HomeNalar PolitikUU Pemilu Jadi Penyebab Korupsi?

UU Pemilu Jadi Penyebab Korupsi?

Legalitas pencalonan legislatif mantan narapidana korupsi kembali dipertanyakan publik. Masyarakat ramai-ramai menolak atas legalitas tersebut. Lantas, bagaimana sebenarnya legalitas yang mengatur ketentuan ini? 


PinterPolitik.com

Masyarakat menolak dengan keras ketentuan mengenai diperbolehkannya mantan napi koruptor untuk mencalonkan diri menjadi anggota legislatif pada pemilu mendatang. Padahal, kita semua tahu, korupsi memberi kerugian yang sangat besar bagi negara, dan bahkan termasuk sebagai salah satu extraordinary crime. Karena itu, menjadi suatu hal yang wajar bila eks narapidana dikatakan tidak layak untuk menjadi pemimpin negara.

Selain itu, menurut Pasal 240 Ayat 2 Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) menyatakan bahwa bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, dan DPRD kabupaten/kota tidak mewajibkan calon anggota legislatif untuk menyertakan fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP) saat pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pada pasal tersebut juga diketahui bahwa calon anggota legislatif hanya perlu menyertakan surat keterangan dari lembaga pemasyarakatan jika pernah dipenjara. Dengan kata lain, calon anggota legislatif tidak perlu meminta surat keterangan catatan kepolisian (SKCK).

Kedua ketentuan ini menimbulkan pertanyaan krusial mengenai bagaimana ketentuan spesifik UU Pemilu Pasal 240.

Ambiguitas dan Benturan Aturan

Siapa pun mantan narapidana kasus korupsi yang berniat mencalonkan diri menjadi anggota legislatif perlu berterima kasih banyak pada putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 30 P/HUM/2018. Alasan dikabulkannya peraturan ini karena pernyataan yang ambigu dalam Pasal 240 Ayat 1 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Berikut merupakan isi dari aturan tersebut:

“…Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Berdasarkan pasal tersebut, terdapat ambiguitas mengenai jenis pidana dan tidak mengatur secara rinci mengenai larangan mantan narapidana kasus korupsi untuk mengikuti pemilihan calon legislatif (caleg). Ini dapat dikatakan sebagai norma baru yang tidak diatur dalam undang-undang.

Selain itu, kewajiban lainnya yang menjadi perhatian yaitu keterangan jika mantan narapidana kasus korupsi ikut mencalonkan diri, maka dia perlu mengakuinya kepada publik secara terbuka dan jujur bahwa dirinya merupakan mantan terpidana. Keterangan ini tidak memiliki power maupun jaminan yang cukup kuat untuk menghindari terjadinya kasus korupsi yang dapat terjadi kembali.

Caleg dapat melakukan modus dalam bentuk apapun, misalnya membayar sejumlah orang untuk membujuk orang-orang memilihnya atau partai bersangkutan. Maka dari itu, aturan ini memiliki kuasa yang begitu besar atau dapat dianggap sebagai pintu masuk tindakan korupsi yang mungkin kembali terulang.

Baca juga :  Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Putusan MA kemudian menyatakan bahwa ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan Pasal  UU Pemilu juncto UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 43 Ayat 1 dan Pasal 73 UU Hak Asasi Manusia (HAM) juncto UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Selanjutnya, larangan mantan narapidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif juga dapat bertentangan dengan Pasal 43 Ayat 1 UU HAM. Pasal tersebut berbicara mengenai hak warga negara untuk memilih dan menjadi pemilih dalam pemilu.

Hak politik tersebut sudah tercantum dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Aturan ini selanjutnya diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

Pembatasan HAM sebenarnya dapat dilakukan, namun hanya dapat dilakukan melalui UU. Pernyataan ini dapat dilihat pada Pasal 73 UU HAM mengenai pembatasan HAM. Dengan demikian, aturan KPU yang mengatur larangan mantan narapidana kasus korupsi tidak cukup kuat untuk menentang aturan undang-undang.

Berdasarkan argumen mengenai ketidakjelasan jenis narapidana, kewajiban khusus untuk mengemukakan dirinya adalah mantan narapidana kasus korupsi, dan pembatasan HAM; apakah UU Pemilu dapat dianggap sebagai aturan yang sempurna dan mengindahkan norma hukum dasar negara Indonesia?

Kampanye Pemilu 2024 Dipangkas

Cacat Logika, Nodai Social Justice

Sesuai dengan teori Stufentheorie menurut Hans Kelsen, norma hukum bersifat hirarkis. Artinya,norma hukum memiliki tata susunan yang berjenjang. Norma yang lebih rendah dan bersumber  atas dasar norma yang lebih tinggi, serta norma yang lebih tinggi itu, berlaku dan bersumber kepada norma yang lebih tinggi lagi. 

Konsep ini terus berlanjut hingga sampai pada titik yang tidak dapat ditelusuri, bersifat fiktif, dan berbentuk hipotesis. Titik terendahnya dinamakan dengan grundnorm (norma dasar).

Norma dasar dapat dikatakan sebagai norma tertinggi dari sistem norma dan tidak dapat dibentuk dari norma yang lebih tinggi lagi. Hal ini karena norma dasar merupakan norma yang ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar. Norma ini selanjutnya dijadikan sebagai gantungan bagi norma yang berada di bawahnya sehingga suatu norma dasar dikatakan presupposed.

Berdasarkan hirarki aturan di Indonesia, hirarki pertama yaitu Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945), namun aturan ini sebenarnya merupakan turunan dari Pancasila. Pancasila adalah sumber dari segala hukum. Di sini lah letak grundnorm berada. Berikut merupakan hirarki hukum yang berlaku di Indonesia.

  1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945)
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)
  3. Undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 
  4. Peraturan Pemerintah ( PP)
  5. Peraturan Presiden (Perpres) 
  6. Peraturan Daerah (Perda)
  7. Provinsi Peraturan Kabupaten atau Kota
Baca juga :  PKB, Cak Imin Sukses “Bersihkan” Trah Gus Dur?

Sebagai aturan pertama yang diturunkan dari grundnorm, cita-cita dan tujuan negara dicantumkan pada pembukaan UUD 1945. 

Salah satu tujuan negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Di samping itu, cita-cita negara yaitu merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Hal ini berhubungan dengan sila kelima. 

Pemerintah merupakan organisasi yang berfungsi untuk mewujudkan cita-cita negara dan dipilih melalui pemilihan umum.

Pemilihan umum diselenggarakan sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat sehingga pemerintah harus merepresentasikan kepentingan negara. Sesuai dengan sila kelima Pancasila yang berbunyi “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Makna dari sila menggambarkan bahwa pemerintah harus menjamin kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara harus berpihak kepada rakyat sesuai dengan makna demokrasi. 

Korupsi pada bidang legislatif kental akan kepentingan pribadi maupun partai. Partai itu sendiri memiliki kader yang akan meneruskan kepentingannya. Selain itu, dana politik yang besar menjadikan melahirkan pola pikir tentang bagaimana caranya agar “profit” dari jabatan tertentu.  

Korupsi seakan sudah menjadi hal yang wajar jika kita tahu bahwa pelakunya adalah anggota legislatif. Ini seperti yang dinyatakan collective action theory menurut Marquette dan Peiffer, yakni tidak masuk akal untuk menjadi satu-satunya orang yang jujur ​​dalam sistem yang korup. Dengan demikian, UU Pemilu dapat menjadi penyebab korupsi yang menodai keadilan sosial negara.

Selanjutnya, apa yang dapat dilakukan untuk meluruskan kebijakan yang terbukti cacat logika dan tidak sesuai dengan norma dasar hukum?

Hukum bisa diubah, dikembangkan, dan ditambahkan. Hukum bagaikan suatu hal yang hidup dan dapat berkembang. 

Hukum Sebagai Zeitgeist  

Hal ini sesuai dengan pemikiran logika zeitgeist dari George Wilhelm Friedrich Hegel dimana dia percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia pasti selalu bergerak. Hukum bisa menjadi satu di antaranya karena adanya dorongan dari perubahan pemikiran maupun perkembangan yang terjadi di lingkungan.

Undang-Undang Pemilu merupakan salah satu produk legislatif. Maka dari itu, DPR RI dapat merubah aturan di dalamnya. Adapun UU dapat diganti menggunakan Perpu, namun hanya jika kondisi bersifat bahaya dan genting.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa revisi UU Pemilu merupakan hal yang signifikan untuk dibahas mengingat saat ini pendaftaran dan verifikasi calon peserta Pemilu telah dibuka. (Z81)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Paspor Cepat Hanya Bisnis Imigrasi?

Permohonan paspor sehari jadi menuai respons negatif di jagat sosial media. Biaya yang dibutuhkan untuk mengakses pelayanan ini dinilai jauh lebih mahal ketimbang pelayanan...

Zelensky “Sulut” Perang di Asia?

Dampak perang Ukraina-Rusia mulai menyulut ketegangan di kawasan Asia, terutama dalam aspek pertahanan. Mampukah perang Ukraina-Rusia  memicu konflik di Asia? PinterPolitik.com Perang Ukraina-Rusia tampaknya belum memunculkan...

Bakar Al-Quran, Bukti Kemunafikan Barat?

Aksi pembakaran Al-Quran menuai berbagai sorotan, terutama kaum muslim di dunia. Kendati demikian, pemerintah Swedia menganggap aksi tersebut sebagai bentuk kebebasan berekspresi, namun secara...