HomeNalar PolitikSentil Saudi, Amerika Kirim Kapal Induk? 

Sentil Saudi, Amerika Kirim Kapal Induk? 

Amerika Serikat (AS) diketahui baru saja mengirim salah satu kapal induknya ke Laut Merah. Resminya, gerakan tersebut dilakukan untuk memberi tekanan pada Yaman. Namun, mungkinkah ini juga merupakan sentilan kepada Arab Saudi? 


PinterPolitik.com 

Efek berantai pertempuran antara Israel dan Palestina tampak semakin luas dan mengkhawatirkan. Selain berdampak pada meningkatnya tegangan politik antara negara-negara tetangga Israel, seperti Lebanon dan Yaman, kini negara pendukung terkuat Israel, yakni Amerika Serikat (AS) juga dikabarkan baru saja mengirim kapal induknya ke Laut Merah, tepatnya, ke Teluk Aden.  

Yap, menurut laporan dari Politico pada 16 Desember, Negeri Paman Sam telah menempatkan kapal induk Dwight D. Eisenhower di wilayah laut yang dekat dengan perbatasan Arab Saudi dan Yaman tersebut. Pernyataan resminya, AS melakukan itu karena mereka ingin mengamankan jalur perdagangan di Laut Merah dari kelompok Houthi Yaman yang disebutnya kerap melakukan serangan kepada kapal militer dan sipil di sana. 

Menariknya, beberapa pengamat berpandangan bahwa manuver AS itu sebenarnya dilakukan untuk melindungi Israel dari serangan-serangan para musuhnya di kawasan Teluk Arab. 

Dan memang, sesuai laporan dari Al Jazeera, AS sendiri sudah menghancurkan beberapa misil yang ditembak dari Yaman ke Israel. Akan tetapi, aksi tersebut mulai menjadi sorotan karena mengisyaratkan potensi keterlibatan langsung AS ke konflik di Timur Tengah. 

Namun, tindakan kontroversial AS untuk menaruh tekanan militer yang kuat di Laut Merah itu sebetulnya bisa jadi ditargetkan sebagai “sentilan” politik pedas yang ditujukan ke Arab Saudi, bukan kepada Yaman, Palestina, ataupun Iran. Hmm, mengapa demikian? 

image 9

Akibat Arab Saudi? 

Pada tanggal 31 Oktober silam, sempat muncul diskursus yang cukup menarik terkait hubungan Saudi, Israel, dan Yaman. Pada tanggal itu, menurut laporan dari Associated Press, Houthi berhasil meluncurkan misil ke Israel, melintasi wilayah udara Saudi.  

Baca juga :  Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting karena sebelumnya Saudi diketahui selalu menghalau misil Houthi yang melintasi wilayahnya. Atas dasar itu, lolosnya misil Houthi sempat memunculkan semacam dugaan bahwa Saudi mungkin sedang dibingungkan oleh keputusan diplomatisnya untuk menjadi “tembok pelindung” atas serangan yang dluncurkan Yaman.  

Yap, dengan lolosnya misil dari Yaman, sempat diasumsikan bahwa Saudi mungkin membiarkan Israel, yang notabene adalah rekan “kesayangan” AS, diserang oleh musuhnya, padahal Saudi seharusnya bisa menghalaunya. 

Nah, hal ini menjadi salah satu dasar asumsi di balik alasan pengiriman kapal induk Dwight D. Eisenhower ke Laut Merah. Bisa saja, AS kini merasa perlu memperkuat kehadiran kekuatannya di Timur Tengah karena ia sedang merasa tidak yakin bahwa negara yang tadinya diandalkan sebagai salah satu teman dekatnya, bisa menjaga kepentingan AS di Timur Tengah. Tentu, negara yang dimaksud ini adalah Arab Saudi. 

Mahad Darar, pengamat politik dari Colorado State University, dalam tulisannya di laman The Conversation, sudah pernah memprediksi bahwa ikut campurnya Yaman dalam peperangan Israel-Palestina berpotensi mengakibatkan rusaknya hubungan diplomatis antara Saudi dan AS, karena segala sikap politik yang ditunjukkan Saudi, rela atau tidak rela, akan dipandang sebagai komitmen untuk “tunduk” kepada AS, atau membangkang mereka.  

Well, bila kita mengambil pandangan Darar untuk melihat manuver kapal induk AS, bisa jadi Saudi telah mengambil posisi untuk tidak menjadi boneka dari Negeri Paman Sam. 

Menariknya, bila benar Saudi mulai mengambil sikap untuk sedikit menjauh dari AS, muncul pertanyaan lanjutan yang layak kita pertanyakan bersama, yakni, mengapa Saudi melakukannya? 

image 10

Saudi Ingin “Lepas” dari AS? 

Arab Saudi secara de facto memang dikenal sebagai salah satu negara yang punya hubungan paling kuat dengan AS. Dari segi pertahanan misalnya, menurut laporan dari SIPRI, Saudi masih menjadi negara yang paling sering menjadi pembeli alutsista buatan AS. 

Baca juga :  “Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Akan tetapi, kita pun tidak bisa memungkiri bahwa setidaknya sejak dua tahun terakhir Saudi mulai berani menetapkan posisi diplomatis yang berseberangan dengan Negeri Paman Sam, mulai dari penolakan atas permintaan untuk tingkatkan produksi minyak bumi (pasca Perang Rusia-Ukraina), hingga kedekatan ekonomi dengan China.  

Kalau kita coba telaah, mungkin setidaknya ada beberapa alasan mengapa Saudi mulai berani sedikit “membandel” pada AS. Pertama, China menjadi kekuatan ekonomi global yang berkembang pesat, memberikan Saudi peluang untuk diversifikasi kemitraan dan mengurangi ketergantungan pada Amerika Serikat.  

Kedua, program Belt and Road Initiative (BRI) milik China menawarkan proyek infrastruktur dan investasi yang menarik bagi Saudi Arabia, yang dapat memperkuat ekonominya dan memajukan pengembangan sektor-sektor kunci. Kembali lagi, hal ini sangat sejalan dengan keinginan Saudi di bawah kepemimpinan de facto Putra Mahkota Mohammed bin Salman, yang ingin mendiversifikasi sumber pemasukan ekonomi negaranya.  

Selain itu, Saudi pun bisa jadi mengamati dinamika geopolitik yang berubah, termasuk perubahan fokus strategis AS yang beberapa kali diungkapkan oleh Presiden Joe Biden dan mantan Presiden Donald Trump bahwa Paman Sam akan lebih fokus ke negara-negara Asia Pasifik. Dengan menjalin hubungan yang lebih erat dengan China, Saudi dapat memperoleh keuntungan ekonomi dan dukungan politik yang lebih kuat. 

Selain itu, ketidakpastian di kawasan Teluk Arab, terutama konflik Israel-Palestina, mungkin juga mendorong Saudi untuk mencari mitra yang lebih netral. Ini menciptakan ruang bagi Saudi untuk memanfaatkan peluang ekonomi dan strategis yang ditawarkan oleh China, menciptakan landasan untuk hubungan yang lebih kuat di masa depan. 

Namun pada akhirnya perlu diingat bersama bahwa hal-hal yang disebutkan di atas hanyalah asumsi belaka atas perkembangan geopolitik di Teluk Arab. Tentunya, sangat menarik untuk kita tunggu perkembangannya. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Rahasia Besar Presidential Club Prabowo?

Presiden ke-8 RI Prabowo Subianto disebut menggagas wadah komunikasi presiden terdahulu dengan tajuk “Presidential Club”. Kendati menuai kontra karena dianggap elitis dan hanya gimik semata, wadah itu disebut sebagai aktualisasi simbol persatuan dan keberlanjutan. Saat ditelaah, kiranya memang terdapat skenario tertentu yang eksis di balik kemunculan wacana tersebut.

Apa Siasat Luhut di Kewarganegaran Ganda?

Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengusulkan agar kewarganegaraan ganda untuk diaspora Indonesia diperbolehkan. Apa rugi dan untungnya?

Budi Gunawan Menuju Menteri Prabowo?

Dengarkan artikel ini: Nama Kepala BIN Budi Gunawan disebut-sebut sebagai salah satu kandidat calon menteri yang “dititipkan” Presiden Jokowi kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Hal...

Bukan Teruskan Jokowi, Prabowo Perlu Beda?

Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto selalu sebut akan lanjutkan program-program Presiden Jokowi, Namun, haruskah demikian? Perlukah beda?

Mungkinkah Prabowo Tanpa Oposisi?

Peluang tak adanya oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran sangat terbuka.Ini karena beberapa partai yang awalnya menjadi lawan Prabowo-Gibran, kini sudah mulai terang-terangan menyatakan siap menjadi bagian dari pemerintahan.

Alasan Ketergantungan Minyak Bumi Sulit Dihilangkan

Bahan bakar minyak (BBM) terus dikritisi keberadaannya karena ciptakan berbagai masalah, seperti polusi udara. Tapi, apakah mungkin dunia melepaskan ketergantungannya pada BBM?

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

More Stories

Alasan Ketergantungan Minyak Bumi Sulit Dihilangkan

Bahan bakar minyak (BBM) terus dikritisi keberadaannya karena ciptakan berbagai masalah, seperti polusi udara. Tapi, apakah mungkin dunia melepaskan ketergantungannya pada BBM?

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?