Cross BorderNATO Ternyata Punya Kelemahan Besar?

NATO Ternyata Punya Kelemahan Besar?

- Advertisement -

Media populer sering sebutkan bahwa kekuatan militer Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) jauh lebih kuat dari Rusia. Benarkah klaim tersebut?


PinterPolitik.com

There is only one thing worse than fighting with allies, and that is fighting without them.” – Winston Churchill, mantan Presiden AS

This is a war to end all wars,” itulah kalimat monumental yang diucapkan mantan Presiden Amerika Serikat (AS), Woodrow Wilson pada tahun 1917. Kalimat tersebut menjadi jampi-jampi AS ketika melibatkan dirinya dalam Perang Dunia I, perang yang dipercaya akan jadi pembuka gerbang perdamaian dunia.

Namun, seperti yang kita tahu, Perang Dunia I bukanlah perang terakhir dalam cerita panjang peradaban manusia. 21 setelah perang tersebut berakhir, dunia kembali dihadapkan perang besar yang tercatat menjadi perang paling destruktif sepanjang sejarah, yakni Perang Dunia II.

Ya, seberapa cantik rangkaian kata yang dibuat oleh para politisi, faktanya hingga sekarang perang masih juga menjangkiti planet kita. Contoh terpopulernya tentu adalah perang antara Rusia dan Ukraina yang meletus semenjak 24 Februari silam, hingga sekarang, enam bulan setelahnya.

Lambatnya progres perang di Ukraina membuat banyak pihak berkesimpulan bahwa militer Rusia ternyata sangat lemah. 

Salah satunya adalah pendapat dari Phillips O’Brien, profesor kajian strategis Universitas St. Andrews, yang mengatakan bahwa penampilan Rusia di Ukraina membuktikan bahwa kemampuan pertahanan negara yang dipimpin Vladimir Putin tersebut tidak dalam level yang sama dengan AS, atau negara kecil anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) sekalipun.

O’Brien bahkan menyimpulkan lebih lanjut bahwa Perang Ukraina menunjukkan militer Rusia ternyata tidak mampu mengoperasikan operasi militer yang kompleks, tidak seperti militer AS, Inggris, dan Israel. 

Akan tetapi, apakah benar bahwa kemampuan pertahanan negara-negara NATO lebih kuat dari Rusia? Kita sering disajikan narasi bahwa kemampuan militer NATO jauh melebihi apa yang dimiliki Rusia, sehingga terkadang kita lupa memverifikasi klaim-klaim tersebut.

Ini kemudian membawa kita ke sebuah perandaian besar, bila Rusia dan NATO bertempur, mungkinkah Rusia memiliki kesempatan melawan kekuatan NATO?

image 13

Kelemahan Besar NATO?

Sebuah lembaga think tank asal AS yang bergerak dalam kajian pertahanan bernama RAND Corporation belakangan ini merilis sebuah laporan menarik tentang hasil simulasi perang antara NATO dan Rusia. 

Buat yang kurang familiar, RAND Corporation adalah lembaga yang didirikan pada tahun 1948 untuk bekerja sebagai konsultan strategis Angkatan Bersenjata AS. Lembaga ini didanai oleh sejumlah pihak swasta dan pemerintah AS sendiri.

Nah, dalam sebuah laporan berjudul Reinforcing Deterrence on NATO’s Eastern Flank, yang ditulis David A. Shlapak dan Michael W. Johnson, dijelaskan bahwa RAND Corporation telah melakukan sejumlah simulasi, yang pada akhirnya menemukan ternyata kekuatan pertahanan NATO tidak sekuat yang diperkirakan banyak orang. 

Dan dalam skenario perangnya dengan Rusia, telah disimpulkan Rusia ternyata mampu menguasai mayoritas wilayah Utara NATO dalam kurun waktu maksimal 60 jam.

Laporan itu juga menyoroti kelemahan terbesar NATO yang bisa membuat Rusia mendapatkan keunggulan jika suatu waktu perang terjadi Kelemahan tersebut adalah negara-negara NATO yang terletak di kawasan Baltik, seperti Estonia, Latvia, dan Lithuania.

Baca juga :  Iran-Israel: Ujian Terberat Biden 

Bagi yang belum tahu, ketiga negara ini terletak di perbatasan paling Utara NATO yang langsung bersentuhan dengan perbatasan Rusia. Jika tiba-tiba mereka diserang dan kekuatan militernya digabung, negara-negara Baltik ini bahkan masih akan tetap kalah dengan kekuatan militer Rusia. 

Dari perbandingan tenaga militernya saja, selisih kekuatannya sangat jauh. Rusia disebutkan memiliki setidaknya dua juta personel militer, sementara tiga negara tadi, jika digabungkan hanya dibawah 100.000.

David dan Michael juga menilai dua hal lain yang dapat menyimpulkan kekalahan singkat NATO di Utara Eropa. Pertama, faktor geografis. Tiga negara tadi adalah negara-negara yang posisinya lebih dekat dengan Rusia dibandingkan kekuatan besar Eropa terdekat, seperti Polandia. Ini kemudian membuat alur logistik dan mobilisasi militer jauh lebih mudah dilakukan Rusia kepada pasukannya dibanding bantuan pertahanan dari NATO ke Baltik.

Terlebih lagi, kalaupun NATO memang mengirimkan bantuan pertahanan, mereka terpaksa harus melewati Kaliningrad. Bagi yang belum tahu, Kaliningrad adalah enclave atau daerah kantong milik Rusia yang terletak di antara Lithuania dan Polandia. Ini artinya, Rusia memiliki kesempatan untuk memblokade dan menghujani tembakan artileri pada bantuan militer yang dikirimkan NATO ke Baltik.

Karena itu, David dan Michael menyimpulkan bahwa jika suatu perang meletus antara NATO dan Rusia, maka prediksi kuatnya Rusia akan memulai serangan ke kawasan utara Eropa ini karena tidak dipungkiri bahwa mereka memiliki keunggulan dalam aspek logistik dan mobilisasi di kawasan tersebut. 

Apalagi, diketahui bahwa Rusia kini sedang memperkuat kehadiran militernya di kawasan Arktik, hal ini disampaikan sendiri oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) NATO, Jens Stoltenberg. Jika ini benar, tentu permasalahan logistik untuk persiapan total war Rusia di Eropa tidak boleh kita remehkan.

Kedua, tentu faktor penentu perang bukan hanya aspek militer itu sendiri, tetapi juga politik. 

Belakangan ini diketahui bahwa hubungan antara Negeri Paman Sam dan NATO tengah dalam kondisi yang tidak sehat. Mantan Presiden Donald Trump bahkan pernah menodong negara-negara anggota NATO untuk memenuhi tuntutan anggaran pertahanan sebesar 2 persen dari total produk domestik bruto (PDB), karena selama ini pertahanan NATO terlalu diberatkan ke AS. 

Trump bahkan pernah sesumbar akan mencabut komitmen bantuan pertahanan otomatis bila ada negara NATO yang diserang.

Lalu, bagaimana situasinya sekarang, di bawah kepemimpinan Joe Biden? Well, besar dugaannya tidak berbeda jauh. 

PinterPolitik beberapa kali telah mengulas bahwa ada dugaan AS justru menyukuri perang yang terjadi di Ukraina, salah satunya yang sudah ditulis dalam artikel Konflik Ukraina Hasil Desain Biden?, yang menjelaskan ada kemungkinan perang tersebut digunakan untuk meningkatkan kesadaran pada Eropa bahwa ancaman perang selalu ada dan mereka harus meningkatkan anggaran pertahanannya pada NATO.

Dengan demikian, percikan-percikan politik antara AS dan NATO sebenarnya sudah ada, dan angan-angan bahwa AS akan meninggalkan Eropa untuk mempertahankan dirinya sendiri sebenarnya bukan hal yang terlalu imajinatif. 

Dan jika memang Eropa ditinggal sendiri, maka dalam suatu skenario perang dengan Rusia, sangat mungkin bila Eropa akan sangat kesusahan melawan Rusia, dan bahkan mungkin kalah dalam beberapa pertempuran besar. Terlebih lagi, kekuatan militer seluruh NATO, tanpa AS, jumlahnya hanya sekitar 1,9 juta, lebih sedikit dari Rusia yang disebut punya militer lebih dari dua juta personel.

Baca juga :  Dirangkul Prabowo, Akhir "Menyedihkan" Megawati?

Ini kemudian membawa kita pada pertanyaan, akan bagaimana postur defensif NATO tanpa AS?

image 14

Seperti Apa NATO Tanpa AS?

Pengamat pertahanan, Michael Kofman dalam artikelnya NATO should avoid learning the wrong lessons from Russia’s blunder in Ukraine di laman The Economist menyampaikan sebuah pernyataan yang menarik. Katanya, orang kerap kali keliru dalam menakar kekuatan militer negara-negara Eropa dan NATO.

Sebagai wilayah yang mayoritas diisi oleh negara maju dan kaya, masing-masing negara anggota Eropa dan NATO sering dianggap otomatis memiliki pertahanan yang kuat. Padahal, secara objektif kekuatan militer terbesar dunia saat ini dipegang AS, Tiongkok, dan Rusia. 

Sementara itu, apa yang membuat NATO kuat sebenarnya hanya kemampuannya untuk memperluas konflik, artinya, jika ada anggota yang diserang, maka semua anggota NATO harus ikut mempertahankan. Dan mereka sepenuhnya mengandalkan AS untuk menjadi kekuatan utama menyerang balik agresor.

Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana jika NATO hanya bisa memperluas konflik, sementara kekuatan besarnya untuk melawan balik, yakni AS, tidak ada?

Przemyslaw Lukasik dalam tulisannya NATO Without the USA: How Long Will the Alliance Survive Without American Leadership?, menyimpulkan bahwa jika AS akhirnya memutuskan untuk keluar dari NATO, maka dampaknya akan fatal, terutama dalam aspek pertahanan. Pertama, ini karena mayoritas perangkat pertahanan negara NATO disediakan oleh AS, sehingga mereka akan kehilangan akses ke ribuan jet, kapal, dan kendaraan tempur canggih.

Kedua, negara Eropa NATO memang memiliki teknologi canggih, bahkan tanpa bantuan AS. Namun, dalam suatu pertempuran akan ada satu titik di mana kuantitas akan lebih penting dari kualitas. Sederhananya, karena Rusia memiliki lebih banyak pasukan tempur, senjata Eropa yang canggih tidak akan ada gunanya bila tidak ada lagi orang yang tersisa untuk menembakan senjata tersebut.

Ketiga, mentalitas perang. Yang unik dari “negara militer” seperti AS, Rusia, dan Tiongkok, adalah mereka memiliki pandangan yang serius terhadap kebijakan persiapan perang. Ini membuat alokasi kekuatan negara dari aspek lain, seperti ekonomi misalnya, lebih mudah dilakukan dibanding negara-negara Eropa yang sudah sejak lama tidak melihat perang sebagai ancaman yang nyata.

Dalam suatu skenario perang antara NATO dan Rusia, mudah untuk dibayangkan negara-negara Eropa akan dihadapi penolakan dari masyarakat, ataupun politisinya yang tidak rela kehidupan damai mereka didisrupsi oleh kepentingan perang dengan Rusia. Bahkan mungkin bisa saja, warga-warga Eropa akan memilih untuk menyerah kepada Rusia ketimbang perlu membuang nyawa dalam peperangan.

Pada akhirnya, sepertinya bisa kita simpulkan bahwa NATO mungkin sebenarnya tidak sekuat apa yang diperkirakan banyak orang. Dan dalam suatu skenario perang antara NATO dan Rusia, sepertinya Rusia juga memiliki kesempatan untuk lebih unggul dari NATO.

Akhir kata, kita perlu tetap yakini bahwa perang adalah sesuatu yang perlu kita cegah semampu mungkin. Semoga saja, perang yang kini terjadi di Ukraina akan sesuai dengan apa yang dikatakan Woodrow Wilson: ”This is a war to end all wars.” (D74)

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

Eropa “Terlalu Baik” Terhadap Imigran?

Kasus penembakan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian terhadap seorang remaja imigran telah memicu protes besar di Prancis. Akan tetapi, kemarahan para demonstran justru...

More Stories

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?