HomeCelotehAda Apa Yasonna vs Jaksa Agung?

Ada Apa Yasonna vs Jaksa Agung?

“Dari mana data bahwa dia 3 bulan di sini? Tidak ada datanya kok. Di sistem kami tidak ada, saya tidak tahu bagaimana caranya. Sampai sekarang tidak ada”. – Yasonna Laoly, Menkumham


PinterPolitik.com

Setelah mendapatkan kritik dari koleganya sendiri di PDIP – Masinton Pasaribu – terkait pengangkatan anggota kepolisian aktif sebagai pejabat di Kementerian Hukum dan HAM, Menkumham Yasonna Laoly kini dihadapkan oleh ujian lagi terkait lembaganya.

Adalah Jaksa Agung ST Burhanuddin yang mengungkapkan terkait keberadaan buronan kasus cessie Bank Bali, Djoko Tjandra yang disebut telah 3 bulan lebih berada di Indonesia.

Buat yang belum tahu, Djoko Tjandra ini jadi salah satu tokoh utama dalam kasus yang terjadi di sekitaran tahun 1998. Ceritanya, Direktur Utama Bank Bali kala itu, Rudy Ramli kesulitan menagih piutangnya yang tertanam di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUM), dan Bank Tiara.

Total piutang Bank Bali itu nggak tanggung-tanggun cuy, nilainya sekitar Rp 3 triliun. Namun, hingga ketiga bank itu masuk perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), tagihan tersebut tak kunjung cair.

Nah, Rudy Ramli  kemudian menjalin kerja sama dengan PT Era Giat Prima (EGP), yang kala itu Djoko Tjandra duduk selaku direkturnya dan “Papa” Setya Novanto yang saat itu menjabat sebagai Bendahara Partai Golkar adalah direktur utamanya. Wih, Papa Setnov emang udah melanglang buana ya sejak dulu. Uppps.

Singkat cerita, kedua pihak menandatangani perjanjian pengalihan hak tagih di mana EGP bakal menerima fee yang besarnya setengah dari duit yang dapat ditagih.

Akhirnya nih, Bank Indonesia (BI) dan BPPN setuju mengucurkan duit Bank Bali itu dengan jumlah Rp 905 miliar. Namun Bank Bali hanya mendapat Rp 359 miliar, sisanya sekitar 60 persen atau Rp 546 miliar, masuk rekening EGP.

Nah, ada desas-desus yang bilang bahwa kekuatan politik turut andil dalam proyek ini, terutama dari Partai Golkar. Beh, ini mah levelnya sakti kasusnya.

Singkat cerita, setelah melalui proses hukum yang panjang, Djoko Tjandra yang semula divonis bebas, akhirnya divonis 2 tahun penjara setelah Kejaksaan melakukan Peninjauan Kembali (PK).

Namun, Djoko udah terlanjur menjadi buron, bahkan kini telah menjadi warga negara Papua Nugini. Hmm, jadi emang dari awal masalahnya udah melibatkan Kejaksaan Agung ya.

Nah, ST Burhanuddin beberapa hari lalu menyebutkan bahwa Djoko telah ada di Indonesia. Wih, emang nggak dideteksi tuh kedatangannya?

Makanya nggak heran Menkumham Yasonna kebakaran jenggot. Soalnya doi bilang pihaknya – dalam hal ini Ditjen Imigrasi yang ada di bawah Kemenkumham – nggak punya data soal kedatangan Djoko. Nah loh.

Kan jadi makin aneh nih Kemenkumham. Dulu kasusnya Harun Masiku juga kayak gitu. Bilangnya belum ada di Indonesia, eh nggak tahunya udah ada di Indonesia. Hmm, bikin banyak orang jadi curiga kan. Upps.

Semoga ke depannya Menkumham sama Jaksa Agung bisa punya data yang sama lah. Soalnya nggak enak kan dilihat masyarakat. Hehehe. (S13)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

#Trending Article

More Stories

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.