HomeBelajar PolitikTolak Kolonialisme, Bukan Risetnya

Tolak Kolonialisme, Bukan Risetnya

Kecil Besar

Bukannya takut dengan riset, namun proyek penelitian dari tiga lembaga Belanda tersebut bias pandangan kolonial.


PinterPolitik.com 

[dropcap size=big]K[/dropcap]etika Indonesia masih terbata-bata dan berada di ruang gelap sejarah negeri sendiri, tahu-tahu ada tiga lembaga penelitian asal Belanda ingin mengorek kekerasan perang di masa kemerdekaan Indonesia. Proyek penelitian Belanda itu bertajuk ‘Dekolonialisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia 1945 – 1950’.

Lembaga yang menaungi penelitian ini tak main-main, mereka adalah Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH), Lembaga Ilmu Bahasa, Negara, dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV) dari Universitas Leiden, dan Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD). Fantastis, pihak Kerajaan Belanda rela menggelontorkan dana sebesar 4,1 juta Euro atau sebesar Rp. 64 milyar untuk proyek ini.

Menariknya, sekaligus yang menyebalkan, para peneliti itu ingin mengulik sisi psikologis orang Indonesia sekaligus mencari angka kematian serdadu Belanda dan indo-Belanda yang dibantai oleh orang Indonesia pada periode tersebut. Duh, apa tidak terbalik, ya? Justru sepanjang perjalanan sejarah tahun 1945 – 1950, pembantaian yang dilakukan kolonial Belanda, dipimpin Westerling di daerah Sulawesi marak dilakukan, memakan ribuan korban.

Tolak Kolonialisme
FOTO: ISTIMEWA

Sudah menguras sumber daya, mencabut nyawa warganya dan mengacak-acak Indonesia, kok masih saja dicari-cari kesalahannya? Situ sehat?

Ditolak Sejarawan dan Sesama Peneliti

Rushdy Hoesein, sejarawan Universitas Indonesia sekaligus ketua Pembina Komunitas Historia Indonesia (KHI), langsung saja menolak. “Saya dan teman-teman angkatan ’45, menolak. Karena borok itu mestinya dikompres biar adem, bukan malah dicutik pakai lidi. Nanti bisa jadi bengkak.” Memang bukan alasan yang bagus, namun Bapak berusia 70 ini, sudah mencium bias pandangan kolonial dalam tujuan para peneliti Belanda.

Marjolein Van Pagee (kebaya putih) foto: istimewa

Apa itu bias pandangan kolonial? Nah, peneliti asal Belanda dari yayasan Histori Bersama, Marjolein Van Pagee menunjukannya. Menurutnya, ketimbang meneliti dampak psikologis peperangan, lebih baik melakukan penelitian soal pengaruh propaganda Belanda terhadap cara pikir masyarakat Belanda sendiri dalam memandang kolonialisme di Indonesia. “Yang mendasari riset itu serasa konyol,” ujarnya.

Bias pandangan kolonial yang gagal ditangkap para peneliti Belanda itulah, yang patut kita kritisi dan tolak. Sebab, menurut Rushdy dan Marjolein, mereka hanya akan sampai pada premis ‘Indonesia bersalah’, tapi abai pada kesengsaraan dan penderitaan yang telah diciptakannya selama berabad-abad. Nah, jika sudah sampai pada kesimpulan itu, lantas Belanda mau apa?

Nah, di sinilah pentingnya kita mempelajari sejarah, jadi kita bisa lihat kekosongan pada bangunan pemikiran orang lain untuk dikritisi dengan baik. Nah lho, tapi gimana mau pintar kalau seminar dan diskusi sejarah di sini dibubarkan terus? Waduh, malu dong sama perpustakaan tertinggi di dunia yang baru dibangun itu. (Berbagai Sumber/ A27)

spot_imgspot_img

#Trending Article

2029 Anies Fade Away atau Menyala?

Ekspektasi terhadap Anies Baswedan tampak masih eksis, terlebih dalam konteks respons, telaah, dan positioning kebijakan pemerintah. Respons dan manuver Anies pun bukan tidak mungkin menjadi kepingan yang akan membentuk skenario menuju pencalonannya di Pilpres 2029.

The Pig Head in Tempo

Teror kepala babi dan bangkai tikus jadi bentuk ancaman kepada kerja-kerja jurnalisme. Sebagai pilar ke-4 demokrasi, sudah selayaknya jurnalisme beroperasi dalam kondisi yang bebas dari tekanan.

PDIP Terpaksa “Tunduk” Kepada Jokowi?

PDIP melalui Puan Maharani dan Joko Widodo (Jokowi) tampak menunjukan relasi yang baik-baik saja setelah bertemu di agenda Ramadan Partai NasDem kemarin (21/3). Intrik elite PDIP seperti Deddy Sitorus, dengan Jokowi sebelumnya seolah seperti drama semata saat berkaca pada manuver PDIP yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintah tetapi justru bersikap sebaliknya. Lalu, kemana sebenarnya arah politik PDIP? Apakah akhirnya secara tak langsung PDIP akan “tunduk” kepada Jokowi?

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.

Deddy Corbuzier: the Villain?

Stafsus Kemhan Deddy Corbuzier kembali tuai kontroversi dengan video soal polemik revisi UU TNI. Pertanyaannya kemudian: mengapa Deddy?

Sejauh Mana “Kesucian” Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, “kesucian” Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

Teror Soros, Nyata atau “Hiperbola”? 

Investor kondang George Soros belakangan ramai dibincangkan di media sosial. Apakah ancaman Soros benar adanya, atau hanya dilebih-lebihkan? 

More Stories

Jangan Remehkan Golput

Golput menjadi momok, padahal mampu melahirkan harapan politik baru. PinterPolitik.com Gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 tunai sudah. Kini giliran analisis hingga euforia yang tersisa dan...

Laki-Laki Takut Kuota Gender?

Berbeda dengan anggota DPR perempuan, anggota DPR laki-laki ternyata lebih skeptis terhadap kebijakan kuota gender 30% untuk perempuan. PinterPolitik.com Ella S. Prihatini menemukan sebuah fakta menarik...

Menjadi Pragmatis Bersama Prabowo

Mendorong rakyat menerima sogokan politik di masa Pilkada? Prabowo ajak rakyat menyeleweng? PinterPolitik.com Dalam pidato berdurasi 12 menit lebih beberapa menit, Prabowo sukses memancing berbagai respon....