HomeNalar PolitikAmplop Masjid Rusak Elektabilitas PDIP?

Amplop Masjid Rusak Elektabilitas PDIP?

Pembagian amplop masjid politisi PDIP Said Abdullah viral di media sosial. Amplop ini dibagikan sebagai bentuk zakat pribadi dari Said kepada jama’ah masjid di Sumenep. Apakah viralnya pembagian amplop ini dapat merusak elektabilitas PDIP menjelang kontestasi elektoral?


PinterPolitik.com

“Politics has become so expensive that it takes a lot of money even to be defeated” – Will Rogers

Pada 27 Maret lalu publik dibuat terkejut dengan berita yang memusingkan kepala. Bagaimana tidak? Video pembagian amplop berlogo “banteng” viral di media sosial. Diketahui bahwa lokasi pembagian amplop ini terletak di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur dengan Said Abdullah tertera sebagai pengirimnya.

Beredarnya video ini memicu perdebatan panas dikarenakan praktik ini kembali membuka praktik politik uang dalam menghadapi pemilu. Praktik politik uang masih menjadi langganan bagi politisi untuk menggaet suara publik.

Merespons viralnya video tersebut, Said Abdullah selaku Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP Jawa Timur mengklarifikasi bahwa video tersebut ditujukan sebagai bentuk zakat secara personal kepada jama’ah masjid.

Tentu, pembagian zakat sah-sah saja dilakukan, namun sorotan publik tertuju pada amplop berlogo PDIP yang digunakan Said. Konteks itu membuat pembagian zakar Said lebih terasa atau lebih kental nuansa politiknya.

Lantas, dengan viralnya kasus pembagian amplop itu, apakah itu dapat menggerus elektabilitas PDIP secara nasional?

infografis amplop pdip ternyata zakat

Amplop dan Serangan Awal

Pertama, penting sekiranya membahas alasan di balik pembagian amplop oleh Said. Studi dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2021 menunjukkan bahwa amplop masih menjadi favorit dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020 dan penerimaan terhadap amplop tidak banyak berubah dari tahun-tahun sebelumnya.

Temuan itu dengan jelas berkorelasi dengan praktik yang dilakukan Said. Tentu, sebagai petahana Said ingin tetap terpilih masuk ke Senayan pada Pemilu 2024 mendatang. Apa yang dilakukan Said adalah strategi “menyerang” terlebih dahulu supaya tidak ketinggalan.

RAND Corporation menyebutkan pre-emptive strike sebagai serangan kejutan untuk mencegah pihak lawan mendapatkan keuntungan strategis dalam pertempuran. Pada konteks pertarungan elektoral, pembagian amplop dapat meraih simpati pemilih secara simultan dan taktik ini lebih praktis daripada harus menggunakan instrumen kampanye seperti pamflet maupun brosur.

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Tidak hanya itu, pembagian yang dilakukan jauh-jauh hari juga sebagai upaya untuk mengamankan basis pendukung Said Abdullah. Mungkin, ini adalah strategi untuk menyicil simpati publik. Mungkin terdapat asumsi pembagian amplop bertahap lebih kecil ongkos daripada jor-joran menjelang pemilu.

Hal inilah yang disebut sebagai capital gain dalam dunia ekonomi, di mana capital gain bermakna “pengorbanan sedikit untuk keuntungan berlipat ganda”.

Namun demikian, hal ini jelas memicu polemik dikarenakan Said dinilai sudah “mencuri start” dalam berkampanye.

Meskipun Bawaslu sudah menyatakan tidak terdapat pelanggaran pemilu di peristiwa pembagian amplop tersebut, viralnya kasus ini dinilai dapat berdampak negatif terhadap partai yang mengusung Said, yakni PDIP.

Lantas apakah ini akan mempengaruhi citra dan elektabilitas PDIP menjelang Pemilu 2024?

Tidak Berpengaruh?

Secara cepat, banyak dari kita mungkin akan menjawab “iya”. Pasalnya, bertolak pada rilis Lembaga Survei Indonesia (LSI), elektabilitas PDIP diketahui turun sebesar 2 persen.

Dalam survei yang dilaksanakan sepanjang 31 Maret hingga 4 April 2023, elektabilitas PDIP turun menjadi 17,7 persen. Padahal dalam survei sebelumnya PDIP mendulang dukungan hingga 19,3 persen.

Namun, penarikan kesimpulan berdasarkan rilis survei semacam itu dapat dikatakan kurang bisa diandalkan. Pasalnya, larisnya politik uang di Indonesia sebenarnya disebabkan oleh sikap pragmatis masyarakat dalam menerima “imbalan”.

Lina Fitriani dalam artikelnya Fenomena Politik Uang menyebutkan bahwa faktor ekonomi menjadi penyebab utama untuk mendorong masyarakat dalam menerima “imbalan” dari politisi untuk penghidupan mereka. Penerimaan secara terus-menerus terhadap imbalan uang akhirnya membuat politik uang menjadi hal biasa dalam pemilu.

infografis anggota dpr ada bosnya

Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru menyebutkan budaya politik uang tidak hanya terbentuk dalam iklim partai politik, melainkan juga di tengah masyarakat.

Menurut Muhtadi, politik uang menjadi lingkaran setan yang tidak terputus karena praktik ini tengah mengubah habituasi dan persepsi masyarakat dengan memahami pemilu mestilah berisi bagi-bagi uang menjelang pencoblosan.

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Penerimaan ini telah menjadi habituasi atau kebiasaan yang tidak terelakkan keberadaannya, terutama mendekati pemilu. Habituasi ini pula yang kemudian dimanfaatkan oleh Said dan berbagai pihak lainnya untuk mendulang dukungan pada pemilu. Said tentu ingin tetap menjadi anggota DPR RI.

Hal ini berkorelasi dengan Phillipe Gouillard dalam Incumbent Syndrome, di mana Said yang kini sebagai anggota DPR tentu memiliki hasrat untuk berkuasa kembali. Untuk mengklaim posisi tersebut, maka seorang politisi condong untuk melakukan hal yang pragmatis.

Hal inilah yang mendorong Said “mencuri start” jauh-jauh hari supaya ia dapat “memenangkan” kembali kursi tersebut dalam pemilu mendatang.

Lagipula, meskipun elektabilitas PDIP turun, partai banteng masih menjadi nomor satu di antara partai politik lainnya. Dalam temuan LSI, elektabilitas partai lainnya seperti PKB dan Golkar juga terpantau turun.

Posisi pertama adalah PDIP dengan 17,7 persen. Posisi kedua ditempati Gerindra dengan 12,8 persen. Disusul Partai Golkar dengan 7,8 persen. Kemudian di posisi keempat ditempati PKS dengan 7,6 persen.

Kemudian ada Partai Demokrat, PKB, dan Partai Nasdem yang masing-masing sebesar 5,4 persen, 4,4 persen, dan 4,1 persen.

Dalam rilis survei SMRC, PDIP juga menempati posisi pertama. Pada Pemilu 2019 mencapai 19,3 persen sekarang menjadi 23,4 persen. Lagi-lagi Gerindra di posisi kedua dari 12,6 persen menjadi 14,1 persen, kemudian PKB dari 9,7 persen menjadi 10,3 persen.

Sementara Golkar 9,1 persen, Nasdem 7 persen, Demokrat 5,9 persen, PKS 5,7 persen, PPP 2,4 persen, PAN 1,9 persen, Perindo 1,7 persen, dan PSI 1,1 persen.

Lagipula, seperti yang sudah-sudah, jangankan kasus Said yang bahkan sudah dibantah melanggar aturan pemilu oleh Bawaslu, kasus-kasus besar seperti Harun Masiku, bansos Covid-19, hingga yang terbaru soal pernyataan Bambang “Pacul” Wuryanto saja tidak mengubah posisi PDIP di nomor satu.

Well, dengan meyakinkan dapat dikatakan kasus amplop masjid yang viral tersebut sekiranya tidak berpengaruh. Kembali pada poin sebelumnya, akar politik uang adalah habituasi dari masyarakat. (D90)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?

More Stories

Reshuffle Jokowi Menguntungkan Prabowo?

Pergantian (reshuffle) kabinet telah dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Beberapa nama seperti Budi Arie Setiadi, Nezar Patria, hingga Djan Faridz resmi menduduki posisi kabinet....

Golkar Sedang “Didesak” Mempercepat Langkah?

Beredar kabar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar akan diselenggarakan. Agenda itudigaungkan dan bertujuan menggantikan Airlangga Hartarto dari posisinya sebagai Ketua Umum (Ketum)...

Gamal Mustahil Kalahkan Kaesang?

Kaesang Pangarep disebut-sebut siap untuk menjadi Wali Kota Depok selanjutnya. Menghadapi langkah Kaesang yang tampak “cukup berani” ini, PKS menyiapkan tiga nama untuk menghadapi...