Cross BorderKenapa Ateisme Semakin Populer?

Kenapa Ateisme Semakin Populer?

- Advertisement -

Belakangan ini jumlah orang-orang tidak beragama di dunia semakin banyak. Kenapa fenomena ini bisa terjadi?


PinterPolitik.com

Selama ratusan tahun, dunia mengenal ada lima agama besar, yakni Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Judaisme. Tentu agama di dunia jumlahnya lebih dari lima, tapi lima agama tadi adalah agama-agama yang memiliki jumlah pengikut terbanyak di dunia.

Karena kebesarannya, agama-agama tersebut bahkan kerap dianggap merepresentasikan suatu negara, contohnya seperti agama Islam yang sering diidentikkan dengan negara-negara Arab dan agama Kristen dengan Amerika Serikat (AS) atau Eropa.

Yap, tidak dipungkiri hingga sekarang agama menjadi bagian hidup sebagian besar masyarakat dunia.

Akan tetapi, kalau kita perhatikan di internet atau media sosial, belakangan ini sepertinya mulai muncul gerakan-gerakan yang bisa dibilang cukup “menantang” pandangan konservatis dan tradisional, yakni semakin populernya pandangan ateisme atau pandangan yang menolak adanya tuhan dan menentang ajaran-ajaran agama.

Dan hal itu tidak hanya perasaan kita saja. Gabe Bullard dalam tulisannya The World’s Newest Major Religion: No Religion di laman National Geographic bahkan menyebut pandangan ateisme saat ini –secara ironis – mulai menjadi keyakinan besar pesaing lima agama besar dunia. Hal ini karena meskipun jumlah penganutnya masih jauh di bawah lima agama besar, mereka mulai bertambah banyak.

Dari sini, muncul pertanyaan menarik. Kenapa ateisme bisa semakin menjadi pandangan yang populer? Dan mungkinkah ada kaitannya dengan politik?

image 30

Sekularisme Ikut Mempengaruhi?

Sosiolog Ariela Keysar dan Juhem Navarro-Rivera pernah mencoba mendapatkan data tentang berapa banyak populasi orang tidak beragama di dunia melalui sejumlah riset. Dari temuan mereka, didapatkan setidaknya hingga tahun 2017 terdapat sekitar 450-500 juta orang yang ateis dan agnostik di dunia. Angka ini mewakili 7 persen populasi dunia.

Baca juga :  Iran vs Israel, PD III Sudah Dimulai?

Menariknya, kalau dibandingkan dengan lima agama besar dunia, perkiraan populasi orang tidak beragama itu hampir sama dengan perkiraan total populasi penganut agama Buddha, yang berjumlah sekitar 506 juta jiwa pada tahun 2020 – sesuai survei Pew Research Center.

Dan fenomena ini ternyata sudah menarik perhatian orang-orang sejak beberapa dekade ke belakang. Salah satunya adalah yang dibahas oleh majalah Time pada tahun 1966 melalui judulnya Is God Dead?. Pembahasan yang menarik di dalam majalah itu adalah dinilai bahwa meningkatnya jumlah orang yang ateis dan agnostik sebenarnya juga akibat dampak sistem politik yang menerapkan sekularisme, atau sistem politik yang memisahkan antara urusan negara dan urusan agama.

Di era sekarang, meski nilai-nilai agama masih mempengaruhi sejumlah aturan negara, pada dasarnya banyak model negara yang tidak sepenuhnya membaurkan dasar-dasar mereka dengan aturan agama. Bagaimanapun juga sekularisme secara natural dibentuk sesuai dengan model negara berdaulat itu sendiri.

Dan singkatnya, karena orang-orang semakin terbiasa dengan kebijakan dan aktivitas keseharian mereka yang sekular, semakin banyak orang yang mulai memiliki pertanyaan tentang apakah nilai-nilai agama masih relevan dengan dunia.

Faktor selanjutnya kenapa ateisme bisa menjadi semakin populer adalah karena kesenjangan ekonomi. Daniel Ryan Blazo dalam tulisannya The Politics of Atheism in the West menduga bahwa karena adanya sekularisme, lapisan masyarakat yang merasa dirugikan oleh sistem ekonomi yang berlaku cenderung lebih percaya bahwa keadilan dan ketidakadilan di dunia diciptakan adalah akibat ulah manusia.

Oleh karena itu, meski pada awalnya mereka tidak semata-mata tidak percaya pada tuhan, akan tetapi pandangan dasar mereka yang melihat bahwa manusialah sumber kekejaman di dunia, secara perlahan mulai melepaskan pandangan-pandangan spiritualnya.

Baca juga :  Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Alasan lainnya yang terkesan kecil namun memiliki dampak besar juga adalah akibat perkembangan internet. Di zaman sekarang, orang-orang yang memiliki pandangan unik dapat dengan sangat mudah menemukan orang-orang yang serupa dengannya, seperti melalui komunitas atau diskusi online.

Begitu juga dengan penyebaran ide. Saat ini kita dengan sangat mudah bisa menemukan penjelasan seorang profesor yang mendukung ide ateisme di Instagram, YouTube, atau TikTok sekalipun. Sebagai dampaknya, banyak orang-orang yang tergiring pandangan tersebut. (D74)

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

Eropa “Terlalu Baik” Terhadap Imigran?

Kasus penembakan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian terhadap seorang remaja imigran telah memicu protes besar di Prancis. Akan tetapi, kemarahan para demonstran justru...

More Stories

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?