Dengarkan artikel ini. Audio ini dibuat dengan teknologi AI.
Tensi antara India dan Pakistan semakin memanas. Namun, mungkinkah korban sesungguhnya dari konflik kedua negara itu adalah negara lain?
Dalam beberapa hari terakhir, dunia kembali diguncang oleh memanasnya konflik antara dua musuh bebuyutan di Asia Selatan: India dan Pakistan.
Ketegangan yang telah berlangsung selama puluhan tahun kini memasuki babak baru setelah muncul kabar soal penembakan jatuh pesawat tempur di wilayah perbatasan Kashmir—sebuah wilayah sengketa yang sudah lama menjadi sumber bara konflik. Dunia menyaksikan, dengan napas tertahan, bagaimana dua negara bersenjata nuklir kembali berhadapan dengan retorika panas dan aksi militer yang bisa berujung pada malapetaka kawasan.
Namun, di tengah fokus pada perseteruan dua negara ini, muncul pertanyaan penting yang layak diajukan: siapa sebenarnya yang paling dirugikan dari eskalasi ini? Apakah benar hanya India dan Pakistan yang akan menanggung kerugian geopolitik dan ekonomi? Atau justru ada aktor ketiga yang ikut terkena dampaknya tanpa menjadi pihak langsung dalam konflik?
Beberapa analis mulai mencurigai bahwa pihak yang paling berkeringat dingin melihat eskalasi ini justru adalah Tiongkok. Negara yang belakangan menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia ini memiliki investasi besar dan kepentingan strategis yang sangat bergantung pada stabilitas kawasan Asia Selatan, khususnya melalui proyek ambisius mereka: Belt and Road Initiative (BRI). Maka dari itu, pertanyaan penting perlu diajukan: Seberapa besar potensi konflik ini menjadi malapetaka bagi Tiongkok?
Lantas, apakah konflik ini hanya kebetulan memanas, atau menjadi bagian dari formulasi strategi kekuatan global untuk menghentikan langkah Tiongkok secara ekonomi?

Jalan Sutra Baru, Medan Perang yang Baru
Proyek Belt and Road Initiative (BRI) milik Tiongkok adalah salah satu megaproyek infrastruktur terbesar yang pernah dirancang dalam sejarah modern. Diinisiasi sejak 2013 oleh Presiden Xi Jinping, proyek ini bertujuan untuk menghubungkan Tiongkok dengan Eropa, Asia Tengah, Timur Tengah, dan Afrika melalui jalur darat dan laut.
Salah satu jalur strategis dari proyek ini adalah CPEC (China–Pakistan Economic Corridor), yakni koridor ekonomi yang menghubungkan Provinsi Xinjiang di Tiongkok dengan pelabuhan Gwadar di Pakistan melalui jaringan jalan, rel, dan pipa energi.
Namun, keberhasilan koridor ini sangat bergantung pada satu hal krusial: stabilitas politik dan keamanan antara Pakistan dan India. Sebab, setiap ketegangan militer di sekitar wilayah Kashmir dapat mengancam keberlanjutan proyek CPEC yang melintasi wilayah rawan tersebut.
Tidak hanya itu, jalur alternatif ini juga merupakan bagian dari strategi Tiongkok untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap Selat Malaka, sebuah jalur laut sempit yang saat ini menjadi rute utama perdagangan Tiongkok, namun juga sangat mudah dikontrol oleh kekuatan militer Barat seperti AS dan sekutunya.
Dengan kata lain, Belt and Road Initiative bukan hanya soal pembangunan jalan dan pelabuhan, tapi juga sebuah strategi besar Tiongkok untuk memastikan kemandirian ekonominya dalam perdagangan global. Jika proyek ini terganggu oleh perang atau instabilitas kawasan, maka Tiongkok akan kembali bergantung pada jalur laut yang secara geopolitik tidak aman bagi mereka.
Di titik inilah muncul dugaan bahwa konflik India–Pakistan bisa jadi tidak berdiri sendiri. Jika dilihat dari perspektif strategi militer dan geopolitik, situasi ini mengingatkan pada teori “two-pronged attack”, yakni strategi menyerang satu kekuatan dari dua arah berbeda untuk membuatnya kewalahan. Dalam konteks ini, musuh tidak menyerang Tiongkok secara langsung, melainkan melalui mitranya yang paling strategis—Pakistan.
Dengan menciptakan kekacauan di wilayah Kashmir, jalur proyek BRI menjadi terancam, ekonomi Pakistan goyah, dan Tiongkok dipaksa untuk memikirkan ulang rencana jangka panjangnya. Dalam strategi proxy war, ini disebut “mengganggu kepentingan vital musuh dengan mengobarkan konflik di pinggiran”.
Dengan demikian, maka bukan tidak mungkin, eskalasi konflik ini adalah bagian dari diplomasi senyap untuk menahan laju kebangkitan Tiongkok, bahkan jika itu harus terjadi lewat tangan India dan di atas tanah Pakistan.

Diplomasi Kinetik dan Asumsi Rasional
Jika memang benar bahwa konflik India–Pakistan bisa berdampak besar terhadap kepentingan vital Tiongkok, maka tidak berlebihan bila kita mengasumsikan adanya upaya “diplomasi kinetik”—yakni penggunaan tekanan militer dan konflik terbuka sebagai alat negosiasi strategis global.
Dalam skema besar ini, ketegangan di Asia Selatan bukan hanya sekadar urusan dua negara yang saling membenci, melainkan juga menjadi panggung peringatan bagi Tiongkok bahwa jalur menuju status adidaya ekonomi tidak akan berjalan mulus.
Diplomasi kinetik semacam ini tentu tidak selalu terlihat secara kasat mata. Ia bekerja lewat perang proksi, manipulasi isu lokal, dan kadang-kadang lewat dorongan dari kekuatan besar yang tidak tampak secara langsung di medan konflik.
Jika benar konflik ini bagian dari grand design untuk melemahkan proyek BRI dan, pada gilirannya, memperlambat laju ekonomi Tiongkok, maka kita sedang menyaksikan permainan geopolitik tingkat tinggi yang jauh lebih kompleks dari sekadar perang perbatasan.
Namun, tentu saja semua ini masih dalam wilayah asumsi rasional, bukan kepastian faktual. Untuk membuktikan keterlibatan aktor-aktor global dalam eskalasi konflik ini, kita membutuhkan waktu, pengamatan tajam, dan akses pada informasi intelijen yang sangat terbatas.
Yang bisa kita lakukan saat ini adalah terus memperhatikan dinamika kawasan dengan kacamata yang lebih luas dan tidak terjebak pada narasi permukaan semata. Karena dalam dunia geopolitik, yang terlihat bukan selalu yang sebenarnya terjadi. (D74)