HomeNalar PolitikCaleg Populer Tumbang, Siapa Terbayang?

Caleg Populer Tumbang, Siapa Terbayang?

Siapa yang mengira nama-nama seperti Budiman Sudjatmiko, Faldo Maldini, atau Ferdinand Hutahaean berpotensi tak lolos sebagai anggota DPR? Meski masih sebatas prediksi, hal ini seperti jadi gambaran popularitas di tingkat nasional tak melulu berarti popularitas di tingkat lokal.


Pinterpolitik.com

[dropcap]B[/dropcap]anyak yang bilang, Pileg 2019 hanya perkara popularitas belaka. Nama caleg yang paling tenar dianggap punya kans paling besar untuk merebut satu kursi di DPR. Oleh karena itu, caleg-caleg berlatar belakang politisi nasional, menteri, atau figur publik dianggap bisa lolos ke Senayan dengan mudah.

Meski hal itu tidak sepenuhnya salah, pada Pileg 2019 ini ada banyak nama tenar yang terancam harus melupakan duduk di kursi parlemen pusat. Sejumlah nama yang kerap hilir mudik di media misalnya, diprediksi tak lolos meski kerap mendapatkan sorotan publik cukup luas.

Sebelumnya, tak ada yang bisa membayangkan sosok seperti Budiman Sudjatmiko, Ferdinand Hutahaean, atau Faldo Maldini tak lolos ke DPR. Belum lagi, ada juga nama-nama menteri di kabinet berkuasa yang di atas kertas seharusnya mampu melenggang dengan mudah ke Senayan.

Terancam tak lolosnya nama-nama tersebut tampak menjadi sebuah fenomena tersendiri. Lalu, mengapa caleg-caleg yang populer tersebut tak bisa mengamankan kursi DPR? Apakah ini artinya popularitas nasional tak terlalu berarti untuk Pileg yang berbasis suara di daerah?

Terancam Tak Lolos

Siapa yang tak kenal dengan nama Budiman Sudjatmiko? Faldo Maldini? Atau Ferdinand Hutahaean? Nama-nama ini jelas amat populer dalam pemberitaan beberapa waktu terakhir terutama dalam dinamika Pilpres 2019. Mereka kerap menjadi corong utama bagi masing-masing kandidat yang berlaga di gelaran tersebut.

Sayangnya, meski popularitas mereka di atas rata-rata, nama-nama tersebut justru terancam tidak lolos ke parlemen. Nama-nama mereka ternyata masih kalah suara jika dibandingkan caleg-caleg di dapil masing-masing.

Selain nama-nama caleg yang menjadi juru bicara atau juru debat kandidat Pilpres 2019, Pileg 2019 juga tampaknya tak cukup ramah bagi para politisi yang punya segudang pengalaman. Nama-nama seperti Eva Kusuma Sundari, Roy Suryo, hingga Maruarar Sirait juga diprediksi berat untuk dapat kembali ke gedung parlemen.

Yang juga ironis adalah, selain nama-nama populer, sejumlah anggota Kabinet Kerja juga diprediksi tak akan lolos ke Senayan. Nama-nama seperti Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, Menteri Desa Eko Putro Sandjojo, hingga Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin diprediksi suaranya tak cukup aman untuk merebut satu kursi.

Di atas kertas, perkara lolos tidak lolos ke parlemen sebenarnya adalah hal yang biasa saja dan menjadi risiko bagi siapapun yang mencalonkan diri. Meski demikian, rasanya masih sulit bisa diterima jika sosok-sosok populer dan memiliki jabatan mentereng itu tak mampu meraup suara signifikan.

Para caleg tersebut punya beragam alasan mengapa mereka diprediksi tidak mampu mengamankan kursi di Senayan. Alasan-alasan seperti tidak total berkampanye atau konsentrasi terpecah merupakan beberapa di antaranya.

Lokal vs Nasional

Secara umum, banyak orang menganggap bahwa jika berhasil menguasai politik nasional, maka akan dengan mudah pula merebut politik di tingkat lokal. Secara sederhana, orang cenderung menganggap bahwa politik lokal adalah bagian dari politik nasional.

Kondisi tersebut sebenarnya dipicu pula oleh sifat dari media massa yang cenderung bersifat nasional alih-alih bertumpu pada hal yang berbau lokal. Pandangan seperti ini dikemukakan misalnya oleh Daniel J. Hopkins dalam The Increasingly United States How and Why American Political Behavior Nationalized.

Dalam pandangan yang lebih umum, perilaku memilih masyarakat akan sangat ditentukan oleh konstelasi politik di tingkat nasional. Jika ada satu partai yang amat dominan di tingkat nasional, maka dominasi tersebut akan berlanjut di tingkat lokal. Masyarakat cenderung akan memilih kandidat yang berasal dari partai dominan tersebut di tingkat lokal.

Kendati demikian, ada pula anggapan lain bahwa politik lokal juga tak kalah penting. Ada sebuah kutipan yang cukup terkenal di Amerika Serikat (AS), yaitu all politics is local, kata-kata yang disebut-sebut berasal dari mantan ketua house of representatives atau DPR AS , Tip O’Neill.

Di luar itu, sebenarnya ada pula pendapat lain dari Andrew Gelman, seorang profesor statistika dan ilmu  politik Columbia University. Ia menyebutkan bahwa diperlukan kemampuan lokal untuk mengamankan kursi di Pemilu primary. Meski kata-kata ini tak spesifik untuk Pemilu Legislatif, kata-kata ini cukup menggambarkan bahwa politik lokal cukup penting.

Memang, ada yang menganggap bahwa pandangan O’Neill tersebut mulai berkurang kebenarannya, bahkan ada  yang menyebutnya telah mati. Meski demikian, ada beberapa fenomena spesifik yang menggambarkan bagaimana politik lokal tak bisa dibilang sepenuhnya mati.

Kondisi ini boleh jadi dapat dilihat dalam kasus caleg-caleg populer yang terancam tak berkursi di DPR periode 2019-2024. Kasus ini seperti menghidupkan kembali perkara politik lokal melawan politik nasional yang semula dianggap sudah dimenangkan politik nasional.

Keahlian Lokal

Berdasarkan kondisi tersebut, tampak untuk beberapa kasus yang menimpa caleg populer, yang berlaku adalah all politics is local, atau setidaknya most politics is local. Meski mereka memiliki popularitas di atas rata-rata di tingkat nasional, mereka tampak belum memiliki keahlian lokal yang digambarkan oleh Gelman.

Dalam beberapa kasus, caleg-caleg tersebut diharapkan untuk dapat mengerek perolehan partai di dapil yang tak pernah mereka menangkan, atau tergolong dapil neraka. Popularitas mereka diharapkan mampu membuat dapil yang berat terasa lebih mudah bagi partai.

Caleg-caleg populer terancam tak lolos ke DPR karena tak cukup moncer dalam konteks politik lokal. Share on X

Meski demikian, ternyata yang terjadi justru caleg-caleg ini diprediksi tak berhasil lolos ke DPR RI. Hal tersebut boleh jadi adalah gambaran bagaimana keahlian lokal mereka tak begitu memukau di mata pemilih, meski kerap menjadi obrolan utama di media massa dan sosial secara nasional.

Memang, beberapa kerap beralasan bahwa mereka tak berkampanye terlalu keras karena teralihkan dengan urusan lain. Meski begitu, idealnya jika all politics is national, mereka seharusnya memang tak perlu bekerja keras untuk merebut kursi.

Yang jadi pertanyaan juga adalah sebenarnya bagaimana caleg-caleg tidak populer yang berbasis lokal ini bisa mengungguli caleg-caleg yang lebih populer. Ada yang memberikan alasan bahwa kemenangan mereka bertumpu pada sentimen masyarakat lokal kepada partai tertentu. Pada konteks ini, caleg sepopuler apapun sulit meraup kemenangan jika partai pengusungnya dibenci di tingkat lokal.

Di luar itu, tudingan soal praktik politik uang, serangan fajar, dan hal-hal serupa juga kerap muncul sebagai biang keladi kekalahan sang caleg. Dalam kadar tertentu, sulit memang untuk menutup mata bahwa perkara rupiah ini kerap menjadi kunci.

Terlepas dari hal-hal tersebut, para caleg populer ini memang seperti kalah piawai dalam menjaga suara di daerah asal. Pentingnya mengontrol suara daerah asal ini pernah diungkapkan oleh Jonathan Bernstein dari University of Texas at San Antonio.

Pada akhirnya, boleh jadi parlemen nanti tidak akan seseru debat-debat di era Pilpres 2019 karena nama-nama populer tak berhasil lolos. Ironis memang, tetapi boleh jadi mereka harus mau menerima kenyataan ini jika KPU telah meresmikan hasil akhir Pemilu 2019. Yang jelas, prediksi ketidaklolosan mereka tampak bisa jadi gambaran bahwa sorotan media nasional tak selalu berarti perolehan suara gila-gilaan. (H33)

https://www.youtube.com/watch?v=AawxKzhuBMU

Baca juga :  Ironi Lumpuhnya Pasukan Perdamaian PBB
spot_imgspot_img

#Trending Article

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Prabowo Subianto resmi melantik 48 menteri yang akan mengisi Kabinet Merah Putih yang dipimpinnya.

AHY, the New “Lee Hsien Loong”?

Di tengah sorotan publik terhadap para pejabat yang dapat gelar akademis tertentu, pujian justru diberikan kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...