Dengarkan artikel ini:
Maruarar Sirait dapat target berat wujudkan mimpi 3 juta rumah baru untuk rakyat. Namun, dengan berbagai tantangan dan kondisi yang ada, program-programnya terlihat jalan di tempat. Kerap vokal ketika berbicara di media, Ara dikritik karena dianggap belum cukup cepat mengeksekusi program-program pembangunan perumahan.
Maruarar Sirait, politisi muda senior yang dulu dikenal sebagai loyalis PDIP dan kini menjabat sebagai Menteri Perumahan dan Permukiman di kabinet Prabowo Subianto, tengah menjadi sorotan. Bukan hanya karena posisinya yang dianggap strategis, tetapi juga karena beban berat yang kini menggelayuti pundaknya: membangun tiga juta rumah rakyat.
Target ambisius ini merupakan salah satu janji besar kampanye pasangan Prabowo-Gibran yang kini harus dibuktikan, dan Ara—sapaan akrab Maruarar—adalah ujung tombaknya.
Namun hingga kini, realisasi program itu tak kunjung terlihat. Yang ada justru rangkaian pernyataan normatif, jargon-jargon politik, dan pameran visi besar yang belum menjelma dalam bentuk konkrit.
Ara bicara tentang rumah murah, rumah gratis, rumah untuk jurnalis, bahkan kerja sama dengan swasta dan BUMN. Tapi sejauh ini, semua itu masih berupa konsep di atas kertas, bukan beton di atas tanah.
Fenomena ini tentu tak bisa dilepaskan dari konteks ekonomi makro. Pemerintahan Prabowo sedang menghadapi tekanan fiskal yang besar, warisan dari periode sebelumnya. Sinyal efisiensi anggaran terus digaungkan Menteri Keuangan dan para ekonom istana.
Dalam iklim seperti ini, program-program yang membutuhkan dana raksasa seperti pembangunan massal perumahan cenderung menjadi korban pemangkasan, atau setidaknya tertunda pelaksanaannya.
Pertanyaannya kini: apakah yang dilakukan Maruarar hanya sekadar “window dressing”? Ataukah ada motif dan strategi politik lain di balik narasi besar yang kosong substansi ini?
Retorika Tanpa Pondasi
Jika mengikuti jejak langkah Maruarar Sirait sejak awal dilantik, ada pola yang cukup kentara: komunikasi publik yang agresif, namun dengan langkah kebijakan yang tidak secepat kata-kata. Ia rajin muncul di media, memberi statement, meninjau lokasi, dan menggulirkan rencana-rencana besar.
Namun laporan pelaksanaan di lapangan belum tampak signifikan. Tidak ada gebrakan berarti, tidak ada inovasi skema pembiayaan revolusioner, bahkan pilot project yang bisa menjadi showcase pun belum terdengar gaungnya.
Dalam dunia politik, pola seperti ini sering disebut sebagai “window dressing”: penampilan luar yang menawan untuk menutupi kekosongan isi. Praktik ini biasa digunakan untuk menciptakan ilusi kinerja, membangun persepsi positif di mata publik, dan menjaga stabilitas politik dalam jangka pendek.
Di balik retorika, tidak ada infrastruktur teknokratik yang solid, tidak ada roadmap yang realistis, dan yang paling penting—tidak ada hasil nyata.
Fenomena ini bukan monopoli Maruarar. Banyak menteri di masa-masa awal pemerintahan yang melakukan hal serupa—membangun ekspektasi publik tinggi sebelum akhirnya terjebak dalam realitas birokrasi dan fiskal yang keras. Namun dalam kasus Ara, ada dua teori politik yang menarik untuk dibedah lebih dalam: teori performativitas dan teori legitimasi simbolik.
Teori performativitas, sebagaimana dijelaskan oleh Judith Butler dalam konteks gender namun relevan dalam politik, menyebut bahwa identitas dan kekuasaan dibentuk melalui tindakan yang berulang dan simbolik.
Dalam hal ini, Ara membentuk identitas sebagai “menteri progresif pro-rakyat” bukan lewat kebijakan nyata, tetapi lewat gestur politik: konferensi pers, kunjungan kerja, dan narasi besar yang terus diulang. Dengan kata lain, yang diciptakan adalah performa kekuasaan, bukan substansi kebijakan.
Sedangkan teori legitimasi simbolik dari Pierre Bourdieu menekankan pentingnya simbol dan representasi dalam membentuk legitimasi kekuasaan. Dalam konteks ini, Maruarar menggunakan narasi besar tentang tiga juta rumah bukan untuk benar-benar membangunnya dalam waktu dekat, tetapi untuk merebut ruang simbolik dalam pemerintahan Prabowo.
Ia sedang memoles citranya, bukan hanya sebagai pelaksana kebijakan, tapi sebagai simbol kehadiran negara di tengah rakyat kecil. Masalahnya, simbol tanpa isi justru bisa menjadi boomerang ketika rakyat mulai sadar bahwa mereka hanya diberi mimpi, bukan rumah.
Apa Efeknya?
Jika fenomena ini hanya terbatas pada pencitraan individual, mungkin tidak akan terlalu berdampak sistemik. Namun posisi Maruarar sebagai menteri pelaksana dari salah satu janji utama Prabowo membuatnya tak bisa bermain-main terlalu lama dengan narasi kosong.
Ketika publik mulai mempertanyakan capaian program perumahan, bukan hanya Ara yang akan disorot, tetapi juga kredibilitas janji Prabowo-Gibran secara keseluruhan.
Gagalnya Ara untuk merealisasikan pembangunan program perumahan dapat menciptakan efek domino. Pertama, kepercayaan publik terhadap pemerintahan bisa mulai terkikis. Program perumahan rakyat adalah janji populis yang menyasar kelompok bawah dan kelas menengah ke bawah, kelompok yang sangat sensitif terhadap kenaikan harga rumah, inflasi biaya hidup, dan stagnasi penghasilan. Ketika janji itu tidak ditepati, kekecewaan mereka bisa mengarah langsung ke istana.
Kedua, akan ada implikasi politis terhadap koalisi pemerintahan. Bila ia gagal menunjukkan kinerja, maka potensi tarik-ulur kekuasaan antara elite lama dan baru bisa semakin panas. Ini bisa memperuncing konflik elite dan memperlemah kohesi kabinet.
Ketiga, ketidakmampuan merealisasikan program besar seperti ini akan memperkuat persepsi bahwa pemerintahan Prabowo hanya kuat di narasi, namun lemah di eksekusi. Hal ini sangat berbahaya dalam jangka panjang, apalagi jika ditambah dengan isu-isu lain seperti ketimpangan, stagnasi pertumbuhan ekonomi, atau krisis kepercayaan lembaga negara.
Pemerintahan Prabowo memiliki keinginan besar untuk tampil sebagai kekuatan baru yang berani, tegas, dan berpihak pada rakyat. Namun keinginan itu seringkali terhambat oleh realitas fiskal dan kapasitas birokrasi yang tidak berubah signifikan dari periode sebelumnya. Dalam konteks ini, Maruarar Sirait adalah representasi dari paradoks tersebut—figur progresif dengan ide besar, tapi terjebak dalam realitas struktural yang tak mendukung.
Bukan berarti program perumahan rakyat tidak mungkin diwujudkan. Tetapi tanpa reformasi sistem pembiayaan, kemitraan yang kuat dengan swasta, serta deregulasi yang efektif, semua akan tetap menjadi wacana. Ara seharusnya bisa menjadi motor penggerak dari transformasi itu, bukan hanya tukang bicara.
Di tengah kesulitan ini, Maruarar punya dua pilihan. Ia bisa terus menjadi “juru bicara” janji-janji besar dan menikmati sorotan media, atau ia bisa mulai membangun langkah-langkah konkrit meski kecil—menunjukkan bahwa pemerintahan ini setidaknya sedang bergerak ke arah yang benar. Pilot project, insentif untuk pengembang rumah rakyat, atau bahkan kolaborasi dengan komunitas lokal bisa menjadi langkah awal yang menunjukkan keseriusan.
Namun jika ia terus memilih jalan window dressing, maka pada akhirnya masyarakat akan kehilangan kesabaran. Dan ketika itu terjadi, bukan hanya nama Maruarar yang dipertaruhkan, tapi juga narasi besar pemerintahan Prabowo-Gibran.
Sebab, Prabowo, yang dikenal dengan pendekatan militeristik dan tegas, mungkin belum terlalu memperhatikan isu ini. Namun jika Maruarar gagal menunjukkan hasil dalam satu-dua tahun pertama, ini bisa menjadi lubang pertama di dinding istana yang dibangun oleh ekspektasi tinggi dan janji-janji besar.
Kini, tinggal kita tunggu: apakah Maruarar Sirait akan membangun rumah untuk rakyat, atau hanya panggung bagi dirinya sendiri? (S13)