bahwa operasi intelijen tidak hanya melakukan collection atau mengumpulan informasi untuk menentukan tujuan, melainkan juga melakukan cover action dengan melakukan operasi bawah tanah agar tujuan yang telah ditentukan dapat tercapai.

Dragan Manojlović, dan kawan-kawan dalam tulisannya Intelligence Operations: Conception and Structure juga memberi penegasan penting. Menurut mereka, proyek intelijen bukanlah operasi sederhana, melainkan operasi yang memiliki kompleksitas yang tinggi. Operasi yang kompleks dilakukan untuk mengantisipasi situasi tidak terduga akibat ketidakpastian masa depan.

Oleh karenanya, setiap proyek intelijen biasanya terdiri dari sejumlah besar operasi, dan setiap operasi terdiri dari sejumlah besar tugas, fase, sub-fase, dan aktivitas individu, yang elemen-elemennya membentuk struktur kompleks dari proyek intelijen terkait.

Nah, dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa ada kemungkinan poster-poster tersebut adalah operasi pengamanan prosedur atau cover action agar tahap percerai-beraian dan pengingkaran dapat sukses dilakukan. Tujuannya semata-mata untuk tetap memanaskan suasana sehingga konsolidasi kubu AHY semakin sulit untuk dilakukan.

Namun, yang menjadi pertanyaan serius adalah, seperti yang disebutkan Manojlović dan kawan-kawan, apakah poster-poster tersebut adalah operasi pengamanan prosedur dari kubu Moeldoko, atau justru merupakan proyek intelijen besar yang menempatkan kubu Moeldoko sebagai salah-satu pionnya?

Jika itu hanyalah bagian kecil dari proyek intelijen yang kompleks, maka poster-poster tersebut bukanlah perkara Moeldoko dan AHY semata, melainkan perkara besar yang ingin melibatkan PDIP dan JK dalam sabotase Partai Demokrat.

AHY Terlalu Responsif?

Dalam artikel Operasi Intelijen di Balik Kudeta Demokrat telah dijelaskan bahwa AHY telah melakukan operasi kontra intelijen untuk mempertahankan posisinya sebagai Ketum Partai Demokrat. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari mengumumkan secara terbuka, mengirim surat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi), hingga memecat kader yang diduga menjadi dalang upaya kudeta.

Baca juga :  Dasco Prime

Namun, dengan fakta operasi intelijen kubu Moeldoko tetap berlanjut, dan bahkan terdapat kemungkinan terdapat proyek intelijen lainnya yang lebih besar, sangat penting untuk dipertanyakan, apakah operasi kontra intelijen AHY telah keliru?

Terkait hal ini, pernyataan Irawan Sukarno di awal tulisan menjadi sangat urgensial. Dalam bab “Menyikapi Ancaman”, memang dijelaskan bahwa deteksi masalah sedini mungkin memanglah penting agar potensi masalah tidak mengkristal. Kita tidak boleh underestimate (meremehkan) potensi ancaman. Akan tetapi, perlu dicatat, upaya menyikapi ancaman juga harus proporsional, terukur, dan tidak over dosis.

Terkait konteks tersebut, Irawan Sukarno mengutip sebuah nasihat bijak, “Jangan menembak burung dengan canon (meriam), karena bisa berdampak hancurnya gedung di mana burung bertengger.” Tidak hanya soal risiko kehancuran gedung, melainkan juga ada potensi burung justru tidak terkena tembakan meriam.

Kaveh Moravej dan Gustavo Díaz dalam tulisannya Critical Issues in Contemporary Counter-Intelligence menegaskan, operasi intelijen ataupun operasi kontra intelijen sama-sama berpangkal pada kemampuan mengumpulkan informasi. Terkhusus operasi kontra intelijen, itu berguna untuk menyingkap operasi intelijen secara presisi.

Ini sama seperti nasihat Sun Tzu yang menyebutkan bahwa kunci dalam memenangkan setiap perang adalah mengetahui kondisi diri sendiri dan kondisi musuh. Artinya, AHY perlu mengukur, seberapa besar respons yang harus diberikan terhadap KLB yang menetapkan Moeldoko sebagai Ketum Partai Demokrat.

Jangan-jangan, selama ini respons yang diberikan over dosis atau tidak proporsional, sehingga membuat masalah ini justru semakin memanas dan memantik pihak lain untuk “menunggangi”.

Setuju atau tidak, posisi AHY sebenarnya lebih unggul dari Moeldoko. Yang terpenting, pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD telah menegaskan bahwa AD/ART Partai Demokrat yang diakui adalah tahun 2020.

Baca Juga: Pembelaan Mahfud MD Untuk AHY

Dalam AD/ART Partai Demokrat tahun 2020, syarat melakukan KLB adalah izin dari Ketua Majelis Tinggi yang saat ini dipegang oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dengan kata lain, sulit membayangkan kubu Moeldoko akan mendapatkan SK Kemenkumham. Secara tidak langsung, mungkin dapat dikatakan bahwa pemerintah telah mengatakan KLB di Deli Serdang, Sumatera Utara sebenarnya tidak sah.

Di sini, AHY perlu menyadari hal tersebut. Dengan kecilnya potensi mendapatkan SK, yang saat ini harus dilakukan oleh AHY adalah memperkuat dan mengonsolidasi internal partai, alih-alih melakukan safari politik ke berbagai tokoh yang justru mendatangkan berbagai desas-desus.

Well, pada akhirnya kita hanya dapat menikmati perkembangan upaya kudeta Partai Demokrat ini. Apakah ini operasi intelijen kubu Moeldoko atau justru adalah bagian dari proyek intelijen yang lebih besar, kita hanya dapat menerka-nerka. Kita ikuti saja perkembangannya. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...