Cross BorderAmerika Sebetulnya Merindukan Uni Soviet? 

Amerika Sebetulnya Merindukan Uni Soviet? 

- Advertisement -

Di Amerika Serikat (AS), dari sebelum dan setelah menyerang Ukraina, Rusia kerap dipandang sebagai potensi ancaman besar dan wujud kedua dari mendiang adidaya, Uni Soviet. Mengapa hal itu bisa terjadi? 


“Every fairy tale needs a good old-fashioned villain.” – Jim Moriarty, film Sherlock episode The Reichenbach Fall 

PinterPolitik.com 

Kira-kira sudah berapa banyak produk kultur populer asal Amerika Serikat (AS) yang membicarakan tentang Uni Soviet? Mulai dari film seperti Red Sparrow dan Captain America: The Winter Soldier, sampai video game seperti Call of Duty: Cold War dan Fallout, mungkin ada ratusan hasil karya orang AS yang menceritakan tentang ancaman besar dari Negeri Palu Arit tersebut. 

Terbaru, serial Secret Invasion dari Marvel Cinematic Universe juga membawa kita ke sensasi ala Perang Dingin dengan ceritanya yang berlatar belakang ketegangan antara AS dan Rusia di masa modern. 

Meski pandangan umum biasanya mampu menjelaskan bahwa fenomena tersebut terjadi atas dasar keperluan rekayasa sosial, yakni framing Rusia atau Soviet sebagai ancaman bersama, kita tidak bisa mengesampingkan begitu saja fakta bahwa produk-produk tersebut tampak seperti upaya framing yang dilebih-lebihkan. Maksudnya, kalau kita membandingkannya dengan Soviet, mungkin semua orang akan sadar bahwa Rusia saat ini tidak berada di level ancaman yang sama seperti pendahulunya itu. 

Yang membuat ini tambah menarik adalah konten-konten seperti itu selalu ada bahkan sebelum Rusia melakukan serangan pada Ukraina pada tahun 2022. Ini artinya, terlepas dari keadaan yang sedang terjadi, framing Rusia sebagai ancaman kedua setelah Uni Soviet seakan selalu menjadi komoditas yang dieksploitasi oleh industri hiburan AS.  

Tom Brook dalam tulisannya Hollywood stereotypes: Why are Russians the bad guys?, menyebutkan bahwa antagonisme Rusia memang terbukti selalu berhasil menjadi plot cerita yang menarik bagi warga AS, ini karena dari stereotipe fisik orang Rusia pun (tinggi, berambut putih), mereka sudah tampak “menyeramkan”, dan menjadi simbolisme tersendiri terhadap Soviet yang pernah menjadi musuh besar AS. 

Namun, dengan fakta bahwa AS tidak melakukan pembatasan terhadap hal ini menunjukkan bahwa antagonisme Rusia tampaknya bermakna lebih dari sekadar framing belaka, tetapi juga mungkin indikasi adanya romantisisme terhadap Uni Soviet, yang mungkin bahkan belum disadari oleh banyak orang-orang Barat. 

image 24

AS Sebenarnya Masih Perlu Soviet? 

Ada sebuah buku menarik tentang perspektif AS terhadap Uni Soviet setelah keruntuhannya. Buku tersebut berjudul The Strange Death of Soviet Communism, dan merupakan hasil editan Nikolas K. Gvosdev. Akan tetapi, isinya bukan berasal dari tulisan satu orang, melainkan kumpulan tulisan dari sejumlah pengamat Barat tentang keruntuhan Uni Soviet pada tahun 1991. 

Baca juga :  Iran vs Israel, PD III Sudah Dimulai?

Pembahasan kumpulan tulisan tersebut memang berbeda-beda, tapi mayoritas berangkat dari satu pertanyaan besar, yakni kenapa negara sekuat Uni Soviet bisa tiba-tiba saja runtuh. Padahal, berdasarkan sejumlah kalkukasi, baik dari pandangan sosial, politik, ataupun ekonomi, Soviet seharusnya masih bisa bertahan dari ancaman-ancaman yang muncul di negaranya. 

Tentu, kalau kita bicara teknis, pembahasan tersebut bisa sangat panjang, tetapi, satu hal menarik yang akan kita bahas di sini adalah fenomena bahwa hampir seluruh penulis yang terlibat dalam penulisan di buku tersebut menunjukkan kekecewaan yang begitu besar akan hancurnya sebuah negara yang tadinya dianggap setara dengan AS. 

Yess, sederhananya, bisa kita asumsikan bahwa romantisisme terhadap Soviet sebetulnya tidak hanya muncul dari industri hiburan ataupun khalayak AS saja, tetapi juga dari tataran akademis yang selama puluhan tahun mengamati perkembangan Soviet sebagai penantang sejati AS. Dan sepertinya, kekecewaan tersebut berkaitan dengan hasrat manusia akan pentingnya sebuah sosok oposisi sebagai penyeimbang kekuasaan. 

Dugaan ini bukan tanpa dasar. Kalau kita melihat sejarah, memang kita akan melihat bahwa perkembangan peradaban manusia selalu diiringi oleh persaingan dua kekuatan besar. Mulai dari persaingan Athena vs Sparta, Romawi vs Kartago, Kerajaan Inggris vs Kerajaan Prancis, sampai AS vs Soviet sendiri, kompetisi-kompetisi tersebut membuat masing-masing pihak merasa perlu mendorong batas kemampuan mereka agar bisa mendapatkan keunggulan dari lawannya. 

Sebagai hasilnya, negara-negara itu, yang tentunya juga bagian dari peradaban manusia, menemukan inovasi-inovasi baru yang sebelumnya mungkin hanya dianggap sebagai angan-angan belaka. Sebagai contoh, kita renungkan saja, tanpa adanya Perang Dingin, mungkin manusia tidak akan menemukan teknologi untuk menempatkan seseorang di permukaan Bulan. 

Menariknya, pandangan yang demikian tampaknya juga berevolusi menjadi sebuah stigma unik di masyarakat. Umumnya, kita melihat dunia terbagi menjadi dua kubu, yakni kubu baik dan kubu jahat. Sederhananya, tentu akan sangat sulit bila kita membayangkan dunia hanya dengan adanya satu kubu, bukan?  

Hal inilah yang secara tidak sadar sepertinya mulai tumbuh di pandangan orang banyak. Alhasil, banyak orang di dunia saat ini melihat Rusia sebagai tantangan baru bagi AS, padahal, kalau kita teliti, Rusia bukanlah sebuah negara yang bisa mendobrak dominasi AS, setidaknya untuk saat ini. Tapi, tetap saja, tanpa alasan yang rasional, semua orang seakan-akan setuju bahwa mereka “perlu” membuat Rusia sebagai musuh yang sangat nyata bagi AS. 

Baca juga :  Iran-Israel: Ujian Terberat Biden 

Baik. Alasan sentimental kenapa romantisisme terhadap Uni Soviet di AS sudah bisa sedikit kita pahami. Akan tetapi, hal ini masih menyisakan satu pertanyaan penting, bagaimana pandangan politik internasional bisa menjustifikasi asumsi bahwa AS sebenarnya masih memerlukan Soviet? 

image 25

Unipolarisme, Problematisme? 

Di dalam studi Hubungan Internasional, ada sebuah teori esensial tentang keseimbangan kekuatan yang disebut balance of power. Singkatnya, teori ini meyakini bahwa kestabilan dunia hanya bisa dijalankan bila satu negara besar dihadapi satu negara besar lain. Kepentingan mereka yang bertabrakan kemudian mampu mengimbangi potensi ancaman yang muncul.  

Nah, dari perspektif balance of power, kita bisa melihat bahwa kehilangan sebuah musuh sesungguhnya dapat mengganggu keseimbangan tersebut, ini karena absennya sebuah musuh besar dapat mengakibatkan pergeseran dinamika kekuatan dan menciptakan ketidakpastian dalam panggung internasional.  

Akan tetapi, makna balance of power sesungguhnya sebenarnya lebih dari itu. Keseimbangan kekuatan dalam politik internasional sebetulnya juga dibutuhkan agar masalah-masalah besar di dunia tidak hanya ditimpakan pada satu negara saja.  

Ian Bremmer dalam bukunya Every Nation For Itself: Winners and Losers in a G-Zero World, mengatakan bahwa sekarang ini sesungguhnya tidak ada negara yang mau menjadi hegemoni tunggal dalam sistem dunia, karena dunia yang semakin modern ini semakin menciptakan masalah yang juga semakin rumit untuk diselesaikan oleh AS saja. 

Inilah yang menurut Bremmer menjadi alasan dari semakin hilangnya pengaruh AS terhadap perilaku negara seperti Tiongkok dan Rusia. Dengan demikian, sebetulnya keseimbangan kekuatan global perlu di-manage ulang.

Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa di satu sisi AS sebetulnya selalu mendambakan adanya kebangkitan kekuatan baru, karena ia tidak perlu lagi menjadi satu-satunya negara yang harus mengeluarkan tenaga dan uangnya demi menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sesungguhnya tidak selalu menguntungkan AS.  

Pandangan Bremmer ini bisa menjadi dasar kuat di balik romantisisme Uni Soviet di AS. Bisa jadi, romantisisme tersebut sebetulnya berperan sebagai suara terpendam AS akan keinginan mereka untuk kembali memiliki musuh yang bisa menandinginya dalam srimulat kelas dunia. Bagi mereka, tanpa adanya Soviet, well, mungkin dunia terasa tidak sama dan tidak “asik” lagi. 

Tapi tentu, ini semua hanyalah interpretasi belaka. Yang jelas, bagaimanapun dinamika sosial dan politik yang terjadi, perdamaian tetap harus jadi satu hal yang kita saja semampu mungkin. (D74) 

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

Eropa “Terlalu Baik” Terhadap Imigran?

Kasus penembakan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian terhadap seorang remaja imigran telah memicu protes besar di Prancis. Akan tetapi, kemarahan para demonstran justru...

More Stories

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?