HomeNalar PolitikWadas, Kenapa PDIP-Demokrat Saling Tuding?

Wadas, Kenapa PDIP-Demokrat Saling Tuding?

Di polemik Desa Wadas, politisi PDIP dan politisi Partai Demokrat justru saling melempar tudingan. Merasa Partai Demokrat difitnah, Kepala Bappilu DPP Partai Demokrat Andi Arief pun mempertanyakan keterlibatan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di balik penambangan batu andesit di Desa Wadas. Mengapa fenomena saling tuding ini terjadi?


PinterPolitik.com

“In politics, a lie unanswered becomes truth within 24 hours.” – Willie Brown, politisi Amerika Serikat

Sedari awal perlu ditegaskan, artikel ini tidak membahas polemik Desa Wadas yang saat ini memanas, melainkan membahas fenomena politik yang terangkat karenanya. Seperti yang lumrah terjadi, di setiap ketegangan, polemik, konflik, dan konfrontasi, selalu terdapat pihak yang mengambil kesempatan.

Fenomena umum itu terlihat dari saling balas dan tuding politisi PDIP dengan Partai Demokrat. Tidak terima karena merasa Partai Demokrat difitnah atas polemik Wadas, Kepala Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Demokrat Andi Arief balik memberi pertanyaan, “apakah Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto berada di balik penambangan batu andesit di Desa Wadas?”

Cuitan itu menjadi bola panas yang tanggapi oleh berbagai politisi kedua partai. Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani, misalnya, menyebut cuitan Andi Arief tidak mungkin dikeluarkan tanpa dasar yang jelas. Sementara, dari kubu banteng, Adian Napitupulu balik menduga bahwa jangan-jangan cuitan itu dilontarkan karena pendukung Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo mulai berubah menyerang Partai Demokrat.

Secara cepat, berbagai pihak akan langsung menarik ketegangan ini ke perseteruan lama PDIP-Demokrat, tepatnya petinggi kedua partai tersebut, yakni Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ada yang menyebut hubungan renggang ini bermula dari “pengkhianatan” SBY yang justru maju sebagai capres di Pilpres 2004. 

Namun, melihat pada pernyataan-pernyataan petinggi PDIP, seperti Hasto, akar masalah sepertinya adalah Peristiwa Kudatuli atau Peristiwa Rabu Kelabu pada 27 Juli 1996. Peristiwa Kudatuli adalah serangan terhadap kantor pusat PDI (sebelum menjadi PDIP) yang menewaskan 5 orang, 149 luka-luka, dan 23 orang hilang. Meskipun tidak pernah terbukti di pengadilan, SBY yang saat itu menjabat Kepala Staf Komando Daerah Militer (Kasdam) Jaya disebut-sebut bertanggung jawab atas serangan tersebut. 

Terlepas dari apa yang terjadi antara PDIP dengan Demokrat, fenomena saling tuding ini mengangkat satu pertanyaan yang tampaknya menjadi ciri khas politisi. Mengapa politisi mudah saling menuduh satu sama lain, atau mungkin tepatnya mudah curiga?

Baca juga :  Golkar Berhasil Dilobi Puan?

Terjebak Rasa Saling Curiga

Dosen filsafat politik Universitas Indonesia (UI) Donny Gahral Adian dalam disertasinya Rasionalitas Kerjasama: Kajian Filsafat terhadap Dilema Narapidana dalam Teori Permainan memberikan penjelasan teoretis penting untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Menurut Donny, terdapat setidaknya dua konsep penting yang menjadi dasar atas sulitnya terbentuk trust atau kepercayaan di tengah masyarakat, yaitu jebakan sosial (social trap) dan dilema narapidana (prisoner’s dilemma).

Jebakan sosial adalah konsep yang diatribusikan kepada psikolog John Platt. Dalam tesisnya, jebakan sosial menerangkan, jika kelompok pertama mengetahui kelompok kedua akan mengingkari janjinya, maka kelompok pertama tidak akan mengikuti kontrak atau perjanjian yang sudah dibuat. Begitu pula sebaliknya.

Yang menjadi persoalan adalah, menurut Donny, tiap kelompok seringkali terjebak dalam penilaian negatif bahwa kelompok lain mestilah akan mengingkari perjanjian. Akibatnya, tiap kelompok menjadi sulit membangun kepercayaan dan bekerja sama karena merasa pasti akan dikhianati. 

Sementara, dilema narapidana adalah sebuah eksperimen pikiran (thought experiment). Sedikit memberi konteks, thought experiment adalah salah satu, dan mungkin metode paling umum, yang digunakan dalam analisis filsafat. Seperti namanya, metode ini membayangkan situasi hipotesis untuk menguji konsekuensi dari prinsip suatu teori.

Dilema narapidana menerangkan situasi hipotesis, di mana dua orang narapidana yang jika mampu bekerja sama dapat meringankan hukumannya. Berikut adalah pilihan yang diberikan kepada kedua narapidana.

Pertama, jika satu pihak bersaksi atas pihak lain, maka pihak tersebut akan dibebaskan sedangkan pihak lain terkena hukuman penjara tahun tahun. Kedua, jika kedua pihak bersaksi, maka masing-masing akan dikenakan hukuman penjara dua tahun. Ketiga, jika kedua pihak tidak bersaksi, maka keduanya akan dihukum satu tahun.

Di titik ini, mudah mengatakan bahwa kedua narapidana tersebut harus memilih pilihan nomor tiga, itu adalah win-win solution. Namun, situasinya menjadi rumit karena setiap narapidana tidak mengetahui sama-sama diinterogasi dan diberikan pilihan yang sama. Dengan kata lain, masing-masing menilai hanya dirinya yang diberikan pilihan.

Menariknya, situasi tersebut justru membuat pilihan nomor dua yang terjadi. Karena masing-masing narapidana ingin menguntungkan dirinya, mereka kemudian bersaksi agar dibebaskan. Menurut Donny, dilema narapidana menggambarkan situasi sosial, di mana setiap aktornya berperilaku egois atau hanya mementingkan dirinya sendiri.

Kembali pada saling tuding PDIP-Demokrat. Dua konsep tersebut sekiranya dengan jelas menggambarkan situasi yang terjadi. Alih-alih membuka komunikasi, kedua belah pihak justru saling lempar tudingan terkait siapa yang salah. Ini jelas merupakan jebakan sosial. 

Baca juga :  Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Kemudian, tidak terima rekan separtainya disudutkan, tudingan balasan kemudian dilakukan. Ini menggambarkan dilema narapidana, di mana tiap politisi terjebak pada kepentingan pribadi dan/atau kelompoknya.

Masyarakat Low-trust 

Hadirnya secara sekaligus jebakan sosial dan dilema narapidana membuat aktivitas politik lekat dengan nasihat-nasihat Niccolò Machiavelli dalam buku Il Principe, yakni memandang kebohongan dan kelicikan sebagai bagian lumrah demi menjaga eksistensi kekuasaan politik. 

Yang menarik adalah, lumrahnya pandangan Machiavellian kemudian membuat politisi terjebak dalam paradoks kebohongan (liar paradox). Jika seorang pembohong mengaku tengah berbohong, apakah ia sedang berbohong? Apakah ia sedang jujur tengah berbohong? Atau sedang berbohong mengatakan dirinya berbohong?

Mengutip dosen filsafat etika UI Fristian Hadinata, seorang Machiavellian sejati tidak akan mengaku dirinya Machiavellian. Karena setiap politisi menggunakan dalil-dalil Machiavelli, atau setidaknya merasa demikian, para politisi kemudian menjadi curiga bahwa rekannya mestilah berbohong. David Runciman dalam bukunya Political Hypocrisy: The Mask of Power from Hobbes to Orwell and Beyond, juga dengan jelas menegaskan bahwa kemunafikan adalah sifat yang melekat dengan politik.

Situasi ini, secara khusus digambarkan ilmuwan politik Amerika Serikat (AS) Francis Fukuyama sebagai masyarakat low-trust. Dalam bukunya Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, dijelaskan bahwa masyarakat low-trust terbelenggu dalam rasa saling curiga satu sama lain. Ini membuat berbagai pihak ragu untuk membuka ataupun mengembangkan kepercayaan dan kerja sama.

Masyarakat low-trust juga disinggung Donny Gahral Adian ketika menjadi salah satu narasumber dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) pada 5 Februari 2019. Menurutnya, dengan fakta Indonesia telah mengalami rezim yang begitu otoriter selama 32 tahun di bawah kepemimpinan Suharto, ini membuat masyarakat mengalami trauma politik dan surplus kecurigaan terhadap kekuasaan.

Well, sebagai penutup, dapat dikatakan bahwa fenomena saling tuding PDIP-Demokrat di polemik Wadas adalah bentuk dari masyarakat low-trust. Tampaknya hampir semua politisi, tidak hanya PDIP-Demokrat, terjebak dalam penilaian-penilaian negatif seperti jebakan sosial, dilema narapidana, hingga paradoks kebohongan, yang membuat mereka sangat mudah curiga dan menuding pihak lainnya.

Dalam praktiknya, ini kemudian membuat aktivitas politik menjadi sulit ditebak, penuh tipu daya, dan pada ujungnya “menghalalkan” segala cara untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. (R53)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Ini Rahasia Jokowi Kalahkan Megawati?

Kendati diprediksi melemah pasca kepresidenan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai memiliki kunci rahasia agar tetap bisa memiliki pengaruh dalam politik dan pemerintahan. Bahkan, Jokowi agaknya mampu untuk melampaui kekuatan dan pengaruh Megawati Soekarnoputri. Mengapa demikian?

Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Opsi mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres, tetapi tetap mengesahkan kemenangan Prabowo adalah pilihan yang tengah didiskusikan oleh banyak pihak menuju pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...