HomeHeadlineDamai Mega-SBY Benar-Benar Hanya Mimpi?

Damai Mega-SBY Benar-Benar Hanya Mimpi?

Cerita Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentang mimpinya yang menaiki kereta bersama Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sehari setelah pertemuan Puan Maharani dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dinilai sebagai tanda bahwa akan terjadi rekonsiliasi antar kedua mantan presiden tersebut. Namun, benarkah demikian? Atau justru terdapat intrik politik di dalamnya? 


PinterPolitik.com 

Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengaku bermimpi naik kereta bersama Presiden ke-5 RIMMegawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ihwal tentang mimpi itu dia ceritakan dalam sebuah utas di akun Twitter pribadinya. 

Dalam cuitan tersebut SBY menceritakan mereka bertiga menaiki kereta Gajayana dari Stasiun Gambir dengan tujuan Jawa Tengah (Jateng) dan Jawa Timur (Jatim). 

SBY melanjutkan, Presiden Jokowi menjemputnya di Cikeas dan kemudian lanjut menjemput Megawati di kediamannya sebelum mereka bersama-sama berangkat ke Stasiun Gambir. Sesampainya di stasiun, SBY menggambarkan bahwa Presiden Ke-8 RI sudah menunggu untuk menyerahkan tiket kereta. 

Di dalam satu gerbong kereta, SBY mengaku mereka berbincang santai sambil meminum kopi. Hingga pada akhirnya saat sampai di Solo Presiden Jokowi turun bersama SBY yang melanjutkan perjalanan ke Pacitan dengan bus. Sementara Megawati yang melanjutkan perjalanan ke Blitar. 

Cuitan SBY itu ditulisnya sehari setelah pertemuan antara Ketua DPP PDIP Puan Maharani dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). 

Pertemuan itu disinyalir sebagai sinyal baik bahwa akan ada agenda serupa bagi SBY dan Megawati yang selama ini dianggap terlibat “perang dingin”. 

benarkah nyali jokowi lampaui sby

Atmosfer relasi itu bermula ketika Pilpres 2004, di mana SBY yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) dalam kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati secara tiba-tiba mundur dan memilih untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden (capres) melawan mantan atasannya itu. 

SBY yang kala itu maju lewat Partai Demokrat yang belum lama terbentuk berhasil memenangkan kontestasi melawan Megawati. Hal ini yang jamak dinilai menjadi penyebab Megawati sakit hati karena merasa di khianati SBY. 

Lantas, dengan mencermati cuitan SBY tentang mimpinya tersebut, pertanyaannya, mengapa SBY sampai mengeluarkan narasi mimpi tersebut? Serta, apakah yang dapat dimaknai dari mimpi sang jenderal bintang empat? 

Hanya Ramalan Masa Depan? 

Dalam mitologi dan budaya Yunani Kuno, mimpi adalah sesuatu yang penting dan berhubungan dengan konsep ramalan yang dieksplorasi dalam literatur. 

Baca juga :  Ini Rahasia Jokowi Kalahkan Megawati?

Dalam budaya Yunani Kuno mimpi datang dalam tiga jenis. Beberapa merupakan penglihatan literal tentang masa depan, beberapa membutuhkan interpretasi simbolis, dan yang lainnya adalah kunjungan dewa, hantu, atau teman. 

Mimpi SBY bisa dikatakan sebagai jenis mimpi yang membutuhkan interpretasi simbolis dalam menafsirkannya. 

Contoh serupa dengan mimpi SBY di mitologi Yunani Kuno yang membutuhkan interpretasi simbolis adalah Penelope yang merupakan Ratu Ithaca dan istri Odiseus sebelum menikah dengan Odiseus, pernah bermimpi ada lima puluh angsa dirumahnya dan kemudian dibunuh oleh seekor elang. 

infografis wanti wanti sby

Mimpi itu bersifat simbolik yang berarti lima puluh angsa melambangkan pelamar yang ingin melamar Penelope, sedangkan seekor elang melambangkan Odiseus yang akhirnya menjadi suaminya. 

Dalam konteks mimpi SBY, seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam gerbong kereta yang sama SBY memiliki tujuan ke Pacitan, Megawati ke Blitar dan Presiden Jokowi yang memiliki tujuan ke Solo dinilai sebagai arti simbolik yang menyatakan mereka memiliki “rumah” dan tujuan masing-masing dengan bersama-sama di satu gerbong kereta yang memiliki arti simbolik sebagai pemerintahan. 

Mimpi itu juga dinilai sebagai ajakan simbolis SBY kepada Megawati dan Presiden Jokowi untuk kembali menjadi warga negara biasa dan menjadi guru bangsa setelah pemerintahan baru pasca Pilpres 2024 nanti terbentuk. 

Yang jelas, mimpi SBY itu dan juga pertemuan antara AHY dan Puan kiranya merupakan tanda awal yang baik untuk terbukanya sebuah rekonsiliasi kedua mantan presiden tersebut. 

Pasca Pilpres 2004, ketika SBY dan Partai Demokrat menjadi penguasa selama dua periode, Megawati dan PDIP menjadi pihak oposisi pemerintah. Begitu pula terjadi sebaliknya pada situasi politik saat ini. 

Andrew Schaap dalam tulisannya yang berjudul Reconciliation as Ideology and Politics menjelaskan rekonsiliasi didasarkan pada pemahaman tentang tanggung jawab kolektif atas warisan kesalahan masa lalu dan rasa terima kasih bahwa ada kesediaan untuk saling memaafkan agar terciptanya sebuah peluang politik. 

Menjelang kontestasi elektoral tahun depan, setiap parpol akan menjajaki setiap peluang politik yang ada. 

Atas dasar itu, wacana rekonsiliasi antara SBY dan Megawati yang akan secara otomatis diikuti dengan kedua parpol mereka kiranya bertujuan demi sebuah peluang politik bagi kedua belah pihak. 

Jika rekonsiliasi itu tercapai maka kiranya tujuan Partai Demokrat untuk mendapatkan posisi yang lebih penting dan maksimal dalam koalisi yang akan di bangun PDIP akan tercapai. Mengingat, posisi Partai Demokrat di Koalisi Perubahan untuk Persatuan seolah sedang “ditarik-ulur”. 

Baca juga :  Kenapa PDIP PDKT ke Khofifah?

Sebagai parpol besar dan pernah menjadi partai penguasa, tak heran jika kiranya Partai Demokrat menggunakan daya tawar mereka untuk mendapatkan peluang politik yang lebih baik. 

Di sisi PDIP, dengan adanya wacana rekonsiliasi SBY-Megawati dan peluang bergabungnya Partai Demokrat ini tampaknya akan menciptakan peluang politik untuk “meredam” bakal capres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan Anies Baswedan untuk maju dalam Pilpres 2024. 

Anies adalah satu-satunya bakal capres yang tidak di endorse Presiden Jokowi. Dengan adanya peluang menjegal Anies, maka capres yang akan maju dalam Pilpres 2024 adalah all Jokowi’s men. 

Lalu pertanyaanya, benarkah wacana rekonsiliasi itu untuk membungkus isu menjegal pencapresan Anies? Serta, apakah pertemuan AHY dan Puan serta mimpi SBY adalah termasuk bentuk rayuan kedua pihak untuk mencapai tujuan politiknya? 

demokrat mulai ancam anies

Rayuan “Maut” SBY? 

Dalam menciptakan peluang politik untuk mencapai tujuan politiknya, para aktor politik tak jarang saling melempar rayuan satu sama lain untuk memainkan emosi lawan politiknya. 

Daniel Kapust dalam publikasinya yang berjudul Flattery and The History of Political Thought menjelaskan teknik merayu adalah salah satu taktik yang efektif dalam politik untuk membungkus maksud mencapai sebuah tujuan politik dan kekuasaan menjadi lebih halus. 

Dalam konteks pertemuan antara AHY dan puan serta mimpi SBY, kedua belah pihak tampaknya sedang saling melemparkan rayuan untuk membungkus tujuan politiknya masing-masing dengan sebuah wacana rekonsiliasi. 

Mimpi SBY boleh jadi adalah salah satu bentuk rayuan kepada Megawati untuk membuka kembali dialog demi sebuah kepentingan politik keduanya. 

Sebagai catatan, Puan sebelumnya menyebut AHY sebagai salah satu kandidat yang diperhitungkan sebagai cawapres Ganjar Pranowo. 

SBY yang tampaknya sadar posisi Partai Demokrat sedang tidak baik-baik saja di Koalisi Perubahan untuk Persatuan memanfaatkan daya tawar AHY dan Partai Demokrat untuk mendapatkan posisi yang lebih menjanjikan jika bergabung dengan koalisi yang akan dibangun PDIP. 

Rayuan PDIP itu bermaksud untuk mengajak Partai Demokrat bergabung dengan koalisi mereka dan kembali, secara tidak langsung akan membatalkan pencapresan Anies jika hanya tersisa Partai NasDem dan PKS sebagai pengusung. 

Well, menarik untuk menunggu akankah mimpi SBY serta rekonsiliasi mereka terwujud dalam waktu dekat. (S83) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?