HomeHeadlineTeuku Umar, Surakarta, dan The Four Empire?

Teuku Umar, Surakarta, dan The Four Empire?

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Kendati aktor politik prominen yang silih berganti adalah sebuah keniscayaan, terdapat empat poros kekuatan yang kiranya akan terus lestari di era kontemporer. Bagaimana itu bisa terjadi?


PinterPolitik.com

Dalam dinamika politik Indonesia kekinian, sulit kiranya mengabaikan eksistensi dan pengaruh dari empat poros kekuasaan yang tampaknya telah menjelma menjadi entitas politik tersendiri.

Teraktualisasi dalam nickname tempat tertentu, hal itu bukan hanya sebagai tempat fisik, tetapi sebagai simbol kekuasaan yang mengakar dan terus bertransformasi.

Keempatnya adalah Teuku Umar (Megawati Soekarnoputri), Hambalang (Prabowo Subianto), Cikeas (Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY), dan Surakarta atau Solo (Joko Widodo).

Masing-masing merepresentasikan tokoh sentral dalam sejarah dan praktik politik Indonesia mutakhir yang pernah atau sedang menduduki kursi presiden, menjadikan mereka figur dengan legitimasi politik tertinggi dalam demokrasi elektoral Indonesia.

Fenomena ini menyerupai formasi semacam “empire” politik modern ala Indonesia, sebuah struktur kuasa yang tidak hanya ditentukan oleh jabatan formal, tetapi juga oleh daya jangkau simbolik, jaringan patronase, kekuatan logistik, dan pengaruh terhadap proses pembuatan keputusan nasional.

Memang, istilah “empire” dalam konteks ini lebih dekat kepada pemaknaan neo-feodalistik yang bersifat informal tetapi sangat menentukan, di mana kekuasaan tidak hanya berada di tangan institusi, tetapi terdistribusi melalui loyalitas, simbolisme, dan penguasaan terhadap sumber daya strategis politik.

Lalu, mengapa poros kekuatan itu dapat terbentuk? Serta bagaimana masa depannya dalam memengaruhi dinamika politik-pemerintahan Indonesia?

Spektrum Kekuasaan dan Warisan Politik

Keempat poros kekuasaan yang disebutkan di atas tidak berdiri dalam kekosongan sejarah maupun sosial. Mereka merepresentasikan spektrum politik yang saling silang, tetapi juga memiliki kekhasan masing-masing, baik dari segi gaya kepemimpinan, basis legitimasi, maupun cara mengonsolidasikan kekuasaan.

Pertama, Teuku Umar dan Megawati yang seakan menjadi warisan patronase Soekarnois. Sang Ketua Umum PDIP, melalui rumah politiknya di Teuku Umar, dikenal sebagai simbol kontinuitas historis dari patronase ideologis Bung Karno.

Seiring berjalannya waktu, Teuku Umar seolah berdiri di atas kekuatan trah biologis dan ideologis yang memancarkan aura “legitimasi historis” dalam konteks politik Indonesia.

Basis kekuatan Megawati terletak pada kontrol institusional terhadap partai terbesar di Indonesia, serta jejaring loyalis ideologis yang tersebar di berbagai lini birokrasi dan politik nasional.

Dalam teori patron-klien, posisi Megawati berada sebagai grand patron yang memberikan perlindungan politik, distribusi logistik, dan legitimasi moral kepada para kader dan sekutunya.

Baca juga :  Rahasia Banyaknya Anak Pemimpin dalam Sejarah Timur

Mengacu pada aspek historis dan dinamikanya, politik di sekitar Teuku Umar adalah politik kesetiaan, dan bahkan politik keheningan, di mana arah kebijakan dan keputusan strategis ditentukan oleh satu pusat kendali, bukan oleh debat internal atau kompetisi gagasan.

Kedua, Hambalang sebagai yang menjelma menjadi representasi asal kepemimpinan karismatik.

Berbeda dengan Teuku Umar, Hambalang menjadi simbol dari gaya kepemimpinan strongman yang diasosiasikan dengan Prabowo Subianto.

Tokoh yang kini merupakan Presiden RI menggabungkan warisan militer yang flamboyan, jejaring bisnis, dan daya tarik populisme nasionalis dalam satu paket politik yang khas.

Hambalang seakan menjadi titik pusat dari politik kekuatan yang dibangun melalui kehadiran figur yang dominan secara fisik dan simbolik.

Dalam konsep charismatic authority Max Weber, Prabowo mewakili figur yang memperoleh legitimasi bukan dari sistem institusional atau rasional-legal, tetapi dari persepsi bahwa dirinya memiliki kualitas luar biasa (extraordinary personal qualities).

Pendekatan ini bekerja efektif dalam masyarakat yang masih mengidamkan pemimpin yang kuat, tegas, dan memiliki ketegasan serta kedisiplinan ala militer dalam mengelola negara.

Ketiga, Cikeas yang menjadi simbol kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono, mengembangkan kekuatan melalui pendekatan yang lebih lembut dan sedikit berjarak, tetapi tidak kalah efektif.

Gaya kepemimpinan SBY yang lebih teknokratik, diplomatis, dan penuh kalkulasi strategis menciptakan semacam soft oligarchy, yakni struktur elite yang tidak terlalu menonjolkan kekuatan personal, tetapi bekerja melalui mekanisme organisasi, keluarga, dan jejaring birokrasi yang efisien.

Cikeas adalah contoh dari elite reproduction, sebagaimana dijelaskan dalam teori Pierre Bourdieu, di mana kekuasaan direproduksi melalui modal sosial, budaya, dan simbolik.

Lewat Partai Demokrat dan kemunculan figur Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), kiranya terlihat bahwa Cikeas mencoba mempertahankan dominasi politik melalui kesinambungan kekuatan dan investasi politik jangka panjang.

Keempat, Solo atau Surakarta yang seolah menjadi representasi post-partisan clientelism. Berbeda dengan tiga poros lainnya, kekuatan politik Joko Widodo tidak berbasis pada struktur partai atau trah politik, tetapi pada post-partisan clientelism—relasi patronase yang melampaui batas institusi formal.

Jokowi dinilai telah mengembangkan jejaring loyalisnya melalui penempatan tokoh-tokoh kepercayaan di dalam birokrasi hingga infrastruktur politik negara.

Politik Jokowi terkonstruksi sebagai politik teknokratis-populis yang digabungkan dengan kemampuan mengelola persepsi publik dan memainkan politik simbolik.

Solo, dalam hal ini, bukan sekadar kampung halaman, tetapi simbol dari akar narasi Jokowi sebagai “pemimpin rakyat biasa” yang berhasil mencapai puncak kekuasaan.

Baca juga :  Kontemporisme: The Genius of Harmoko

Namun, seiring waktu, Jokowi juga berhasil membangun kekuatan yang mandiri dari partai, bahkan dari PDIP, “eks rumahnya”.

Hal itu menjadi sebuah fenomena yang bisa dipahami melalui konsep state capture dalam politik kontemporer, di mana aktor non-partisan bisa mengendalikan institusi melalui loyalitas personal, bukan ideologi.

sby prabowo the two progressive generalsartboard 1 1

Dinamika Kontestasi Para Trah?

Keberadaan empat “empire” politik itu tampaknya tidak hanya menjelaskan konfigurasi kekuasaan saat ini, tetapi juga memberi petunjuk ke mana arah politik Indonesia akan bergerak dalam waktu dekat.

Ada beberapa catatan penting yang kiranya dapat dianalisis lebih lanjut. Keempat poros ini memiliki kecenderungan kuat untuk mereproduksi kekuasaan melalui mekanisme trah, baik trah biologis seperti AHY, Puan, dan Gibran Rakabuming Raka, maupun trah ideologis seperti Sugiono, Prasetyo Hadi, maupun Angga Raka Prabowo.

Hal ini sejalan dengan konsep political inheritance, di mana kekuasaan tidak selalu ditransfer melalui meritokrasi, melainkan melalui keterkaitan genealogis atau simbolik dengan figur besar sebelumnya. Sebuah fenomena yang sebenarnya lumrah di berbagai negara dan era.

Pertanyaan besar adalah apakah keempat poros ini akan terus saling berkompetisi secara terbuka, ataukah mereka akan menemukan titik temu dalam skema konsolidasi elite?

Kemungkinan terjadinya elite settlement, seperti dijelaskan oleh Terry Karl, bukan tidak mungkin dalam konteks Indonesia, terutama ketika kepentingan ekonomi-politik lebih diutamakan daripada rivalitas ideologis.

Di permukaan, hal itu telah terjadi kendati seolah ada intrik personal yang masih berada dalam bayang, utamanya yang spesifik seperti relasi Jokowi dan Megawati, maupun Megawati dan SBY.

Interpretasi mengenai eksistensi fenomena “empat empire” ini agaknya mencerminkan kenyataan bahwa politik Indonesia sangat ditentukan oleh figur dan jaringan kekuasaan informal.

Meskipun demokrasi prosedural terus berjalan, namun kekuatan substantif tetap berada di tangan sekelompok elite yang memiliki modal simbolik, jaringan logistik, dan kapasitas untuk mengendalikan narasi politik nasional.

Ke depan, stabilitas dan arah politik Indonesia akan sangat bergantung pada bagaimana interaksi antara keempat poros ini berlangsung, apakah menuju jalan rekonsiliasi, fragmentasi, atau bahkan transisi ke poros baru yang belum terlihat saat ini.

Dalam segala probabilitasnya, yang pasti adalah bahwa politik Indonesia tidak lagi hanya tentang partai atau kebijakan, tetapi tentang siapa yang berada di balik rumah-rumah itu (Teuku Umar, Hambalang, Cikeas, dan Solo) serta para penerusnya bertransformasi. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Epik! Kisah Negara “Immortal”, Etiopia

Etiopia menjadi salah satu negara dengan budaya peradaban paling tua di dunia saat ini. Apa rahasianya?

Cilukba PSI!

PSI mewacanakan Pemilu Raya, yakni pemilihan Ketua Umum partai secara langsung oleh anggotanya.

Thrilling Saga: Pangudi Luhur dan Taruna Nusantara

Kabar hangat penunjukan Bimo Wijayanato sebagai Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan menyingkap latar belakang pendidikannya, terutama jenjang pendidikan menengah di SMA Taruna Nusantara. Menariknya, Tarnus melahirkan banyak sosok elite birokrasi, politik, dan pemerintahan belakangan ini, sebagaimana terjadi pada SMA Pangudi Luhur Jakarta. Lalu, apa yang dapat dimaknai dari fenomena ini?

Misteri Dua Power: Kisah Sandi dan Erick?

Sandiaga Uno kembali mencuat dalam politik nasional lewat wacana jadi Ketum PPP. Apakah ini bagian dari strategi jangka panjangnya menuju 2029?

“Original Sin”, Indonesia Harusnya Adidaya Antariksa? 

Di era Orde Lama dan awal Orde Baru, Indonesia pernah meluncurkan roket buatan sendiri dan dipandang sebagai kekuatan teknologi yang menjanjikan. Namun, menjelang Reformasi, semangat itu memudar.  

Utut, The Next Grandmaster PDIP?

Grandmaster catur yang bertransformasi menjadi elite PDIP, Utut Adianto menjadi nama menarik dalam bursa Sekretaris Jenderal PDIP andai benar-benar dilepaskan dari Hasto Kristiyanto. Lalu, mengapa nama Utut muncul dan diperhitungkan?

“A Desert Storm” Bayangi Kemenkeu?

Dinamika dan beberapa variabel substansial mengenai penerimaan negara di bawah Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto terus berkembang. Terbaru, penunjukan Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara menjadi salah satu variabel menarik yang memantik interpretasi mengenai keterkaitannya dengan kinerja Kementerian Keuangan serta masa depannya. Mengapa demikian?

Misteri Creative Destruction Ijazah Jokowi

Kasus ijazah Jokowi memang jadi pergunjingan paling menyita perhatian publik dalam beberapa minggu terakhir.

More Stories

Thrilling Saga: Pangudi Luhur dan Taruna Nusantara

Kabar hangat penunjukan Bimo Wijayanato sebagai Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan menyingkap latar belakang pendidikannya, terutama jenjang pendidikan menengah di SMA Taruna Nusantara. Menariknya, Tarnus melahirkan banyak sosok elite birokrasi, politik, dan pemerintahan belakangan ini, sebagaimana terjadi pada SMA Pangudi Luhur Jakarta. Lalu, apa yang dapat dimaknai dari fenomena ini?

Utut, The Next Grandmaster PDIP?

Grandmaster catur yang bertransformasi menjadi elite PDIP, Utut Adianto menjadi nama menarik dalam bursa Sekretaris Jenderal PDIP andai benar-benar dilepaskan dari Hasto Kristiyanto. Lalu, mengapa nama Utut muncul dan diperhitungkan?

“A Desert Storm” Bayangi Kemenkeu?

Dinamika dan beberapa variabel substansial mengenai penerimaan negara di bawah Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto terus berkembang. Terbaru, penunjukan Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara menjadi salah satu variabel menarik yang memantik interpretasi mengenai keterkaitannya dengan kinerja Kementerian Keuangan serta masa depannya. Mengapa demikian?